Aku sangat benci rambut dikuncir empat bagini. Membuat rambutku yang ikal ketahuan tipisnya. Tak henti -hentinya aku mengukur ketebalan rambutku yang terikat, membandingkan dengan rambut Dian yang tampak tebal.
Aku menyesal kenapa tak kukuncir rambutku seperti Dian. Dia menguncir rambutnya dua di atas, dua di bawah. Membuat rambut lurusnya melengkung rapi seperti air mancur. Sementara aku, kukuncir rambutku sejajar empat seperti anak berbaris. Membuatku merasa mubazir sekaligus aneh.
Atau kenapa aku tak merasa pede seperti Nita. Kunciran rambutnya sama seperti Dian. Tapi karena rambutnya sangat pendek, kunciran rambutnya sejumput-sejumput aja. Persis seperti anak kecil baru tumbuh rambut yang ingin bersolek.
Sebuah buku beserta bolpoin disodorkan seseorang di depanku. Aku mendongak. Seketika salah tingkah sendiri begitu mendapati siapa yang berdiri di depanku.
"Mau minta tanda tangan?" tanyaku basa-basi. Ah, pertanyaan tolol! Rutukku dalam hati.
Oh ya, buku bersampul daun pisang sebagai salah satu tugas MOS ternyata digunakan untuk meminta tanda tangan para kakak pengurus OSIS yang menjadi panitia MOS, teman-teman baru serta guru-guru. Semua tanda tangan itu harus berjumlah seratus selama tiga hari. Jadi saat ada waktu luang ataupun istirahat, kami berburu tanda-tangan.
Namun aku tak menggubris tugas itu. Bagiku, untuk apa repot-repot meminta tanda tangan untuk kenalan kalau toh nanti akhirnya kami saling mengenal. Sehingga, disaat teman-teman sudah berganti halaman karena sudah banyak mendapatkan tanda tangan, aku baru mendapatkan dua. Tanda tangan Dian dan Nita, dua teman yang duduk di sebelah kanan dan kiriku.
Kembali lagi ke sosok dia yang berdiri di depanku.
Sonny hanya tersenyum memamerkan gigi drakulanya tanpa menjawab pertanyaanku. Aku mengambil bolpoinnya dan menorehkan tanda tanganku. Kemudian aku meminta tanda tangannya. Akhirnya koleksi tanda tanganku bertambah satu, dan jumlahnya menjadi tiga.
Tanpa berterima kasih, Sonny berlalu dari hadapanku. Mulutku pun terbungkam tak mampu mengucapkan terima kasih. Kulihat tanda tangan serta namanya lalu tertawa kecil. Tulisannya tak beda jauh dengan tulisan adik laki-lakiku yang seperti cakar ayam.
"Sudah dapat berapa tanda tangan, Nit?" tanyaku pada Nita yang baru duduk dari perburuan tanda tangannya.
Nita menyodorkan bukunya. "Baru sebelas."
Walaupun baru sebelas, setidaknya koleksi tanda tangan Nita lebih banyak dari aku.
"Kamu udah berapa, Put?"
Aku menyeringai sambil menyembunyikan bukuku ke kolong meja. "Baru tiga."