BAB 42 - THIEF

2.5K 212 99
                                    

Salju tak lagi turun. Namun, suhu masih terlalu rendah. Dalam keadaan sedingin itu, entah sudah berapa lama Sean berdiri sambil menggosok-gosok kedua tangan yang terasa membeku, tepat di depan pagar hitam yang akrab ia datangi selama beberapa hari. Tak pernah absen sekali pun.

Mentari pagi menyebarkan hangat sinarnya, menerangi pohon marian plum di depan rumah yang mulai malas tumbuh, tampak merana dengan kanopi putih yang mulai mencair di daun dan dahan-dahannya. Dua mata Sean memicing, melihat betapa suram rumah Kinan. Seakan tak ada kehidupan yang berlangsung dalamnya. Pertanyaan yang sama terulang setiap hari, di mana Kakek?

Hela napas kasar terembus dari hidung Sean, menciptakan uap putih yang bergumul sesaat lalu hilang. Sudah ratusan kali ia memencet bel, tapi pria tua itu tak kunjung menampakkan batang hidung. Atau memang ia sengaja menghindar,  membiarkan rumah dalam keadaan kosong?

Sean mengusap wajah kebas. Sorot sinar matahari seakan tak mampu mengahangatkan tubuhnya yang nyaris beku. Ditambah perasaan gentar yang menyelusup ketika bermaksud menjalankan rencana yang tersusun sejak semalam.
Katakanlah ia tak waras. Memang, rasanya hampir gila karena mencari keberadaan Kinan. Hingga tanpa ragu melakukan hal sinting seperti ini.

Buru-buru Sean menggulung lengan sweter hingga siku, meregangkan tangan, menoleh kanan kiri. Saat yakin suasana benar-benar sepi, ia mulai mencengkeram pagar di hadapannya. Menjejakkan kaki pada batang besi hitam yang beku.
Napasnya menderu dengan hati bergemuruh. Pijakannya terasa tak mantap saat kakinya sedikit gemetar, takut ada yang menangkap basah kelakuannya, memanjat pagar rumah orang seperti pencuri. Karena ia sama sekali tak punya niat untuk mengambil apa pun dari dalam sana.

Sean hanya ingin memastikan sesuatu, mempertajam ingatannya. Lebih tepatnya meyakinkan diri, dan semoga usahanya kali ini tak sia-sia. 

Dengan napas tersengal dan jantung yang berdentam liar, kakinya kembali menjejak tanah di balik pagar halaman rumah Kinan. Tergesa, Sean melangkah di atas rumput yang masih basah. Demi sopan santun mengetuk pintu, berharap Kakek ada di dalam. Namun, hingga semenit penuh, tak ada tanda-tanda pintu terbuka.

Sean melangkah ke bagian samping rumah, menemukan jendela dekat rumpun mawar yang mengksristal. Seingatnya, itu jendela yang berada di ruang tamu, tepat di samping rak buku. Dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan keributan, Sean mencoba menyelipkan jemari ke sisi jendela yang sedikit terbuka, menarik pengait kecil yang menahannya. Berhasil.

Ia melongok ke dalam melalu jendela yang kini terbuka lebar, setengah berteriak, Grandpere? Kinan?
Teriakannya ditelan hening. Sean kembali menoleh kanan kiri, lalu memanjat bingkai jendela, dalam hati meminta maaf pada Kakek karena masuk ke rumahnya tanpa izin.

Setelah tiba di dalam, Sean segera menuju ke rak buku. Napasnya terembus lega ketika melihat buku tebal bersampul kuning masih di sana. Album foto masa kecil Kinan.
Ia segera mengambil album, meneliti setiap foto. Kelebat kenangan hinggap dalam ingatan. Matanya melirik sofa tempat mereka duduk berdua, dahulu. Namun, Sean segera mengalihkan pandangan, kembali menekuri album di tangan. Tak ada waktu untuk bersikap mellow, satu jam lagi pesawat yang membawanya ke Indonesia akan segera berangkat.

Sean mendesah lega setelah menemukan apa yang ia cari, bergumam sambil menatap selembar foto di sana. "Tunggu aku, Ma Cherie.” Mengambil ponsel dan mengabadikan potret Kinan, di depan sebuah rumah. Tak ada yang istimewa dari foto itu. Namun, ada petunjuk yang ia cari.

Dalam hati, Sean bersyukur memiliki ingatan fotografis yang sangat membantu di saat seperti ini. Dulu, saat bersama Kinan, hanya sekelebat saja ia melihat foto itu, sembari mendengar gadisnya bercerita tentang kepindahan ke Indonesia setelah papanya meninggal.

Kesempurnaan ingatan Sean merekam setiap hal kecil. Termasuk nomor rumah berbentuk layang-layang, lengkap beserta nama jalan, desa, kelurahan dan kecamatan, tepat di samping gadis itu berdiri. Ia yakin bahwa itu alamat rumah Kinan, karena di bawah foto tertulis caption "My New Home, Indonesia.”

Sean segera mengembalikan album ke rak, memasukan ponsel ke saku, mengulangi proses panjat memanjat seperti ia datang tadi. Namun, kali ini langkahnya terasa lebih ringan.
*

Sean melangkah tergesa dan nyaris berlari di antara hiruk pikuk manusia di bandara internasional I Ngurah Rai, Bali. Tempat ini masih seperti dua tahun lalu, ketika ia datang untuk menghadiri konser bersama Twilite Orkestra. Sekali pandang, sosok layang-layang raksasa berbentuk burung beraneka warna yang tergantung di langit-langit. Namun, tak ada waktu untuk menikmati. Fokusnya hanya satu, menemukan keberadaan Kinan.

Setelah melewati pintu keluar yang berbentuk sepasang gapura, ia menghampiri taksi yang berada tak jauh darinya. Menyodorkan foto di ponsel pada sopir taksi tua yang terlihat lelah.

Sean menghela napas, saat sopir taksi menggeleng, berkata tak tahu alamat yang di sodorkannya. Ia berlalu mencari sopir taksi lain yang mungkin tahu tempat yang ingin ia datangi.

Kaos polo putihnya telah basah oleh keringat, matahari siang menyorot tanpa ampun. Sean mengacak rambut frustrasi. Ranselnya tergantung lemah di bahu. Padahal awalnya ia pikir akan sangat mudah menemukan Kinan dengan bekal selembar foto. Nyatanya salah.

Kini, dengan otak yang semakin keruh, ia berdiri di pinggir jalan, berkacak pinggang, mengatur napas kelelahan, mengusap keringat yang meleleh di dahi. Baru kemarin ia dihujani salju di Paris. Namun, belum sampai 24 jam ia telah terpanggang matahari di negeri tropis.

Mata Sean menatap lalu-lalang kendaraan yang melaju di hadapan. Harus ke mana ia mencari gadisnya? Sebuah taksi berhenti tepat di depannya. Seorang sopir seumuran Aland membuka jendela, terseyum ke arahnya. "May I help you, Sir?"
*

Kiss The Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang