Mama dan Ayah tiri Andin berjalan menghampirinya yang duduk di kursi tunggu. Mama langsung menghambur ke pelukan anaknya. Berkali-kali sang mama mengecup pipi anaknya.
Bukannya malu menjadi sorotan orang-orang, Andin justru tertawa. Tentu ia bahagia. Walau ia ditinggal di rumah sendirian berbulan-bulan, ia tak seharusnya jauh dengan orang tua. Justru ia merasa bersyukur karena orang tuanya selalu memberi kasih sayang. Termasuk ayah tirinya. Ah, hari ini jangan bicarakan sang papa kandung terlebih dahulu ya.
"Mau pulang dulu apa langsung makan?" tanya ayah tirinya.
"Pulang aja deh. Kita pesan delivery aja. Kan kasihan mama sama ayah nanti kecapekan." ujar An.
"Yaudah kita makan di luarnya besok aja, ya." ucap mama.
"Iya mama," jawab An seraya memeluk mamanya.
Mereka pulang ke rumah dengan ayah tiri yang menyetir. Sekilas tentang ayah tiri Andin, namanya Rudi Aryasa. Beliau adalah kepala sekolah di SMA Global. Lahirnya di Probolinggo. Menikah dengan mamanya yaitu Melati sekitar tiga tahun yang lalu.
"Ayah, nanti ayah balik lagi ke SMA Global?" tanya Andin saat mereka baru turun dari mobil.
"Enggak," jawab Rudi lalu memasukkan barang-barang bawaan ke dalam rumah.
"Kok enggak sih?" tanya Andin seraya membantu mengangkat tas.
"Andin, biar ayahmu ngangkat barang dulu dong. Nanti aja tanyanya," nasihat mama.
"Iya, ma."
Selesai memindahkan barang bawaan, Andin dan ayahnya duduk di ruang tengah.
"Nah, mau tanya apa tadi?" tanya Rudi.
"Ayah kenapa nggak balik ke SMA Global?"
"Karena---- ayah mutasi. Jadi, kita akan bareng-bareng terus. Kamu nggak kesepian lagi di rumah."
"Wah, beneran yah?" Andin bersemangat.
"Iya,"
"Mama juga mutasi?" tanya Andin dengan polosnya saat mamanya ikut duduk bersama mereka.
Ia berharap mamanya akan menjawab iya. Jadi, ia bisa tinggal bersama keluarga yang lengkap. Ya, walau bukan dengan papa kandungnya.
"Enggak," jawab sang mama.
"Yaah, kok enggak sih." An sedikit kecewa.
"Kan udah ada ayah." kata mamanya. "Lagian mama mana bisa mutasi. Kan kantor tempat kerja mama nggak ada cabangnya."
"Iya, ya. Tapi kalau libur mama ke sini kan?"
"Tentu saja dong."
"Setiap minggu mama akan ke sini."
"Ah nggak usah sampai begitu juga, ma. Kasihan mama kalau harus bolak-balik ke sini cuma gara-gara An. Lagian An udah besar. Udah mandiri tahu."
"Iya mama tahu kok. Kan mama sayang banget sama Andin. Jadi pengen ketemu terus."
Mama memeluk Andin erat. Ayah berdeham.
"Jadi ayah nggak dipeluk? Cuma mama aja?"
Andin tertawa. Ia memeluk ayah dan mamanya.
***
Pagi harinya, Andin berangkat sendiri. Ayah tirinya harus mengantar mama ke bandara. Sedangkan Raf, entahlah tiba-tiba saja tanpa kabar. Agam? Andin sudah mengatakan bahwa Agam tidak boleh menjemputnya lagi.
Kali ini Andin tidak menyetir mobil sendiri. Karena ayahnya tidak membawa mobil, jadi mobil An yang dipakai. Ia naik taxi sampai sekolah. Tetapi, sebuah insiden membuatnya terkejut.
Ada banyak mobil dan motor yang terparkir tak teratur di halaman sekolah. Para siswa sedang melakukan unjuk rasa di sana. Sedangkan para orang tua dan wali murid berada di aula. Sedang mengadakan rapat, kata orang-orang.
Andin memberhentikan siswi yang lewat. Ia bertanya tentang kejadian yang sebenarnya terjadi.
"Lo nggak masuk grup angkatan apa emang nggak baca sih? Hari ini kan semua pada demo gara-gara pak kepsek korupsi."
Andin mematung sesaat. Sedangkan orang yang ditanya sudah ngacir ikut demo. Ia melihat para siswa berteriak agar kepsek segera lengser. Itu membuatnya teringat pada Agam.
Segera, An berlarian mencari Agam. Mungkin di rooftop. Ah, Agam tidak ada di sana. Ia mencari ke kantin. Agam juga tidak ada. Di belakang kantin pun tidak ada.
Samping sekolah.
Ia segera berlari ke sana. Benar saja Agam sedang merokok di sana. Ia bingung harus bagaimana. Pasalnya ia tak terlalu dekat bukan dengan Agam? Lagi pula untuk apa sih dia berlarian mencari Agam.
Saat membalikkan badan ingin pergi, Agam memanggilnya lirih. Andin menghela napas. Kemudian berjalan perlahan mendekati Agam.
"Padahal gue nggak peduli dengan segala hal yang si brengsek itu lakukan." kata Agam dengan tatapan melankolis.
Andin yang baru duduk di samping Agam hanya mampu diam. Ia tahu. Pasti Agam tetap saja merasa rapuh.
"Padahal gue seharusnya bahagia dia lengser dari jabatannya." katanya. "Tapi gue nggak bisa, An."
"Agam--- gue nggak tahu harus bagaimana biar lo nggak sedih." ucap An lirih.
"Haha gue nggak sedih."
Agam berusaha terlihat bahagia. Tetapi justru terlihat aneh. Ia membuang putung rokok yang sedari tadi dimainkannya.
"Agam---" suara An seperti tercekat.
"Gue ternyata nggak sekuat itu."
Tiba-tiba kedua tangan Agam melingkar di pundak Andin. Seketika Andin membulatkan matanya. Namun, ia tak bergerak dari tempatnya. Ia membiarkan Agam seperti itu. Ia tahu, pasti rasanya sulit bagi Agam.
Tidak. Agam tak mungkin menangis. Pria itu hanya memejamkan mata. Merasakan sesak karena ulah papanya. Padahal selama ini ia berusaha tak peduli. Nyatanya sia-sia. Ia tetap saja memikirkan papanya yang ia anggap kejam itu.
Andin mengusap kepala Agam pelan. Ia sendiri refleks melakukan hal tersebut. Tidak ada niatan apa pun. Tentu saja, memangnya ia berniat untuk apa.
Saat tak sengaja mengedarkan pandangan, An mendapati Raf sedang melihatnya bersama Agam. Tangannya langsung berhenti mengusap puncak kepala Agam. Seketika jantungnya berpacu lebih cepat. Raf menatapnya tajam di seberang sana.
Tangan Agam masih melingkar di pundak Andin. Ia masih memejamkan mata. Tak melihat bahwa Andin sedang kebingungan. Dan Raf masih di sana. Andin menatap Raf dan Agam bergantian.
Sial! Tidak seharusnya ia berada di posisi seperti ini. Ia ingin menghampiri Raf. Tapi ia merasa tak enak pada Agam. Pria itu sedang dalam keadaan kacau. Tak mungkin An menambah masalah lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Telah Berbeda
أدب المراهقينAn, seorang siswi SMA yang memiliki tiga sahabat perempuan. Yaitu Chika, Freya, dan Shila. Ia juga memiliki seorang sahabat pria. Namanya Raf. Dan ia terjebak dalam friendzone. Awalnya, semua biasa saja. Tetapi, ketika ayah tirinya diangkat menjadi...