Matahari pagi bersinar dengan anggun dan heningnya malam masih tersisa, meskipun kini sudah memasuki pukul enam. Saat dimana semua orang mulai bergegas melakukan aktivitas mereka, ramai yang mulai terasa di tiap sudut kota Bangkok.
Terlebih keramaian di Bandar Udara Suvarnabhumi, salah satu bandara international yang melayani setiap maskapai penerbangan dari berbagai negara.
BLAM!
Beam menghempaskan pintu mobil kakak perempuannya dengan tidak sabar, ia segera menuju bagasi mobil dan mengambil koper bawaannya.
"Hei... Nong. Kau bisa merusak mobil yang baru lunas cicilannya... "
Tegur sang kakak, Prim, yang mengantar adik semata wayangnya. Jemari lentiknya kini mengunci pintu mobilnya, setelah matanya melihat Beam tengah melintasi lahan parkir dengan tas punggung dan koper. Langkahnya pun sedikit dipercepat untuk menyamai Beam.
"Aku melakukannya sehingga bisa mengejar waktu... Ahh bisakah P berjalan lebih cepat? Pesawatku akan take off sebentar lagi"
'Heh... Kenapa jadi marah padaku? Padahal dia sendiri yang kesiangan'
"Sudah jangan menggerutu lagi P..."
"Oh... Kau mendengar suaraku? "
BRUG
Badan mungil Prim menubruk tas punggung sang adik yang tiba-tiba berhenti. Beam membalikkan badannya dan menatap ke arah Prim.
"Aku rasa kita harus berpisah sekarang, P?"
"Kenapa? "
"Ya Tuhan... P. Kita sudah sampai dibatas kau bisa mengantarku..."
Prim pun hanya cengengesan, mata kelamnya itu baru menyadari kalau ucapan adiknya memang benar.
Itu berati di sinilah dia harus berpisah dengan sang adik.
"P... Aku pamit ya. Sampai bertemu 3 bulan lagi. Maafkan aku sudah memarahimu tadi hehehe... "
Ah iya 3 bulan dari sekarang Prim baru bisa menemui adiknya yang sedang menjalani semacam pelatihan di Berne University Hospital
"Tidak apa Nong. Jaga dirimu di sana ya. Jangan makan sembarangan. Kalau lelah langsung istirahat. Ouh iya di sana sedang musim gugur dan suhunya pasti cukup dingin ketimbang Bangkok, karena-"
"P... Sudah... Aku sudah hafal pesanmu itu. Bahkan lebih hafal ketimbang susunan rangka manusia..."
Sedih dalam 'perpisahan sementara' itu mampu membuat Prim sedikit terbawa perasaan. Mata kelamnya sedikit memanas, ada bagian dalam dadanya yang sedikit sesak melepas kepergian Beam. Sejak kecil ia tidak pernah berpisah sejauh itu dengan adik semata wayangnya.
"Aku tahu... Sudah... Pergilah sana, Nong. Pasti dosen pendampingmu sudah menunggu di pintu masuk sana, "
"Baiklah, aku pergi dulu, P. Sampai bertemu 3 bulan lagi,"
Dan di situlah Beam kali terakhir melihat Prim. Dirinya semakin menjauh, memasuki bandara.
.
.
.
Dari kejauhan Beam bisa melihat sang dosen pendamping yang sudah menunggunya. Bahkan raut wajah kesal terpancar dari wajah pria paruh baya itu.Instingnya pun memaksanya untuk bergegas menghampiri pria itu yang kini tengah duduk di kursi tunggu dekat pintu masuk pesawat. Dia harus menyiapkan batin untuk mendengar ceramah dosen 'kesayangannya'.
BRUG
Salah satu dari efek terburu-buru, ya ini, ceroboh dan tidak memperhatikan jalan. Beam segera membantu pria yang ditabraknya barusan. Beberapa majalah pria itu berceceran di lantai.
YOU ARE READING
Just Stay Beside Me | Forth & Beam's Story
Romance"Meskipun itu menyakitkan, aku takkan berhenti mencintai Calon Dokter itu," . . . Perjalanan dinas ke Swiss membuat Forth bertemu dengan Beam. Pertemuan yang rupanya membawa mereka pada takdir yang tak terduga. Saat kejujuran yang menyakitkan it...