Pria itu memukul pria mabuk yang mengganggu An. Mereka saling pukul dan menendang. Hingga akhirnya pria mabuk tersebut K.O.
Pria itu adalah Agam. Ia menarik lengan An. Diikut oleh Freya dan Chika yang memaksa Shila untuk pulang.
Sesampainya di parkiran, mereka semua hanya diam. Bahkan, Shila pun juga diam karena sudah teler. Agam menatap An tajam. Ia membuka suara pertama kali.
"Lo pulang naik apa?" tanya Agam pada An.
"Mobil,"
"Mana kunci lo?"
"Buat apa?" tanya An polos.
"Ya gue anter pulang lah."
"Ha?" An melongo.
"Nggak usah sok bego! Mana kunci lo? Gue nggak mau aja lo kenapa-kenapa."
"Gue bisa jaga diri kok," elak Andin.
"Yang kayak tadi lo bilang bisa jaga diri?" Agam menaikkan suaranya satu oktaf.
"Em, eh tapi kan---"
"Udahlah, lo tinggal ngasih kunci doang."
Andin pun menyerahkan kunci mobilnya. Agam menyetir mobil. Andin duduk di sebelahnya dengan canggung. Freya dan Chika menjaga Shila yang sudah tertidur saja akibat kebanyakan minum whiskey.
Di perjalanan pulang mereka semua hanya diam. Chika tertidur karena kelelahan. Freya menatap Andin dan Agam dari belakang. Sedangkan An hanya diam menatap jalanan melalui kaca jendela mobil. Entah mengapa jantungnya berdebar kencang.
Agam fokus menyetir. Tetapi, tidak sepenuhnya. Ia menatap Andin sekilas. Lalu, melihat dari kaca spion tengah. Memastikan keadaan Shila dan kawan-kawannya yang duduk di belakang.
Sesampainya di halaman rumah Andin, Agam membantu menggendong Shila. Tiba-tiba saja Shila muntah hingga mengenai baju Agam. Membuat pria itu harus menahan muntahan bau alkohol.
"Biar gue aja yang bawa Shila." ucap An.
An, Freya, dan Chika membopong Shila menuju kamar An. Mereka juga membantu membersihkan pakaian Shila.
"Eh, gue turun sebentar ya. Mau cariin baju punya ayah buat Agam."
"Iya," ucap Chika dan Freya bersamaan.
Lalu, An menuruni anak tangga. Ia celingak celinguk mencari keberadaan Agam. Tetapi pria itu tidak ada.
"Mungkin dia udah pulang," ujarnya pada diri sendiri.
Saat ia kembali ke atas, ada sebuah panggilan masuk. Buru-buru ia mengangkat tanpa melihat nama yang tertera di layar.
"Hallo,"
"An, lo di mana?" tanya orang di seberang telepon.
Tanpa melihat nama kontaknya sekali pun, gadis itu sudah tahu siapa yang meneleponnya. Tentu saja Raf. Siapa lagi?
"Di rumah. Memangnya kenapa?"
"Nggak apa-apa sih. Tadi Freya chat, katanya lagi pergi sama lo nyari Shila."
Seketika Andin mematung saat mendengar apa yang diucapkan Rafly barusan. Jadi, Freya dan Raf sedekat itu? Bahkan, ketika Raf sedang online, ia tak membalas pesan dari An. Tiba-tiba saja ada yang sesak di dadanya.
Ini ya yang namanya cinta? An menggeleng keras. Jangan memikirkan hal seperti itu dulu.
"Raf, sudah ya. Gue mau urus Shila dulu."
"Eh, bentar An gue---"
Langsung, An mematikan sambungan telepon. Iya, alasannya memang ia tak mau merasakan sesak di dadanya lagi. Alasan lain, ia tidak boleh memikirkan hal lain kecuali Shila. Karena saat ini Shila sangat memerlukan dirinya.
"Shila udah tidur?" tanya An.
"Iya. Sepertinya dia benar-benar depresi." kata Chika.
Pandangan Andin bertemu dengan tatapan Freya. Entah mengapa lagi-lagi ia merasakan sesak. Andin menghembuskan napas panjang. Ia beralih menatap Shila yang sudah terlelap di ranjangnya.
"Kalian berdua tidur di sini aja ya. Besok pagi-pagi gue antar ke rumah kalian buat ambil seragam sekolah."
"Nggak usah. Besok gue mau bolos," ujar Freya.
"Tumben lo berani bolos," sinis An.
Entahlah mengapa tiba-tiba ia menjadi seperti itu pada Freya. Padahal Freya adalah sahabatnya sendiri. Shila juga sahabatnya sendiri. Tapi kan ia harus berpikir positif pada Freya dan Raf.
"Gue mau jaga Shila." kata Freya.
"Yaudah, gue juga mau jaga Shila." An ikut-ikutan.
"Lo besok kan harus nyari acc buat proposal hari guru, kan." ucap Chika.
"Emangnya udah jadi ya proposalnya?"
"Udahlah. Kan gue sekretaris progja hari guru. Jadi udah clear." jelas Chika bangga.
"Kayak merk sampo aja." Freya yang berkata.
Chika dan Freya tertawa. Tidak dengan An. Ia menatap Freya sendu.
***
Pagi harinya, An berangkat bersama Chika. Karena Freya sedang menjaga Shila. Pagi-pagi sekali, ia mengantar Chika sampai rumahnya untuk berganti pakaian.
Saat menunggu Chika berganti seragam, Raf menelepon An. Ia pun menggeser slide berwarna hijau.
"Halo,"
"An, maafin gue hari ini gue nggak bisa berangkat bareng lo."
"Iya nggak apa-apa. Gue naik mobil sendiri kok,"
"Lo hati-hati ya. Soalnya gue harus dispen hari ini buat nyewa panggung."
"Iya, Raf."
"Hati-hati,"
"Iya iya."
Andin mematikan sambungan telepon. Setidaknya Raf cuma menjadi ketua panitia hari guru. Bukan semacam diklat, baksos, atau yang lainnya.
Chika muncul dari belakang. Ia sudah siap berangkat. Mereka pun ke sekolah bersama.
"Chika," panggil An saat mereka sudah sampai di parkiran.
"Apa?"
"Lo mau nggak bantuin gue nyari acc?"
"Em, gimana ya?" Chika bergumam. "Ngajak yang lain aja deh."
"Yaah, padahal nanti gue pengen nyari acc sama lo."
Chika merangkul pundak Andin.
"Yaudah iya deh nanti gue temenin deh."
"Beneran ya?"
"Iya,"
***
Andin duduk di kantin sendirian. Chika masih di lab biologi. Ia makan dengan tidak nafsu. Padahal kan seharusnya ia makan sambil berceloteh bersama teman-temannya.
"Boleh gue duduk di sini?"
"Eh--"
Tentu saja An terkejut. Pasalnya tak pernah ada orang yang ingin duduk dengannya di kantin selain teman-temannya. Apalagi ini seorang pria. Dan pria itu adalah Agam.
Tanpa menunggu jawaban Andin, Agam sudah duduk di hadapannya. Ia memakan bakso tanpa memedulikan An yang sedang menatapnya penuh tanda tanya.
Jelas saja. Seorang Agam yang terkenal badboy itu duduk berhadapan dengannya. Agam itu ciri-ciri badboy yang supel. Bukan yang sok cool. Bahkan, kadang kelakuan Agam melebihi batas normal.
"Udah nggak usah lihatin gue. Sana makan!" kata Agam
Pria itu sudah selesai makan. Kemudian, berlalu meninggalkan Andin yang masih bingung atas sikap Agam yang ambigu.
"Kenapa sih itu cowok?" An mendecak kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Telah Berbeda
Novela JuvenilAn, seorang siswi SMA yang memiliki tiga sahabat perempuan. Yaitu Chika, Freya, dan Shila. Ia juga memiliki seorang sahabat pria. Namanya Raf. Dan ia terjebak dalam friendzone. Awalnya, semua biasa saja. Tetapi, ketika ayah tirinya diangkat menjadi...