Aku bukanlah seseorang yang mudah bergaul. Selain karena jumlah siswa dari sekolahku hanya sedikit yang membuat kami menjadi murid minoritas, aku juga mempunyai latar belakang korban bullying selama SD.
Rambutku berkutu. Hal itu menjadi momok terbesar di lingkungan sekolahku yang baru ini. Aku takut teman-teman baruku menjauhiku, seperti yang dilakukan oleh hampir seluruh teman sekelasku dulu. Sehingga bisa dikatakan aku yang merupakan seseorang yang sulit bergaul bukan karena asli sifatku, tetapi dari pengaruh lingkunganku. Aku sangat takut dibenci teman-temanku untuk kedua kalinya.
Kembali lagi ke murid minoritas. Karena tidak ada yang kukenal, aku tidak mempunyai teman yang bisa kuajak untuk duduk semeja. Kuperhatikan sekeliling, sebagian besar sudah asyik bercengkerama dengan teman dari sekolahnya sendiri.
Aku sempat berpikir mungkin seperti ini yang terjadi jika aku melanjutkan sekolah di SMP Negeri 2, sekolah tujuan sebagian besar teman SD-ku. Aku tak akan merasa asing seperti ini. Tapi seketika benakku berubah ketika aku mengingat tentang kondisiku selama SD yang terkucilkan. Aku langsung bersyukur dengan situasi saat ini. Inilah saatnya aku membuka lembaran baru.
Aku duduk di bangku paling depan. Bukannya ingin, tapi dua deret paling depan masih banyak yang kosong. Sesuatu yang aneh bagiku. Dulu semasa SD, untuk duduk di bangku paling depan merupakan perjuangan luar biasa. Harus datang pagi-pagi untuk booking tempat. Kalaupun sudah datang pagi pun, tetap saja disuruh pindah ke belakang. Ibaratnya teman SD ku itu yang dari kelas 1 sudah duduk di depan, otomatis mematok harus duduk di tempat yang sama selama 6 tahun. Untungnya saat kelas 6 wali kelas bersikap adil. Beliau menyarankan bangku depan diperuntukkan bagi siswa yang bisa dibilang kurang menonjol akademisnya. Meski tak bisa juga memberiku kesempatan untuk duduk di depan. Jadi tak dinyana aku bisa duduk di depan seperti saat ini dengan cara yang mudah.
"Ini kosong kan?" tanya seorang teman baruku menunjuk kursi di sampingku.
"Iya, kosong. Duduk aja," ujarku mempersilakan.
"Terima kasih. Nama kamu siapa?" Ia mengulurkan tangannya.
Aku membalas jabatan tangannya dengan senang hati. Benar-benar tak kusangka aku diajak kenalan seorang teman. Semoga saja ia menjadi teman baruku yang baik. Yang mau menerima kekuranganku. "Putri. Kalau kamu siapa namanya?"
"Nita." jawabnya singkat. Sesingkat senyumnya.
Sifat Nita yang pendiam pendiam cuek membuatku semakin membisu. Aku tak punya bahan pembicaraan yang sekiranya bisa mencairkan suasana yang kaku. Sementara dia pun tak ada minat untuk mengajakku bicara, tetapi dia mau bicara dengan teman yang duduk di belakangnya setelah sama-sama berkenalan.
Aku sedikit kecewa, sekaligus introspeksi diri mengapa tak bisa seperti dia yang mudah akrab dengan orang. Aku yang salah karena tak bisa menemukan bahan obrolan dengannya, atau dia yang diam-diam tak nyaman berkawan denganku. Mungkin dia tahu aku berkutu. Sebab kadang-kadang kutu di kepalaku itu juga kurang ajar suka tiba-tiba nongol di depan teman-temanku. Seperti dulu pernah lagi seru-serunya mengobrol, tiba-tiba ada kutu jatuh di alisku. Sontak teman-teman bubar menjauhiku karena takut tertular. Memikirkan itu aku jadi gelisah sendiri.
Aku mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan. Aku merasa kesepian di tengah-tengah hiruknya suara hangat teman-teman. Hingga tiba-tiba mataku terpaku pada satu titik yang berhasil menangkap pandanganku. Sekelilingku terasa membisu. Tak ada suara lagi yang kudengar selain dengungan panjang yang semakin lama terdengar semakin kencang. Perasaan hangat menjalari badanku dari kepala sampai kaki, membuat jantungku terasa berdetak cepat. Aku berasa seperti kuda yang berlari karena lecutan pecut kusir.
Aku memalingkan kepala cepat lalu menunduk. Perasaan apakah ini?
Sengatan aneh yang baru kurasakan itu tak ayal membuat tubuhku yang tadinya hangat mendadak dingin di akralnya. Kakiku yang bersepatu pun terasa dingin. Nafasku berembus satu-satu. Keringat dingin mulai muncul di telapak tangan dan kakiku.
"Putri, mau?" Nita mengguncang pelan tanganku. Ia menyodorkan Silver Queen yang sudah dibukanya.
"Ah, ya. Terima kasih." Pikiranku teralih. Aku memotong satu kotak sesuai garis. Aku tambah bahagia. Ternyata Nita tak secuek yang kukira. Maafkan aku teman, yang sudah berpikiran buruk tentangmu.
"Kamu udah aku tawarin dari tadi tapi cuma diem aja."
"Oh ya?" sentakku terkejut. Ternyata apa yang kualami tadi benar-benar parah. Sampai telingaku mendadak tuli.
"Iya. Kamu kenapa sih?"
"Ah, enggak. Nggak apa-apa kok." Aku menggeleng kuat-kuat lalu memakan cokelat pemberian Nita. Semoga Nita tidak curiga apa-apa.
Aku menoleh lagi ke arah dia. Dia yang telah menimbulkan kebat-kebit halus di dadaku. Di nomor tiga dari depan, serta nomor tiga dari deretanku, di sanalah dia bersemayam. Tertawa riang dengan teman di sekelilingnya. Rambutnya yang ikal berantakan tak mengurangi manis wajahnya. Saat dia tertawa, muncul lesung samar di ujung pipi kirinya. Aku tersenyum. Ternyata posisi lesung pipinya sama sepertiku.
Dia berhenti tertawa saat memergoki pandanganku. Sebagai gantinya, ia tersenyum memamerkan deretan giginya yang besar-besar dengan dua gigi taring yang amat jelas.
Aku terkesiap lalu memalingkan wajahku yang menahan senyum. Tak peduli jika Nita yang bisa saja memergokiku seperti ini, berpikiran macam-macam.
Anak laki-laki itu benar-benar seperti drakula di pagi bolong.