Cerita Pendek

11 0 6
                                    

Ini yang juga sangat tidak mengenakkan. Setibanya di kelas, kami diberi tugas menuliskan kisah perjalanan kami saat jantung sehat tadi. Tentang apa yang paling berkesan atau adakah hal unik yang ditemukan.

Aku sangat benci mengarang. Tak ada yang menarik bagiku sepanjang kegiatan jantung sehat tadi. Apalagi tugas ini sangat dadakan diberikan, tentu aku tak memperhatikan sama sekali apa yang ada di sekelilingku. Yang kulihat tetaplah sebuah pedesaan dengan latar belakang hamparan sawah dan keseharian warga kampung yang tampak monoton.

Hari ini adalah MOS hari terakhir.

"Tanda tangan kalian sudah berapa adik-adik?" tanya kak Rifki membuyarkan konsentrasiku. Pensil kuletakkan sejenak. Otakku berhenti berfikir. Sahutan hampir seisi kelas sukses membuang rencana kalimat selanjutnya yang hendak kutulis.

Cuaca hari ini sangat cerah.

Cepat-cepat kutulis kalimat itu sebelum menguap lagi karena iklan dari kak Rifki.

Kami berjalan-jalan mengelilingi desa Nogosari.

"Adik-adikku tersayang, berhubung ini adalah MOS hari terakhir, sebentar lagi saatnya kalian pindah menuju kelas masing-masing. Kelas ini hanya kelas sementara selama kalian MOS. Kelas kalian yang sesungguhnya ada di paling utara sekolah ini."

Ah, bagaimana sih para kakak senior ini. Memberi tugas tapi mengganggu proses.

Saya melihat para petani membajak sawah dengan traktor, orang-orang pergi bekerja, ibu-ibu berbelanja ke pasar,...

"Ayo kita pindah dulu adik-adik. Ke kelas kita yang sebenarnya." Kak Rifki memberi aba-aba lalu meninggalkan kelas. Semua bersiap-siap meninggalkan kelas mengikuti jejak cowok itu.

Aku segera mengemasi barangku yang masih berantakan di atas meja. Bagaimana tidak, mengarang cerita dalam waktu yang singkat merupakan hal yang sangat merepotkanku. Aku tidak bisa konsentrasi penuh dalam suasana yang seperti pasar ini. Sudah begitu tiba-tiba diusir suruh pindah rumah lagi.

"Ingat ya adik-adik, kelas kalian berada di paling utara sekolah ini." Kak Mega mengingatkan sambil menunjuk arah belakang kelas yang masih kami tempati ini. Entah di mana itu. Kami masih buta terhadap arah mata angin sekolah ini. Arah kiblat mushola saja kami masih belum hafal menghadap ke mana.

Di luar kelas kami saling berpencar dan membaur dengan siswa dari kelas lain. Berbagai warna seragam olahraga sekolah membaurkan ingatanku akan wajah teman-teman sekelasku yang masih asing.

Aku berjalan sendiri menyusuri koridor. Kak Rifki yang menjadi pemandu kami pun entah sudah sampai di mana. Banyak wajah yang masih belum kukenal. Kebetulan pula ini selesai jam istirahat. Semakin tumplek lah semua murid masih bersliweran di depan kelas.

Sedangkan yang sudah kukenal sibuk berlari bersama gandengannya. Aku, tak ada yang bisa kuajak bareng. Semua menjadi apatis di tengah hiruk pikuk para transmigran kelas ini.

Aku berjalan sambil sesekali mendongak melihat papan nama kelas di atas pintu. Untung saja di atas kusen terdapat namanya. Sehingga walaupun mutar-mutar tetap bisa menemukan arah yang pas.

Aku menghentikan langkah di depan kelas 8-A. Tepat di depan anak perempuan yang berdiri sendiri di depan kelas 7G. Dia teman sekelasku. Namun aku lupa siapa namanya karena selama MOS duduknya jauh denganku. Dia sama pendiamnya denganku. Apalagi ditilik dari seragam sekolahnya yang lebih minoritas dari sekolahku, sepertinya ia diterima di sekolah ini seorang diri. Ataupun kalau ada temannya dari sekolah yang sama, kemungkinan sudah berpencar di kelas lain. Sehingga ia sama-sama terdampar sepertiku.

"Hai, kita sekelas kan?" sapaku duluan. Aku boleh pendiam, tapi aku harus konsisten dengan tujuanku semula: harus berubah.

Anak perempuan itu tersenyum. "Iya."

Na No Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang