8

38 4 2
                                    

Hati seorang anak akan rapuh, jika hati orang tuanya juga rapuh.

Begitu juga seterusnya.

Jika hati seorang anak hancur, maka hati orang tua juga hancur berkeping-keping.

***

Drum. Alat musik yang dimainkan dengan cara dipukul adalah salah satu alat musik yang sangat Zenka sukai. Jika suasana hatinya buruk, maka ia akan memainkan alat musik pukul tersebut. Zenka berada di studio musiknya. Disana ada beberapa alat musik seperti gitar klasik, gitar elektrik, keyboard, dan drum.

Zenka duduk dikursi drum. Kedua tangannya memegang stick drum yang berukuran 5A. Pelan-pelan Zenka memukul drumnya, dengan hikmat mendengar suara yang dikeluarkan. Selesai memukul drum satu per satu, akhirnya Zenka memukul lebih keras dan lebih cepat sesuai dengan ketukan yang ia susun. Mengeluarkan seluruh emosinya. Semua jenis musik ia mainkan, terutama musik rock. Salah satu, jenis musik kesukaannya.

Suara yang dihasilkan drum akibat Zenka, memantul diseluruh dinding studio. Semakin kuat dan kencang Zenka memukulnya, dia yakin jika ada orang disini selain dirinya, gendang telinga orang itu akan rusak bukan hanya rusak bahkan sobek, mengeluarkan darah. Zenka mulai memikirkan hal-hal yang mengerikan, membuat Zenka menyeringai seram sembari terus memukul kuat drumnya.

Keringat mengucur diseluruh wajah dan badannya. Merasa sudah tenang, Zenka akhirnya berhenti bermain dan mengatur nafas.

Pintu studio sedikit dibuka, Lionel mengintip kakaknya dari luar sekedar memeriksa keadaan Zenka. Disana Zenka duduk dikursi drum, menyeka keringat sambil tersenyum senang. Perasaan tidak nyaman menyelimuti hati Lionel, dia merasa sangat takut.

Lionel kembali menutup pintu dan berlari menuju kamarnya. Panik menyerang tubuh dan pikirannya.

"Kakak kenapa? Aduh!!!", ucap Lionel sambil mengelus kakinya akibat tersandung kaki meja belajar. Pikirannya menjadi kalut. Dia jalan berbolak-balik bak setrikaan rumah.

Suara bel rumah berbunyi, Lionel keluar dari kamarnya. Bi Ijah di taman belakang menyiram bunga sedangkan kakaknya masih berada didalam studio. Sekarang keempat sahabat kakaknya ada dihadapannya, Lionel mengajak mereka masuk.

"Nel. Mana si Zenka?", tanya Dean. Semuanya mengeluh kepada Dean, tidak bisakah dia lebih sopan dan lebih lembut dihadapan anak kecil. Yang dikomentar malah mengendikkan bahunya, balik melihat Lionel.

Lionel menunjuk ke atas, "di sana, kak.". Semuanya mengangguk. Rion, Luis, Lois dan juga Dean berdiri dari sofa ingin ke atas, tetapi ditahan oleh Lionel.

"Kakak tau Kak Zenka kenapa?"

Luis dan Lois menggeleng dan serempak menjawab, "enggak tau". Lionel mengangguk lalu berjalan meninggalkan mereka menuju kamarnya. Keempat sahabat Zenka menaiki tangga menuju studio musik Zenka, tidak heran mengapa Lionel bertanya ada apa dengan Zenka kepada mereka, lalu pergi meninggalkan mereka.

Rion mengetuk pintu, "Zen. Ini gue.". Zenka membuka pintu studio lalu ia menggerakkan kepalanya menyuruh mereka masuk. Luis mengambil gitar klasik milik Zenka. Zenka melotot, "rusak. Awas lo!"

Luis mengibaskan tangannya, "gak bakal."

Luis memainkan beberapa lagu kesukaannya berbanding terbalik dengan Lois. Lois tidak suka dengan jenis musik pilihan kembarannya. Terlalu cheesy pikirnya.

"Nggak bisa mainin lagu lain apa?", ketus Lois berniat menghentikan permainan lagu Luis.

Luis menggeleng, "this is my style, bro. Lo harus suka sama genre lagu ini. Biar bisa romantis sama gebetan, terus banyak yang suka sama lo."

Lois memutar matanya, "emang dari musik doang cewek bakal suka? Heh cewek itu juga mau liat kesetiaan cowoknya, bukan cuman keromantisan cowoknya!"

"Serah lo dah.", Luis menyerah. Melihat itu Lois tertawa, wajah Luis semakin ditekuk.

