Tak hanya baris berbaris yang tiap hari semakin intens latihannya, ekskul paduan suara yang kuikuti juga semakin digenjot demi mematangkan persiapan kor untuk upacara besar di lapangan SMAN 1 Pandaan.
Ekskul paduan suara sekolahku dibimbing oleh bu Sita. Bu Sita ini merupakan seorang choirmaster yang sudah tak diragukan lagi namanya. Berbagai event seni suara sudah pasti harum namanya jika sudah dipegang oleh beliau. Oleh karena itu, karena pembimbing paduan suara untuk upacara 17 Agustus sudah dipercayakan oleh bapak walikota kepada beliau, beliau yang juga sedang membimbing ekskul kami jadi mempercayakan kami si anak bawang ini untuk bernyanyi mengiringi khidmadnya acara paling sakral tersebut. Tak kenal lelah beliau membimbing kami, meski di lain waktu beliau juga sibuk membimbing grup paduan suara dari institusi lain.
Dari tes suara menyanyikan lagu Hari Kemerdekaan secara satu per satu, suaraku yang terdengar malu-malu ini akhirnya ditempatkan di barisan alto. Aku kurang paham apa itu alto. Yang kutahu, suaraku tak bisa menjangkau nada tinggi. Kalau kupaksakan, yang ada jadi terdengar seperti tikus kejepit pintu lalu batuk-batuk. Nada rendah pun aku juga kurang mampu menguasai. Karena akan membuat tenggorokanku seperti dikerik yang ujung-ujungnya, batuk-batuk juga.
Kata bu Sita aku harus memakai pernafasan perut jika menyanyi, jangan memakai pernafasan leher. Karena selain membuat suara keluar tidak maksimal, aku yang menyanyi pun akan mudah capek. Sudah kucoba berkali-kali. Suara yang kurasa keluar dari perut tetap juga ditanggapi dengan gelengan kepala oleh bu Sita, katanya tetap masih keluar dari leher.
"Dalam berbicara maupun menyanyi, suara yang keluar memang dari pita suara. Tapi dalam hal paduan suara, anggaplah kalian menyanyi tanpa menggunakan pita suara. Dengan demikian, kalian yang menyanyi akan merasakan rileks, konsentrasi penuh, dan juga kompak. Tidak seperti merasa dikejar-kejar seperti ini."
Oh, baiklah. Nyanyianku yang kurasa membuat perutku kembung ini karena menarik nafas panjang-panjang demi totalitas pernafasan perut, kali ini dianggap seperti dikejar-kejar. Patutlah aku cepat merasa lelah. Juga haus. Ah, sial. Aku lupa bawa minum tadi!
"Ayo, coba nyanyikan lagi lagu Hari Kemerdekaan, Putri," perintah bu Sita.
Aku menarik nafas dalam. Semua teman yang duduk memperhatikanku, kuanggap tak ada. Aku mengingat kembali saat-saat ulangan menyanyi lagu wajib di depan kelas, di samping pak Zen yang menilai dengan memejamkan mata. Kunyanyikan lagu Hari Kemerdekaan penuh khidmad, seolah-olah agar mendapatkan nilai 9. Suaraku terdengar menggema. Aku merasakan kesejukan dan kenyamanan. Aku menyanyi dengan perasaan seringan kapas. Seperti tak ada beban yang mengganjal di hati.
Begitu selesai, bu Sita langsung bertepuk tangan menanggapi nyanyianku.
"Nah, seperti itu! Beda kan rasanya? Kami yang mendengarkannya pun sampai terbawa suasana," puji bu Sita yang membuat perasaanku melambung bangga. "Bagus, Putri. Pertahankan itu."
Semua teman-teman di ruangan itu ikut bertepuk tangan. Aku merasa terharu. Aku yang tak pernah diinginkan menyanyi, yang selalu dikomplain sana-sini, ternyata bisa membuktikan kemampuan di depan seorang choirmaster handal. Tak pernah aku menerima tepuk tangan yang seantusias ini.
"Oke, silakan duduk. Selanjutnya..."
Akhirnya... Setelah lima kali menyanyi, lolos juga aku di tes suara ini. Padahal tadi pikiranku sudah berkecamuk akan berapa lamakah aku bertahan berdiri di depan. Bisa-bisa sampai pulang karena aku sangat meragukan kemampuanku. Tes menyanyi kali ini benar-benar lebih seram dari ujian nasional. Bayangkan saja, sudah teori tidak menguasai, praktek pun didapatkan secara otodidak.
Tapi aku jadi semakin percaya diri untuk menyanyi. Dibandingkan pertama kali ikut ekskul paduan suara ini sebulan yang lalu, tak pernah aku menyanyi menghadap audience.
Di hari pertama ekskul paduan suara, bu Sita memberi kami teks lagu First Love. Awalnya kami nyanyikan bersama sampai hafal, hingga akhirnya kami disuruh maju satu per satu untuk menyanyikan lagu itu secara individu. Aku yang belum begitu mengenal teman-teman yang lain, plus tidak pernah menyanyi dengan menggunakan mikrofon, terpaksa aku menyanyi dengan membelakangi teman-teman. Menghadap bu Sita yang mengiringi dengan keyboard, sambil membawa teks lagu First Love yang sebenarnya sudah kuhafal di luar kepala.
"Kenapa menyanyi tidak menghadap ke depan?" protes bu Sita setelah aku selesai menyanyi.
"Malu, Bu," jawabku setengah berbisik.
"Kok malu?" tanya beliau heran. Mungkin karena terbiasa tampil di khalayak umum, kata malu sudah terdengar aneh baginya. "Menyanyi itu harus percaya diri, tidak boleh malu. Kalau malu, apa kamu bisa menyanyi dengan bagus?"
Aku menggeleng.
"Jadi, hilangkan rasa malu itu. Kesempatan tidak akan datang setiap saat. Bisa jadi kesempatan emas bisa datang disaat kita tidak ada persiapan sama sekali. Namun jika dibiarkan, bukan tidak mungkin kesempatan-kesempatan lain di belakangnya bisa ikut hilang secara bersamaan. Kita harus berani ambil resiko. Tantangan membuat kita belajar. Bersyukurlah kalian di sini bisa belajar menyanyi. Ada kesempatan untuk mengembangkan diri.
"Bisa dibilang kalian selangkah lebih maju daripada teman-teman kalian yang saat ini sedang bersenang-senang di luar sana, atau sedang bermalas-malasan di rumah. Kalian adalah orang cerdas yang pandai mengatur waktu untuk meraih banyak kesempatan."
Aku tertegun mendengarkan nasihat bu Sita. Benar juga kata beliau. Jadi, siapa lagi yang membuat kita suksea di kemudian hari kalau bukan kita sendiri?
Itulah bu Sita. Seorang choirmaster yang juga guru kehidupan di luar sekolah. Yang ikhlas menceramahi kami yang baru dikenalnya.
Eh tapi, entah kebetulan apa tidak, beliau selalu ceramah panjang lebar ketika aku yang maju ke depan kelas. Kuperhatikan teman-teman yang lain, mereka maju layaknya murid yang sekedar belajar pada gurunya. Tak ada bumbu-bumbu yang perlu ditambahkan. Padahal ada yang jauh lebih butuh bimbingan dibanding aku.
Namun aku tetap selalu bersyukur akan hal itu. Itu tandanya aku sangat istimewa di mata beliau.
