MOS hari terakhir ini membuatku sedikit bernafas lebih lega. Tugas dari kakak senior tak begitu membuatku begadang seperti malam-malam sebelumnya. Tapi rambut yang masih berkuncir empat ini tetap saja membuat hatiku empet.
Hari ini jadwalnya jantung sehat. Kami yang diperintahkan memakai baju olahraga dari rumah telah bersiap-siap di lapangan. Arahan sedikit oleh ketua OSIS yang berdiri di tengah lapangan kami simak secara ogah-ogahan. Seolah-olah nasihat itu tak terlalu penting didengarkan. Aku pun tak begitu mendengar kakak itu berbicara apa, karena kawan di sekitarku juga bisingnya minta ampun. Terutama si Rezha yang berdiri di sampingku. Yang suaranya gemerincing seperti kaleng rongsokan. Yang kalau bicara lebih banyak tertawanya daripada bicaranya itu sendiri. Tabiat yang sama seperti saat kelas 1 sampai 2 SD dulu.
Ya, Rezha adalah teman SD-ku. Dari dulu dia memang sudah berisik. Kalau guru sedang menerangkan pelajaran, jika ia mendengar hal yang -menurutnya- lucu, ia tak segan-segan berkomentar bahkan tertawa. Ngakak malah. Atau kalau tidak, dia tiba-tiba berlari terbirit-birit sambil memegangi celana. Kata "Bu, kencing." selalu ia utarakan saat berlari. Berkata lantang tanpa permisi ataupun melangkah sebentar menghampiri guru yang sedang konsentrasi mengajar.
Ketika kelas 1, bu Lim yang mengajar di kelas kami selalu menggeleng-gelengkan kepala dengan tangan yang mematung di papan tulis memegangi kapur sambil memandangi Rezha yang kabur lalu membanting pintu.
"Rezha... Rezha..." Kata-katanya seolah-olah menjadi iklan sejenak di acara mengajarnya. Setelah itu ia melanjutkan lagi menulis soal-soal yang harus dikerjakan para muridnya.
Dan di kelas 2, bu Min yang terkenal killer (kalau anak zaman dulu selalu dibilangnya model guru seperti itu adalah guru yang disiplin) selalu melipat tangan di dadanya jika Rezha bersikap demikian. Wajahnya yang serius terlihat jutek. Kebalikan dari bu Lim, beliau akan melanjutkan materinya ketika Rezha kembali. Tak peduli berapa lama. Selama itu beliau akan kembali ke tempat duduknya. Tetap tangan bersilang di dada sambil menatap seisi kelas seperti burung elang mengintai mangsa.
Sekembalinya Rezha ke kelas, dipanggilnya si tersangka utama itu ke depan kelas. Diceramahinya dengan khidmat oleh bu Min tentang sopan santun, dan lain-lain yang selalu diulang-ulang seperti lagu dalam kaset pita. Tapi ya begitulah Rezha adanya, tetap saja cengengesan. Dia akan berhenti cengengesan jika bu Min menggertaknya. Tapi sekembalinya ke tempat duduk, dia selalu menertawai tingkahnya tanpa bersuara.
Naik ke kelas 3, aku tak pernah lagi melihat batang hidung Rezha. Hingga beberapa hari kemudian aku bertemu dengannya berjalan berdua mamanya dari kantor kepala sekolah. Kutanyakan alasannya kenapa tak pernah masuk. Ternyata dia pindah sekolah ke Prigen, dan hari ini segala tetek bengek administrasi kepindahannya telah selesai. Setelah itu aku tak pernah menjumpainya lagi.
Hingga tak dinyana aku berjumpa kembali dengannya di sekolah ini. Sekelas, lagi! Tapi aku ragu dia masih mengingatku atau tidak. Sengaja aku tak pernah menegurnya untuk mengetes apa dia secablak dulu jika mengenali temannya. Nyatanya dia pun tak pernah menegurku seolah-olah pertemuanku dengannya tahun ini adalah pertemuan kita yang pertama kali layaknya teman-teman baru lainnya.
"Rezha, kamu dulu pernah bersekolah di SDN Petungasri 1 kan?" tanyaku memancing ingatannya. Seragam olahraganya sama dengan seragam olahraga Sonny. Ternyata dia pindah ke sekolah anak itu. Coba kalau tidak pindah, mungkin ia akan berseragam sama denganku.
"Iya. Masa kamu lupa sama aku sih, Put?" jawabnya spontan. Aku membelalak. Rupanya si slengekan ini masih mengenaliku!
"Aku nggak lupa. Aku kira kamu lupa sama aku. Habis kamu nggak pernah nyapa aku. Sedangkan sama Ilham dan Denta kamu masih nyapa."
"Karena mereka laki-laki, kamu perempuan."
Aku mengeryit bingung. "Kenapa kalau aku perempuan?"