Part 04

42 7 0
                                    

"An,"

"Ya Shil?"

"Gue mau jalan-jalan."

An pikir Shila akan bercerita. Ternyata tidak.

"Ke mana lagi?"

"Suatu tempat yang belum pernah gue datangi."

"Ya udah sana pergi ke warung kek, club kek, kedai kopi kek."

"Emang boleh ya gue ke club?"

"Terserah lo. Asal jangan ajak gue."

"Kenapa emangnya?"

"Gue udah tobat,"

Kini ganti Shila yang menghela napas. Ia pun memutuskan untuk pergi ke kedai kopi bersama An. Tempat yang belum pernah ia datangi.

Sebenarnya Shila memang tidak boleh minum kopi. Dulu pernah ia mencoba minum kopi, tetapi ia langsung dilarikan ke rumah sakit gara-gara punya masalah sama lambungnya.

Di kedai kopi, mereka memesan ice white koffie. Di sanalah Shila baru menceritakan masalah yang ia alami.

"Kemarin gue dipukul mama," ucap Shila sendu.

"Yang bener,"

"Iya, gara-gara gue pulang terlambat. Padahal kan kemarin hujan. Mama kayak gitu gara-gara papa nggak pulang dua hari. Jadi, ya gue dibuat pelampiasan kemarahan mama."

"Yaudah, lupain aja dulu. Lo coba hal yang baru. Biar lo nggak kepikiran sama hal itu melulu. Mungkin lo butuh tumpangan kamar gue lagi?" tanya An sambil mengembangkan senyuman.

Shila berhambur memeluk An.

"Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Mau ke mana? Shopping? Biar gue yang bayarin deh,"

"Beneran?"

"Em, iya. Tapi jangan banyak-banyak ya Shil. Nanti uang gue habis."

An dan Shila pun pergi ke mall. Membeli beberapa pakaian, sepatu dan tas.

Sementara itu, Raf sedang risau. Pasalnya ia tak melihat An di kantin hari ini. Ia juga tak menerima pesan dari gadis itu pagi ini.

"Freya, Chika, kalian lihat An nggak?" tanya Raf saat bertemu dengan dua teman An di kantin.

"Nggak tahu. Mungkin ada di kelas." jawab Freya.

Berkali-kali Raf mengirim chat via Whatsapp ataupun Line. Tetapi sama sekali tidak dibaca. Terkirim saja tidak. Ia pun menghubungi An. Nihil. Nomor teleponnya ikut tidak aktif.

Di lain tempat, An bercerita banyak hal pada Shila. Tetang apa saja. Asal Shila mampu melupakan masalah yang dihadapinya sejenak.

"Seru ya kayaknya. Gue jadi pengen ikutan diklat OSIS."

Bercerita tentang diklat OSIS membuat An teringat dengan Raf. Ia sampai lupa mengabari pria itu. Baru saja ia mengeluarkan ponsel, Shila sudah menyindirnya.

"Lo mau ngabari Raf? Buat apa sih, An? Dia aja nggak pernah peduli sama lo kok."

"Raf peduli banget kok sama gue," bantah An.

"Asal lo tahu aja ya, Raf sering chattingan sama Freya."

"Iya gue tahu kok, Shil. Raf sering curhat ke Freya."

"Jadi kalau dilogika, kenapa Raf curhatnya ke Freya bukan ke lo?"

"Ya, karena----"

"Karena lo dan Raf ada apa-apa gitu?!"

An hanya diam. Memangnya dirinya dan Raf ada apa-apa ya? Mereka hanya sahabat. Tetapi, benar kata Shila. Jika mereka sahabat pastinya Raf curhat tentang masalahnya pada An bukan pada Freya.

Oke, An akui kalau kali ini ia mulai cemburu dengan kedekatan Freya dan Raf.

"Diem kan lo! Udah tahu kalau Raf itu cuma covernya aja alim. Aslinya mah dia sama aja kayak cowok yang lain."

"Raf nggak kayak gitu, Shil." An mencoba membela Raf.

"Lo masih bisa-bisanya bela dia. Terserah lo deh! Paling juga sebentar lagi lo bakal nyesel." ucap Shila acuh tak acuh.

An menatapnya kesal. Ia percaya Raf tak seperti apa yang dikatakan Shila. Ia juga tahu bagaimana kedekatan Raf dengan Freya yang notabennya adalah sahabat sendiri. Ia tahu apa yang sering menjadi permasalahan Raf pada curhatannya pada Freya.

Yaitu tentang dirinya. Ia tahu segalanya kok tentang Raf. Jadi, ia kali ini tak akan percaya dengan kata-kata Shila.

Di tempat lain, Raf sedang menuju ke rumah An. Ia khawatir. Karena tadi saat ia di kelas An, gadis itu tidak masuk. Yang lebih menghawatirkan adalah An yang tidak menyalakan ponselnya. Padahal jika ponselnya sedang dicharger saja, masih dinyalakan.

Raf tidak mendapati siapa pun sesampainya di rumah An. Ia mengacak rambutnya. Ia sudah berniat akan melaporkan kehilangan An ke polisi jika sampai besok An masih tidak ada kabar.

Pukul 07.15 PM. Sebenarnya An sudah memaksa Shila untuk pulang. Namun, sekarang mereka sedang berdiri di sini. Di antara motor-motor race yang sudah dimodifikasi. Semua standar pabrik sudah dirubah.

Padahal tak biasanya Shila mengajak sini. Tempat di mana balap liar dilakukan.

"Ngapain sih, Shil?! Gue takut," ucap An.

Tentu saja ia merasa ketakutan. Lihat saja di samping kanan kiri banyak joki balap liar yang melihat mereka berdua.

"Udahlah! Bosen gue kalau pulang. Bukannya dulu lo suka lihat balap liar?"

"Enggak! Jangan ngarang ya lo. Gue nakalnya nggak begini tahu!" bantah An.

"Iya deh iya. Tapi gue cuma pengen nonton aja. Katanya lo mau gue lupain masalah gue,"

"Tapi nggak begini juga kali!"

Berkali-kali An mengajak Shila pulang. Namun, tetap saja sahabatnya itu bersikeras untuk melihat balap liar.

Di seberang sana, tak sengaja mata An bertatapan dengan seseorang yang dikenalnya. Ia membekap mulutnya.

Sebab seseorang itu sedang duduk di pinggir jalan bersama para joki dan sedang merokok. An menepuk pundak Shila.

"Apa sih, An? Iya nanti pulang kok."

"Bukan, Shil. Tapi itu---" An menunjuk seseorang di seberang sana.

Andin dan Shila saling berpandangan. Mereka sama-sama terkejut.

Telah BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang