Aku suka tahun ajaran baru. Semangat dalam diri ini serasa masih berkobar menyambut tantangan yang mulai merintang. Terlebih bulan Agustus sudah menjajak semester awal ini.
Beberapa pelajaran sudah mulai fokus diberikan, terutama pelajaran yang mempunyai materi yang cukup banyak dan sulit. Kalau semasa SD aku hanya mengenal IPA dan IPS, di SMP ini aku mengetahui kalau kedua ilmu itu ada cabangnya. Fisika dan biologi dibawah naungan IPA, serta geografi dan ekonomi sebagai pecahan IPS. Aku suka semuanya, terutama ekonomi karena Bu Rien -guru ekonomi- sedikit ada kemiripan dengan ibuku. Sehingga aku merasa seperti diajar oleh ibuku sendiri. Belakangan kuketahui, ternyata bu Rien adalah ibunya Angga.
Hanya saja, karena di bulan Agustus banyak sekali agenda untuk menyambut hari kemerdekaan, proses belajar mengajar jadi kurang begitu efektif. Karena hampir semua siswa diajukan mengikuti lomba gerak jalan se-Kecamatan. Latihan yang awalnya hanya seminggu tiga kali diintensifkan menjadi setiap hari, yang dimulai setelah bel masuk setelah istirahat kedua. Rute latihan mengitari desa Nogosari. Kami sampai hafal setiap sudut desa karena terlewati tiap hari, juga semakin legam karena tiap siang terpanggang matahari.
Di langit-langit kelasku tak ada kipas angin. Jadi jika siang hari, kami seperti berada di dalam oven. Nasib baik jika cuaca sedikit berawan. Semilir angin akan masuk melalui jendela yang terbuka. Namun tetap tak akan mengusir kepenatan kami semua.
"Putri minta minum ya?" Ani seketika menyambar botol AQUA-ku yang masih sisa separuh. Ditenggaknya air itu sampai hampir habis. Tak lupa beserta kebiasaannya, berkipas dengan buku.
Aku meminum airku yang tinggal sedikit. Merasa tak tahan di dalam kelas, aku mengajak Ani keluar.
"Duduk di luar yuk?"
"Malas ah. Aku di sini aja," jawabnya sambil tetap berkipas.
"Ya udah aku keluar dulu ya?"
Ani memutar badannya memberiku jalan. Aku melewatinya sambil membawa botolku yang telah kosong.
Setelah membuang botolku ke tempat sampah, aku duduk di teras depan kelas. Udara sejuk dari rimbunnya pohon mahoni seketika meniup lembut tubuhku. Aku meraih bunga mahoni yang berserakan, memain-mainkannya agar tidak tampak bengong seorang diri.
Tanpa sengaja aku menoleh ke kiri. Dari gerombolan anak kelas 7B yang berdiri di depan pintu kelasnya, muncullah Sonny dengan tampang lelahnya melewati mereka. Baju pramukanya basah oleh keringat di beberapa bagian. Wajahnya merah seperti kepiting rebus, yang semakin tampak berminyak karena keringatnya yang menganak sungai dari rambutnya. Rupanya ia tak beda jauh dengan Ani. Badannya sama-sama penghasil keringat berlebih.
Aku memalingkan wajah. Jantungku berdegup kencang. Tak kusangka keisenganku keluar kelas berbuah manis seperti ini. Aku bisa melihatnya secara detail. Walaupun tak ada bedanya seperti di dalam kelas, tapi entah kenapa kali ini sensasinya sangat lain. Atau mungkin karena tak ada unsur kesengajaan di sini?
Aku berpura-pura sibuk dengan bunga mahoni saat ia lewat di belakangku. Meski tak melihatnya, aku merasa ia sedikit menoleh ke arahku. Mungkin merasa aneh denganku yang duduk menyendiri di sini. Aku menoleh pelan ke kanan. Ia telah tiada, masuk ke dalam kelas.
Aku merasakan kehilangan yang aneh. Berbagai angan-angan konyol merasuki pikiranku. Berandai-andai ada sedikit kejadian yang membuatku sedikit ceria siang ini. Seperti...
"Kenapa di sini, Put?" atau "Panas ya di kelas?"
Namun sayang. Bukannya basa-basi menyapaku, Sonny yang melewatiku tetap menganggapku sebagai patung.
Mm... Kalau saja begini juga boleh. Jujur aku sedikit geli membayangkannya: aku ingin Sonny keluar kelas dan duduk di sampingku. Yah walaupun tak mengajakku ngobrol, tak apalah yang penting dia duduk di sini menemaniku. Meskipun tak mungkin juga untuk terjadi.
Sedang seru-serunya berkhayal, tiba-tiba ada seseorang duduk tak jauh dariku. Aku menoleh. Yang seketika membuatku melongo tanpa sadar.
Entah ia bisa membaca pikiranku, ataupun berpikiran sama denganku walaupun berbeda versi, Sonny duduk dengan santainya di situ. Aku semakin salah tingkah sendiri. Mau bangkit meninggalkannya, pantat dan kakiku terasa dipaku. Mau memecah kesunyian, aku ragu menyapanya. Tapi jika tak bicara, terasa aneh kita sekelas tapi tak saling kenal. Masa sih tak ada satu kata saja yang bisa menolongku dari keadaan genting seperti ini?
Aku menguraikan bunga mahoni yang utuh hingga berserak. Kulirik Sonny juga sedang mematahkan bunga mahoni yang keras menjadi kecil-kecil. Ayolah, masa dia tak ada niatan sedikitpun untuk mengobrol denganku? Bahkan kalau dia mengejekku pun aku terima.
Tapi dia tetap saja membisu.
"Son, ngapain di sini sendirian? Ke kantin yuk?" Afrizal yang tak kuharap justru menepuk pundaknya, mengajaknya segera beranjak dari duduknya. Ferdi, Arga, dan Akbar mengekor di belakangnya.
"Malas, ah. Di sini aja."
Iya, bagus. Tolaklah mereka.
"Hee... Ngapain di sini. Mending di kantin bisa duduk sambil minum. Nggak haus emang?"
Sonny menggeleng.
"Udaaah... Ayooo." Arga dan Ferdi menarik tubuh Sonny, menggiringnya menjauhiku. Aneh, sejak kapan ia kompak dengan anak empat itu? Perasaan di kelas tak ada Sonny bergabung dengan geng paling berisik di kelas itu.
Aku mematahkan bunga mahoni menjadi kecil-kecil, persis seperti yang dilakukan Sonny tadi. Seperti itulah kekecewaanku saat ini.