"Oi curut! Bisa diem gak sih?!"

Tawa Lois terhenti dan juga Luis yang awalnya menunduk sekarang menegakkan kepalanya. Keduanya menaikkan alis, bingung dengan Rion yang tiba-tiba berteriak.

Dean menghela nafas, seharusnya Zenka yang marah kepada Luis dan Lois karna dia adalah tuan rumahnya tapi jadinya Rion yang memarahi mereka berdua. Dean menggelengkan kepalanya.

Orang yang baru saja dipikirkan Dean, tidak merasa terganggu dengan keributan tersebut malah ia balik bermain drum. Kali ini, ia bermain pelan karna ada teman-temannya. Ia tidak ingin keempat sahabatnya terbaring sakit di UGD nantinya.

"Zen."

Aksi permainan drum Zenka terhenti karena Rion memanggilnya. Rion mengibaskan tangannya menyuruh Zenka untuk duduk bergabung dengan mereka. Zenka menghela nafas, seharian ini ia dilontarkan pertanyaan secara terus menerus.

"Kenapa?", tanya Zenka to the point.

"Kayak enggak tau aja maksud kita.", jawab Dean sambil duduk bergabung dengan tangan yang memegang kemasan kotak teh.

Zenka mendengus, "bukan urusan kalian." Ia tidak terlalu suka jika urusan yang memang hanya berkaitan dengan dirinya, harus diceritakan kepada orang lain. Tapi, karna ini sahabatnya yang meminta maka ia akan menceritakannya walaupun masih merasa agak kurang nyaman.

"Gue didiskors," ucap Zenka.

Semuanya mengangguk. Itu sudah mereka yakini bahwa Zenka dipanggil ke ruang kepala sekolah akan terkena hukuman diskors. Zenka awalnya mengira itu akan mengakhiri pertanyaan yang mereka maksud, tetapi mungkin ia salah. Semuanya masih melihat dirinya dengan raut wajah penasaran.

Zenka menarik nafasnya sedalam mungkin. Ia merasa pasokan oksigen di studionya menghilang seketika.

"Gue gertak tuh kepala sekolah buat enggak manggil gue sama Lionel sebagai anaknya lagi," jawab Zenka dalam satu hembusan nafas.

Rion berdecak, "lo gak boleh gitu ke bokap lo sendiri Zen."

Sebagai balasan Zenka hanya mengendikkan bahunya. Luis dan Lois melirik satu sama lain sedangkan Dean menggelengkan kepalanya. Kesal menyelimuti perasaan Dean.

"Gue keluar," kata Zenka sembari berdiri. Berusaha secepat mungkin keluar dari ruangan hampa udara ini. Dean menarik tangan Zenka, otomatis Zenka kembali menghadap kepadanya.

'Bug!'

Satu tinjuan telak Dean layangkan membuat hidung Zenka mengeluarkan darah. Baik Rion maupun Luis dan Lois, dibuat terkejut oleh tindakan Dean.

Zenka menghapus darah yang mengalir keluar dari hidungnya. Zenka menatap tajam ke Dean, sedangkan Dean menatap Zenka dengan perasaan kesal.

"Jangan buat gue habisin lo disini," gertak Zenka masih dengan tatapan tajamnya.

"Lo yang enggak baik Zen! Itu bokap lo! Lo itu darah dagingnya sendiri!"

Zenka berdecih, membuat Dean semakin kesal. Dean melayangkan satu tinjuan lagi. Zenka dapat melihatnya, tetapi ia hanya berdiri diam bagaikan patung tidak menghindar ataupun membalas pukulan Dean.

"Lo tau akibat dari gertakkan lo itu?!"

Dean berbicara dengan intonasi suara yang keras, seolah ingin telinga Zenka menangkap semua perkataannya. Zenka hanya diam mendengarkan.

"Bokap lo sakit hati denger lo ngomong kayak gitu, Zen," sambung Luis.

"Bokap lo kecewa juga sama lo," sambung Lois lagi. Rion mengangguk.

"Karna lo itu anaknya. Enggak baik ngomong gitu ke orang tua, Zen."

Zenka mengalihkan perhatiannya, tidak ingin melihat keempat sahabatnya yang ingin ia dan ayahnya berbaikkan. Zenka keluar dari studionya, meninggalkan sobat-sobatnya didalam.

Sebelum keluar ia ada berkata sesuatu, membuat sahabat-sahabatnya itu terdiam.

"Kalo gue anaknya, seorang ayah gak bakal buat suatu hal yang paling menyakiti hati anaknya. Gue sama Lionel. Anak kandungnya sendiri!"

Evil GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang