BAB 12 - SOMEONE YOU LOVED

4.1K 302 177
                                    


I need somebody to heal
Somebody to know
Somebody to have
Somebody to hold
-Lewis Capaldi-



Alunan lagu “Someone You Loved” dari Lewis Capaldi yang diputar Bibi Mer menggema ke seluruh penjuru rumah. Dengan mata terpejam, Sean meresapi liriknya,  sembari merebahkan tubuh di sofa di halaman belakang rumah, samping kolam. Mengistirahatkan badan sejenak sebelum menghadiri acara kecil di panti jompo tak jauh dari rumahnya.

Raganya menggigil saat embusan angin malam menembus kaus hitam yang ia pakai. Namun, bukan semilir angin yang membuatnya kedinginan, tetapi, ada kesadaran baru yang merasuk ke otak, menggoyahkan hati. Penggalan lirik yang membuatnya tak tenang.

Benarkah ia butuh seseorang yang bisa menyembuhkannya dari perasaan aneh ini?

Seseorang untuk dikenal?

Seseorang untuk dimiliki?

Seseorang untuk digenggam?

Bukankah selama ini hidupnya masih baik-baik saja? Tapi kenapa sekarang rasanya ....

Lamunan Sean buyar saat sentuhan ringan mampir di bahunya. Matanya terbuka, melihat perempuan tambun berdiri di sebelah sofa. "Bibi? Ada apa?"

"Kukira kau tertidur."

Sean menggeleng, bangkit, memberi tempat pada Bibi Mer agar duduk di sampingnya.

"Makan malam sudah siap." lanjut Bibi Mer, duduk di samping Sean.

"Bibi duluan saja. Ajak yang lainnya."

Kepala bersandar sofa, Sean menghela napas berat.

"Ada apa, Sean?"

Lagi-lagi Sean menggeleng pelan. Menatap nanar cahaya lampu tumblr yang saling-silang di atasnya.

"Kau mau menceritakan sesuatu?" pancing Bibi Mer lagi menyadari kegelisahannya.

"Aku bingung harus mulai dari mana."

"Tentang karirmu?"

"Bukan. Pekerjaanku baik-baik saja."

Bibi Mer menghela napas pelan melihat Sean yang seakan tak berdaya. Wajahnya kusut dan tak bersemangat.

"Kau yakin kalau karirmu baik-baik saja? Sudah melihat berita hari ini?"

"Berita apa?"

"Astaga, kukira sudah tahu." Bibi Mer memutar bola mata, menghela napas berlebihan. "Kau itu punya ponsel pintar tapi tidak dimanfaatkan. Coba cari namamu sendiri di mesin pencari."

Dengan pandangan bertanya, Sean mengeluarkan ponsel dari saku, mengetikkan namanya di mesin pencari. Dalam hitungan detik, berita tentang konser amalnya membanjiri halaman pertama google. Setelah mengernyit sebentar, ia mengklik salah satu laman dengan judul yang membuatnya tertarik. "The Different of Sean."

Ulasan di sana membuatnya terdiam. Matanya masih terpaku membaca isi artikel tersebut :

Beberapa nada terdengar tidak tepat, tempo terlalu lambat, lalu berganti terlalu cepat. Namun, semua tertutupi oleh sesuatu hal yang membuat penonton terhanyut, bahkan tak sedikit yang mengusap sudut mata, terharu, tersentuh.

Pihak panitia juga berinisiatif memadamkan seluruh lampu di bangku penonton, kemudian menampilkan kerlip cahaya, mengkoordinasi semua yang ada di sana. Membuat penampilan Sean semakin menakjubkan.

Ditambah satu hal yang tak pernah terjadi, sebuah senyum samar dan ekspresi lembut yang hadir di wajahnya, membuat semua orang merasa melihat malaikat, meski hanya beberapa detik.

"Apa benar semua ini?" gumam Sean setengah tak percaya. Seakan mendapat jawaban, ponselnya bergetar, menandakan pesan masuk dari Jhon.

Buka emailmu sekarang.

Tanpa salam pembuka, dan hanya sebaris kalimat, cukup membuatnya penasaran.

"Hm, ada yg harus kukerjakan, Bi. Pertanyaanku bisa ditunda."

Bibi Mer mengangguk paham, pasti masalah pekerjaan. Perempuan tambun itu segera beranjak, meninggalkan Sean yang sibuk dengan ponselnya.

Tanpa menunggu, Sean membuka e-mail, lantas terdiam cukup lama saat melihat tayangan ulang konsernya dari awal sampai akhir.

Apa yang tersebar di berita memang benar. Ia berulang kali menjedanya di bagian-bagian tertentu, masih belum sepenuhnya yakin jika sosok itu adalah dirinya. Terlebih ketika raut wajahnya ditampilkan secara close up. Tanpa bisa dihindari tiba-tiba saja ingatan tentang Kinan mendadak muncul. Apa dia sudah melihatnya?

Pemikiran akan karirnya yang mungkin terganggu hanya gara-gara sedikit ketidaktepatan nada, rasanya tak penting lagi. Kini yang menjadi fokusnya hanya gadis itu, dan semua keanehan pada dirinya yang membuat tak nyaman.

Sean mengacak rambut frustrasi, menghela napas kasar dan menutup laman e-mail lalu membuka halaman pencarian. Tergesa, ia mengetikkan beragam kata di sana: jantung berdegup kencang, gugup, tidak percaya diri, salah tingkah, senang, mudah tersenyum, sering merasa bahagia tak jelas, dan hal-hal semacam itu, lalu memadankan semua yang ia temukan dengan apa yang ia rasakan akhir-akhir ini.

"Sial!" Sean mendengkus sebal.
Dari beratus tautan, kesimpulannya sama, tanda seseorang yang sedang jatuh cinta. Namun, ia sangat yakin bahwa tidak sedang jatuh cinta.

Bagaimana mungkin bisa mencintai gadis yang baru saja ia temui dalam waktu beberapa minggu?

Sean menghela napas kasar. Mengempaskan tubuh di sofa panjang. Berusaha mengosongkan otaknya seperti langit yang ia pandang saat ini.

"Sean." Bibi Mer kembali menghampiri. "Kau mau makan sekarang?"

"Nanti saja," sahutnya tanpa mengalihkan pandangan.

Sean mengubah posisinya dari terlentang menjadi duduk, memberi ruang bagi Bibi Mer di sebelahnya. Keheningan yang tercipta mendadak pecah saat Sean bertanya lirih, "Apa Bibi pernah jatuh cinta?"

Jeda beberapa detik, hingga Sean berpikir bahwa Bibi Mer tidak akan menjawab pertanyaannya. Namun, ternyata salah.

"Pernah. Dulu sekali, sebelum kau lahir."

"Bibi masih ingat bagaimana rasanya?"

"Masih. Perasaan yang susah digambarkan. Begitu banyak, yang jelas didominasi oleh perasaan bahagia, senang, kadang gugup, salah tingkah. Bibi juga lebih sering tertawa, seakan-akan tak pernah ada kesedihan." Wajah yang telah dimakan usia itu terlihat berseri. Sean diam-diam ikut tersenyum.

"Siapa seseorang itu?"

Desir angin mengisi sunyi. Suara lirih Bibi Mer mengalun pelan, "Seseorang yang sudah pergi dengan tenang."

Perempuan itu menatapnya lembut. Sekelumit rasa bersalah muncul di hati Sean saat melihat mata bibi Mer yang mengkristal. "Je regrette."

"Tidak apa, Bibi yang terlalu terbawa perasaan." Sambil mengulas senyum, ia mengusap sudut mata. "Nah, kesimpulan dari pertanyaanmu adalah, siapa gadis beruntung yang bisa mendapatkan cinta malaikat tampan sepertimu."

"A—apa? Tunggu-tunggu, ini tidak seperti yang Bibi pikirkan." Gelagapan Sean menjawab. "Aku tidak sedang jatuh cinta!" Ia menekankan setiap suku kata terucap dengan wajah memerah.

Tanpa bisa dicegah, Bibi Mer terkikik geli melihat tampang Sean yang kekanakan. "Kalaupun iya juga tidak apa."

"Ayolah, Bi. Jangan menggodaku. Ini tidak lucu."

Tawa bibi Mer berhenti saat melihat ekspresi Sean yang berubah serius. Sambil mengalihkan pandangan, ia bertanya. "Selain perasaan senang, apa Bibi pernah merasa takut?"

"Takut? Kenapa?"

"Entahlah. Perasaan yang Bibi ceritakan tadi, saat jatuh cinta, aku juga pernah merasakannya. Tapi itu tidak sebanding dengan perasaan lain yang muncul."

"Perasaan lain?"

Sean mengangguk sambil menjawab, "Kadang aku merasa takut yang tidak beralasan, resah dan tiba-tiba gelisah"

"Apa selalu seperti itu?"

"Hampir selalu. Kadang juga aku tidak bisa mengendalikan emosi yang tiba-tiba muncul dan beberapa saat kemudian hilang."

Hening beberapa saat. Mata Sean terpejam ketika semilir angin membelai wajahnya.

"Pernahkah setidaknya sekali saja, kau merasa senang saat bersamanya?"

"Pernah. Hanya sebentar. Kemudian perasaanku menjadi campur aduk lagi. Lebih banyak kegelisahan." Tanpa membuka mata, Sean menjawab.

Kenangan bersama Kinan berkelebat dalam memorinya, ketika di Lumiere kafe, bermain piano bersama Ed. Tanpa sadar, ia kembali tersenyum. Seulas lengkungan bibir yang tak luput dari perhatian Bibi Mer.

"Seharusnya kau lebih sering tersenyum seperti itu," puji Bibi Mer, membuat Sean seketika membuka mata. "Kejadiannya pasti sangat menyenangkan," lanjutnya.

"Aku bahkan bisa kembali tertawa setelah sekian lama."

"Dia pasti gadis yang istimewa."

"Tapi aku belum terlalu mengenalnya."

"Kalau begitu dekati dia."

"Rasanya terlalu sulit. Dengan semua keanehan yang terjadi padaku akhir-akhir ini." Sean menghela napas lelah.

"Aneh bagaimana?"

"Pernahkah Bibi melihatku gemetar ketika berhadapan dengan orang lain? Atau tiba-tiba pucat pasi dan berkeringat dingin, sampai rasanya membasahi tangan hingga seluruh punggungku."

Bibi Mer menggeleng. Ia sangat paham dengan tingginya kepercayaan diri yang dimiliki Sean. Jadi hal seperti itu tak mungkin terjadi.

Pria itu melanjutkan, "Lebih seringnya lagi, aku tidak mampu memandangnya, rasanya sangat sulit. Saat melihat dia tersenyum, aku ingin kabur dari situ. Tapi di sisi lain, aku ingin bertahan." Debasan pelan membaur di udara. "Bukankah itu hal yang aneh dan tidak wajar?"

"Ya ... itu benar-benar aneh," kata Bibi Mer mengawang, memikirkan sesuatu lalu berujar, "Kau harus menemui seseorang. Untuk menjawab semua hal tentang keanehanmu itu."

"Siapa?"

"dr. Flyn."

"Tidak! Aku masih baik-baik saja, Bi. Tidak sedang depresi atau setengah gila." Sean menatap horor pada Bibi Mer.

"Kau memang baik-baik saja. Tapi ketakutanmu itu sepertinya aneh. Aku yakin dr. Flyn punya jawabannya."

"Tapi—"

"Atau kau mau, seumur hidup merasa takut dan gelisah seperti itu?"

"Tentu saja tidak." Tanpa berpikir dua kali, Sean menjawab tegas. Memancing tawa Bibi Mer.

"Oke. Sudah diputuskan. Aku akan membuat janji dengan dr. Flyn untuk bertemu denganmu.

"Ya ... yaa ... terserah Bibi saja." Akhirnya, Sean menyerah. Harapannya cuma satu. Semoga psikiater tua itu mampu menjawab semua kegelisahannya selama ini.

Kiss The Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang