I'm A His Stalker

13 0 7
                                    

Bukannya sibuk mencari tanda tangan, di jam istirahat MOS hari pertama ini kurepotkan diriku untuk berkeliling membuntuti Sonny yang berdua Wahyu berjalan kesana kemari meminta tanda tangan teman lain bak idola mengejar artis. Agak geli sendiri ketika mengamati mereka. Si Wahyu tampak sangat serius, sedangkan si Sonny tampak sekali ogah-ogahannya. Berulang kali diedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi lebih seringnya ke tengah lapangan. Seperti merasa lebih baik lari mengelilingi lapangan basket itu daripada meminta tanda tangan.

Sampai Wahyu ke toilet pun, Sonny rela memegangi bukunya agar Wahyu leluasa ke toilet. Satu tangannya yang bebas dimasukkan ke celana merahnya, sambil setengah melamun melihat kakak kelas yg bermain basket.

Sedetik kemudian tiba-tiba dia menoleh ke arahku. Aku terkesiap. Salah tingkah. Sial, aku sedang sendiri pula! Buku bersampul daun pisang punyaku pun tak ada kubawa. Sebagai gantinya, aku yang sedang berdiri di samping tiang kayu kanopi depan kelas mengetuk-ngetuk tiang tak jelas. Berusaha mengalihkan pandangan agar tidak kentara telah mengekor dia. Mungkin seperti ini lah rasanya ketika tiba-tiba kita menatap satu titik di sudut ruangan seperti merasa ada yang melihat. Jika diibaratkankan seperti itu, berarti dia manusianya, sedangkan aku sebagai makhluk tak kasat matanya.

Tanpa melihat ke arah toilet, aku tahu kalau Wahyu sudah keluar. Karena aku merasa sudah tak diperhatikannya lagi. Bahkan ketika mereka lewat di belakangku pun aku bisa merasakannya. Desiran angin kecil yang ditimbulkan dari langkah mereka sampai terasa di tengkukku. Membuat hatiku semakin kebat-kebit. Bau pewangi pakaian yang sering diiklankan di televisi juga tercium lembut di hidungku. Aku tersenyum bahagia seperti sedang berada di taman bunga. Dia sangat wangi!

Jarak berapa detik, sekiranya mereka sudah berjalan agak jauh, aku menoleh ke arah mereka dan kembali berjalan pelan mengikutinya. Kali ini mereka ke kantin. Sampai sini aku berhenti. Melihat suasana kantin yang ramai karena para kakak kelas juga sedang istirahat, aku sedikit kagok. Minder karena selain ke sana sendiri, tak ada yang kukenal diantara kerumunan orang itu. Nita yang teman semejaku pun kalau sudah jam istirahat seperti ini seperti tak saling mengenal denganku. Ibarat kapal yang berangkat dari pelabuhan, sama-sama berlayar namun mempunyai tujuan yang berbeda.

Akhirnya aku menunggu saja di depan kelas sambil mencoba mendapatkan tanda tangan siapa saja yang sudi menorehkannya ke bukuku yang masih putih bersih plus mulus tak ada lipatan seperti baju yang selesai disetrika. Tentu sambil terus melihat ke arah kantin. Berharap di antara lalu lalang para murid di teras, tampak sosoknya yang sangat kunantikan kehadirannya. Aneh, baru juga istirahat sepuluh menit, tapi aku berharap bel masuk cepat berbunyi. Aku tak perlu istirahat lagi. Energiku masih banyak untuk menerima materi lagi dari para kakak pembimbing MOS. Perutku pun sudah kenyang karena terus dicekcoki rasa rindu.

Akhirnya bel masuk yang kuharapkan berdering. Satu per satu temanku memasuki kelas. Aku melongok ke arah kantin. Tak ada tanda-tanda kemunculannya. Pergi ke mana lagi mereka? Dasar Sonny, kalau sudah ada kawan leluasa saja dia melalangbuana mengitari sekolah.

Benar saja tebakanku. Ketika kehilangan minat untuk menunggunya, begitu memasuki kelas, aku terkejut melihat kepalanya tersembul di jendela sisi kanan kelas yang terbuka sambil tertawa dengan teman-teman yang ada di sekitar jendela itu. Sudah berapa lama ia berdiri di luar jendela seperti itu?

Tak lama kemudian kak Rifki dan kak Mega datang. Sonny merunduk untuk membebaskan kepalanya lalu tak muncul lagi. Terdengar suara larinya menjauh. Dan tak lama kemudian datanglah ia bersama Wahyu berlari memasuki kelas.

Na No Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang