Kegiatan MOS hari kedua setelah mengumpulkan tugas wajib dari para kakak senior adalah pengenalan berbagai macam organisasi dan ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Ada tiga macam ekskul yang wajib diikuti oleh para siswa baru. Diantaranya adalah pramuka, PMR, dan paduan suara. Selain itu, ada ekskul tambahan yang terserah boleh diikuti juga atau tidak. Macam-macam ekskul itu adalah seni musik, seni tari, keagamaan, basket, voli, dan sepak bola.
"Kamu ikut apa, Nit?" tanyaku pada Nita. Dia hanya mengangkat bahu. Aku ikut gamblang juga.
"Aku hanya minat seni musik. Lainnya nggak ada," jawab Nita kemudian. Ah, feelingnya sama denganku. Dari awal mendengar kata seni musik aku jadi pengen mendaftar secara otomatis. Walaupun tak mempunyai latar belakang musik sama sekali, setidaknya mengikuti ekskul seni musik aku berharap tidak terlalu buta terhadap nada dan irama.
"Sama," aku menjawab sekenanya.
Kembali lagi, sayangnya ekskul yang diikuti harus ada ekskul wajibnya. Mengikuti satu ekskul wajib saja tanpa ekskul tambahan, tidak masalah. Namun jika mengikuti ekskul tambahan tanpa ekskul wajib, haram hukumnya. Karena ekskul wajib akan dinilai, dan penilaian itu nantinya akan dicantumkan di rapor. Aku mendengus kesal. Jangan-jangan ini adalah strategi dari masing-masing pembina untuk merekrut anggota baru secara paksa. Walaupun tidak bisa dikatakan begitu juga, mungkin di lain sisi agar ekskul tersebut tetap eksis sampai ke generasi di bawah kami. Aku tetap harus berpikir positif dan tidak egois. Namun tetap saja dari ketiga ekskul wajib itu tak ada yang menarik perhatianku.
Tak perlu langsung menjawab, kami diberi waktu sampai nanti masuk selesai istirahat pertama. Para senior memberi kesempatan bagi kami untuk berpikir matang. Atau berdiskusi dengan teman jika perlu, seperti yang kulakukan dengan Nita tadi.
Tapi sampai masuk ke kelas setelah kekenyangan memakan dua tahu isi plus es teh instan rasa gula batu di kantin, tetap saja aku tidak mendapatkan wangsit untuk mengikuti ekskul apa. Aku merasa dari tiga pilihan ekskul wajib itu tak ada yang cocok untukku. Atau tidak sreg. Entahlah. Yang jelas, sudahlah awam terhadap ketiga pilihan tersebut, aku pun tidak mempunyai keinginan untuk mengikuti salah satu dari ketiganya.
Saat SD aku ingin sekali ikut pramuka. Tapi sayang aku tak pernah terpilih. Padahal aku sudah terlalu cukup heboh untuk gembor-gembor ke banyak orang orang kalau aku ingin sekali menjadi anggota pramuka. Namun tetap saja suaraku tak ada artinya. Aku seperti berteriak di ruang hampa udara. Sehingga minatku terhadap pramuka perlahan surut. Padahal kalau aku masih menginginkannya, inilah kesempatan emas buatku.
Kalau mengikuti PMR, dari kecil aku sudah takut sekali terhadap darah. Meskipun kegiatan PMR nantinya tidak selalu berhubungan dengan cairan merah tersebut, namun melakukan tindakan emergensi tetap membuatku merinding duluan. Aku berada di tengah-tengah perasaan mampu dan tidak mampu. Akan sigap dan cekatankah aku? Tapi memang mendengar kata "Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan" yang biasa disingkat P3K seperti logo kebanyakan kotak obat, membuatku masih merasa gamang.
Paduan suara adalah pilihan aman. Tapi aku juga sadar diri kalau suaraku tidak ada istimewanya sama sekali jika untuk berkontribusi ke dalam dunia tarik suara. Aku tidak berani bermimpi terlalu tinggi seperti cerita-cerita paduan suara yang bisa mengharumkan nama Indonesia bahkan bisa sukses sampai ke luar negeri. Menyanyi di kamar mandi saja bisa membuat kedua telingaku sendiri terasa sakit.
"Bagaimana adik-adik, sudah ditentukan mau ikut ekstrakurikuler apa? Kami langsung data ya?" kak Mega bersiap-siap dengan kertas dan bolpoin di tangannya.
"Yang mau mengikuti PMR, silakan maju ke depan!" kak Rifki menimpali. Beberapa siswa yang telah mantap mengikuti PMR satu per satu maju ke depan kelas. Kak Mega beraksi dengan alat tulisnya. Dicatatnya nama-nama murid yang telah maju ke depan dengan cepat.
"Masih ada lagi? Sebelum namanya dicatat, kalian masih bebas kok untuk memilih ikut ekstrakurikuler apa. Yang jelas, salah satu dari tiga ekstrakurikuler wajib harus diikuti," kak Rifki melanjutkan orasinya. Aku memainkan jariku. Kebiasaanku kalau dituntut untuk berpikir cepat.
Oke, PMR aku menolak. Tinggal pramuka dan paduan suara. Paduan suara saja lah yang hendak kuikuti. Fix!
"Yang berdiri di depan, silakan minggir sebentar ke ujung." kak Rifki menunjuk ke sudut ruangan. Para siswa yang berdiri memilih ekskul PMR serentak bergeser ke arah yang ditunjuk. "Yang ikut pramuka silakan maju ke depan kelas."
Aku masih duduk anteng memperhatikan satu per satu murid calon anggota pramuka yang maju ke depan kelas. Di akhir rombongan, Sonny yang kuperhatikan anteng juga duduknya sambil memperhatikan sekeliling, tiba-tiba berdiri dan maju mengikuti Wahyu yang tampak optimis untuk memilih pramuka.
"Ada lagi yang mau gabung ke pramuka adik-adik?"
Aku celingukan. Tak ada lagi yang mau maju. Bahkan baru kusadari Nita tak ada di tempatnya. Dia ikut maju ke depan kelas.
Kak Mega mulai mencatat. Saat ia mulai mendata Sonny, aku cepat-cepat beranjak maju. Kak Mega terbengong sejenak melihatku.
"Mau ikut pramuka juga?" tanyanya tidak yakin.
"Iya kak." Aku mengangguk cepat. Sonny yang berdiri di sampingku tersenyum melihatku.
Jantungku berdegup kencang. Akhirnya tanpa sengaja aku bisa berdiri sedekat ini dengan Sonny. Badannya yang sedari kemarin-kemarin sudah kuprediksi lebih pendek dari aku, ternyata realitanya benar. Ujung kepalanya hanya sebatas ujung atas telingaku. Badannya yang sedikit berisi hampir mirip dengan adikku. Tubuhku yang kurus terasa menjulang. Mungkin kalau kita hanya berdiri berdua di sini akan tampak seperti angka sepuluh.
Namanya Sonny. Bukan Sony, ataupun Soni. Ia akan protes jikalau huruf n-nya hanya satu, ataupun huruf belakangnya diganti i. Ia akan selalu menegaskan namanya Sonny. Dengan huruf n dobel lalu diikuti huruf y. Aku suka caranya mengoreksi namanya. Meskipun cuek, ternyata ia sangat mempertahankan identitasnya.
"Nama kamu siapa dek?" tanya kak Mega kepadaku.
"Putri, Kak." Beda denganku, aku agak kagok menyebut namaku Putri. Walaupun memang itu namaku, tapi sedari kecil sampai akhir sekolah dasar, aku selalu dipanggil Puput. Nama Putri hanya sekedar tulisan. Nama Puput lah panggilannya. Namun mulai saat ini aku berusaha mengubah nama panggilanku. Agar identitasku benar adanya dan terbiasa diucapkan.
"Yang tidak maju ke depan kelas, berarti secara otomatis kalian ikut ekstrakurikuler paduan suara ya adik-adik? Tidak boleh ada yang abstain di ekstrakurikuler wajib ini. Minimal harus ikut salah satunya." Kak Rifki berorasi untuk terakhir kalinya. Kak Mega meluncur turun untuk mendata.
Selesai kak Mega mendata seisi kelas, kami yang berdiri di depan dipersilakan kembali ke tempat masing-masing. Sebelum duduk, aku menghampiri kak Mega dan berbisik pelan, "Kak, kalau saya ikut mendaftar ke paduan suara, bisa, Kak?"
"Kamu daftar di pramuka kan tadi?"
"Iya, Kak."
Kak Mega menatapku ragu. Aku pun pasrah kalau seandainya tidak diperbolehkan. Namun jawabannya kemudian membuatku merasa senang sampai ingin meloncat.
"Boleh. Nama kamu siapa tadi? Putri ya?"