BAB 32- ALWAYS WITH YOU

3K 256 129
                                    

"Nah, kita sudah sampai," ujar Sean sambil merentangkan kedua tangan, memejamkan mata, merasakan semilir angin yang menerbangkan sedikit aroma lavendel di udara.

Kinan terpanah di sampingnya, menatap hamparan kebun lavendel yang sangat luas.

"Seharusnya kita kemari saat musim panas. Ketika bunga-bunga ini sedang mekar." Pria itu sekilas melihat Kinan yang masih mengedarkan pandangan. "Sebelum musim dingin tiba, semua lavender ini dipanen, jadi kita hanya bisa melihat sisa batangnya saja."

Sean terkekeh pelan saat melihat Kinan hanya mengangguk. telalu terpukau, karena sejauh mata memandang, yang tampak hanya jajaran batang lavendel yang membentuk deret panjang, berwarna kecokelatan dengan sedikit titik ungu sisa bunga yang terlewat dipanen. Seakan nyaris bersentuhan dengan matahari yang hampir tenggelam, mengintip dari balik bukit yang membentang sisi utara hingga barat.

"Menakjubkan, bukan?"

Masih terus menatap padang lavender, Kinan mengangguk antusias.

"Ayo!" Tanpa ragu, Sean mengenggam tangan Kinan, mengajaknya berjalan di antara hamparan lavendel. Mereka melangkah dalam diam. Sesekali Sean melirik gadis di sampingnya yang sedang memikirkan sesuatu.

"Tanyakan apa yang ingin kau ketahui."

"Kau tahu kalau aku ingin bertanya?"

"Sejak tadi juga begitu," jawab Sean sambil lalu.

Seringai kecil muncul di bibir Kinan. "Aku masih penasaran. Tanpa berpikir panjang, kau tiba-tiba membeli piano Emily dan mengembalikannya."

Beberapa detik sunyi. Hingga akhirnya Sean bergumam pelan, "Aku tak ingin ada anak yang bernasib sama denganku dulu." Ia sekilas memandang Kinan yang menatapnya heran. "Dulu, ayahku menjual piano milikku secara paksa. Memupus mimpiku untuk menjadi pianis."

Sean menengadah. Kilas kejadian itu singgah kembali di otaknya. "Ketika kau melihat keadaanku yang begitu kacau, kamarku yang berantakan, saat itu aku kembali mengingatnya," desah Sean. "Aku kadang merasa muak saat melihat cermin ketika menemukan wajahku yang nyaris serupa dengannya."

Genggaman tangan Sean menguat. Masih sambil melangkah, Kinan memandang wajah Sean dari samping. Ekspresi terluka kembali hadir di sana.

"Sean, kau tidak seburuk itu. Kau dan ayahmu sangat berbeda."

"Kau belum terlalu lama mengenalku, Kinan."

"Tapi aku bisa merasakannya. Kau orang yang baik, Sean." Seulas senyum tersunging di bibir Kinan, tepat saat Sean memandangnya. "Lihat saja yang kau lakukan untuk Emily."

"Itu hanya hal kecil. Masih banyak anak-anak bernasib seperti Emily di dunia ini, atau bahkan lebih buruk."

"Kau tidak bisa menjadi malaikat dan membahagiakan semua orang," gerutu Kinan. "Tapi setidaknya melakukan satu kebaikan lebih baik daripada tidak sama sekali."

Sean mengangguk, tersenyum samar.

"Sean, aku lelah, bisa kita istirahat sebentar?" Kinan menghentikan langkah, lalu berseru sambil menunjuk sebuah bangku di bawah pohon yang berada tak jauh dari tempat mereka. "Nah, itu sepertinya tempat yang bagus untuk berhenti sejenak."

Setengah berlari, Kinan menuju tempat yang ia tunjuk tadi. Sean melangkah pelan di belakangnya, berdiri beberapa meter, menjauh dari bayangan pohon yang mulai mengugurkan daunnya.

"Kau tahu, Kinan. Ada sebuah cerita tentang pohon ini," kata Sean dengan suara yang sedikit keras, agar Kinan bisa mendengarnya.

"Jangan bilang di sini ada hantunya," sahut Kinan sambil memelotot, memperingatkan. Namun, ia tak beranjak dari tempatnya yang nyaman, duduk di atas bangku kayu panjang.

"Bukan," kekeh Sean, "kata Kakek, itu hanya sebuah dongeng yang entah benar atau tidak."

"Dongeng apa?"

"Pohon ini disebut Pohon Kesetiaan." Sean masih berdiri, menatap lekat ke arah Kinan yang menyimak perkataannya. "Menurut dongeng yang beredar, jika ada sepasang kekasih yang duduk di bawah pohon ini, di bangku yang kau duduki sekarang ini, maka hubungan mereka akan bertahan selamanya, sampai mereka menikah, punya anak cucu, menua bersama, hingga takdir memisahkan."

"Oh, ya? Duduk di sini?" Kinan mengernyit, seakan tak percaya dengan cerita itu.

Sean mengangguk pendek, "Tapi, ya lupakan saja." Mengibas tangan, tersenyum tanggung. "Itu hanya dongeng anak-anak. Tidak terlalu penting."

Meski dikatakan tidak penting, nyatanya perkataan Alfred tentang pohon ini masih membekas di hati Sean sampai sekarang. Namun sayangnya, sang Kakek tidak bersama neneknya saat itu. Justru bersama Sean kecil yang baru saja kehilangan kedua orang tuanya.

Hati Sean bergemuruh, menunggu gadis itu bereaksi atas ucapannya. Namun, Kinan hanya diam, memandangnya. Hening menggantung. Pria itu memaksakan seulas senyum tanggung demi mencairkan suasana. "Tapi, itu kisah yang bagus, kan?"

Kinan tersenyum dan mengangguk, berdeham pelan, menarik napas panjang, lalu menepuk tempat kosong di sisinya, dengan pandangan mata meminta Sean duduk.

Ragu, Sean melangkah ke arah Kinan, duduk di sampingnya. Mereka sama diam, menikmati embusan angin dan gemirisik daun yang berguguran, saling melirik segan, canggung, lalu sama-sama tersenyum tipis dengan wajah merona.
*

Jantung Kinan berdetak kencang saat hangat telapak tangan Sean membungkus punggung tangannya, menyelusupkan kelima jemari di antara jari tangannya, mengenggam erat. Sambil menunduk, dengan suara yang bergetar, Kinan berkata lirih, "Aku berharap cerita itu bukan dongeng semata, agar aku bisa selamanya bersamamu."

Perlahan, Sean melepas genggaman tangan, sedikit menggeser duduknya, menatap Kinan yang balas memandangnya. Senyumnya terukir hangat, mengulurkan kedua tangan dan menenggelamkan gadis itu dalam pelukan lembut.

Jantungnya berdegup cepat. Namun napasnya terembus lega. Akhirnya, setelah berhari-hari hanya mampu menduga dan bertanya dalam hati, kini ia mendapat jawaban atas pengakuan perasaannya.

Bukan kata i love you atau j'te aime, tapi selamanya bersama. Itu sudah lebih dari cukup untuk Sean. Ia tersenyum sambil menghidu aroma rambut Kinan yang sama dengan lavendel di sekelilingnya. "Aku juga berharap, bisa selamanya bersamamu."

**

Terima kasih sudah mampir.

Al akan sangat bahagia kalau kalian berkenan memberikan komen dan klik bintang di pojokan itu. 😘

Writed on 16 November 2018

Kiss The Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang