BP • 14

638 44 3
                                    

Sinar matahari pagi selalu memberi segenap semangat kepada seluruh umat yang ada di bumi. Memberikan cahaya sebegitu terangnya, seolah mengatakan pada manusia bahwa ia akan selalu terbit meskipun nanti akan kembali tenggelam oleh kegelapan.

Dari sana kita dapat mengambil pelajaran. Walau ia tenggelam, ia sudah selesai melakukan tugasnya untuk menerangi bumi. Dan matahari akan terbit kembali ketika sudah waktunya.

Seperti halnya ketika lapangan yang sangat luas ini di penuhi oleh murid dan guru. Berbaris rapi sesuai dengan tingkatan kelas masing-masing, mendengar kepala sekolah yang sedang mengumumkan juara olimpiade tingkat nasional.

Tidak sedikit dari siswa-siswi yang mengikuti olimpiade itu menangis saat mendengar hasil yang dibacakan oleh kepala sekolah. Hanya beberapa dari mereka yang mendapat juara se-nasional.

Setidaknya mereka sudah melakukan yang terbaik untuk olimpiade itu, setidaknya mereka sudah melakukan apa yang harus mereka lakukan untuk membanggakan sekolah. Walau sebagian besar tidak mendapatkan juara, tapi mereka bangga bisa mengikuti itu. Mereka percaya jika waktunya sudah tiba mereka bisa memenangkan olimpiade se-nasional lagi.

"Dania, mungkin bukan rejeki lo. Percaya aja, nanti lo bisa menangin olimpiade lagi kok." Wendy mengelus pundak Dania si kutu buku yang selalu mendapat juara satu di kelas.

Cewek itu tidak menjawab Wendy, ia masih sesenggukan sambil menunduk menutup wajahnya dengan tangan.

"Kasian gue liatnya," bisik Wendy pada Vina yang ada di barisan belakangnya "Dan, udah jangan nangis lagi. Lo itu pinter, buktinya lo selalu juara."

Satu menit berlalu, Wendy masih mengelus pundak Dania. Entah seberapa banyak murid yang menangis di lapangan karena pengumuman juara itu.

Wendy kaget ketika Dania tiba-tiba memeluknya erat, mulutnya masih menganga tidak percaya. Tiga detik kemudian ia membalas pelukan Dania yang lebih pendek darinya itu. Sedangkan Vina sudah terkekeh sedari tadi.

"Ma-makasih ba-banyak, Wen." Ucap Dania di pelukan Wendy.

"Iya, jangan nangis lagi dong. Ntar gue suruh Genta beliin lo novel," Wendy mencoba menghibur gadis kutu buku itu.

Dania melepas pelukannya "Gak usah Wen," ia baru sadar air matanya membasahi baju Wendy "Yaampun, maaf banget baju kamu jadinya basah,"

"Yaelah, ini gunanya temen." Wendy tersenyum lebar. Dania menoleh ketika namanya di panggil kepala sekolah untuk maju ke depan.

Wendy memperhatikan Dania yang selalu menunduk ketika berjalan. Terkadang ia berpikir, mengapa orang sebaik Dania tidak memiliki banyak teman.

Gue wajar kalo punya temen dikit. Lah sifat bejat gini mana bisa punya banyak temen.

Wendy tidak sadar setiap gerak-geriknya bahkan sampai ia melihat Dania yang sedang di depan, satu pun tidak luput dari mata Genta. Cowok itu bahkan tersenyum setiap kali melihat sifat tersembunyi yang di miliki gadisnya.

"Sok baik, ck."

Seorang yang disebut Wendy dengan julukan 'moyang lampir' berdiri di sampingnya, tentu saja masih dikawal dengan kedua dayang-dayang cewek itu.

"Gue sok baik kek, gue cari muka kek. Apa urusannya sama lo?" Jawab Wendy.

"Capek deh liat orang munafik," Revana tersenyum licik "Apalagi perebut cowo orang."

Wendy menoleh pada Revana, begitu juga sebaliknya "Lo bilangin gue?" Wendy menatap Revana santai, seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

"Jelas dong. Siapa lagi kalo bukan lo yang hobinya itu?" Revana sengaja mengeraskan suaranya sehingga beberapa mata menatap mereka.

Vina mendorong bahu Revana untuk menjauh dari sana "Lo sadar kek, udah kelas tiga. Gak perlu lagi yang namanya cari masalah."

"Hei, ladies-ladies!" Suara Niko muncul dari belakang mereka "Eh, salah deng. Hei tante-tante!" Koreksi cowok itu saat menyadari Revana juga sedang berada disana.

"Udah episode berapa nih? Gue ketinggalan gak?" Beni merangkul pundak Genta di sampingnya "Apaan lo liat-liat? Gue sadar sih, disini memang gue yang paling ganteng." Ucapnya pede karena dua teman Revana asik memandangnya.

Revana memutar bola matanya malas "Cabut guys," ketiga cewek itu pergi dari sana sebelum Niko dan Beni membuat mereka lebih malu lagi. Wendy dan Vina terkekeh karena nyali cewek itu hanya sebatas memancing Wendy.

"Lah? Pemeran utama kok pergi? Kecewa penonton!" Niko sengaja mengeraskan suaranya, kemudian mereka serentak tertawa karena Revana yang tiba-tiba tersandung batu dan jatuh di tengah ramainya siswa di lapangan.

"Kasian tau," Wendy menyudahi ketawanya, membuat keadaan seketika hening.

"Lo masih bilang kasian buat dia?" Beni menggeleng tidak percaya "Setelah apa yang dia lakuin ke lo?"

Wendy menatap Revana yang sudah menahan malu di depan umum "Tujuan dia sebenarnya baik. Dia cuman gak mau Teguh suka sama cewek lain. Cuman dia aja yang salah bertindak," Wendy menunduk memainkan jarinya. Dan sudah pasti Genta tersenyum kecil, ia berharap orang tau bahwa gadisnya memiliki sifat semurni ini.

"Bangga punya temen kayak lo," Vina merangkul lengan Wendy "Apaan liat-liat?"

"Dih, ge-er berlebihan itu gak baik. Siapa bilang gue liatin lo." Beni melepas rangkulannya pada Genta, beralih mengambil sisir yang ada di saku dan mulai menyisir rambutnya "Dek? Gue ganteng gak?" Tanya cowok itu pada siswi yang barusan lewat. Siswi itu tersenyum malu dengan kemudian berjalan cepat seraya berbisik-bisik dengan temannya.

"Lah? Kasian amat, dia lari liatin lo." Ucap Genta.

"Yaelah, Gen. Tuh adek kelas salting, bukan lari." Beni memprediksi ucapan Genta.

"Pekaan dikit lah, Gen." Sindir Niko, ia mengedipkan sebelah matanya pada Wendy.

Wendy hanya tersenyum. Mereka duduk di bangku besi panjang yang ada di pinggir lapangan. Sekretaris sekolah mengumumkan hari ini akan mengadakan gladiresik bagi murid yang mau ikut lomba seni se-Jakarta. Mengartikan akan ada free bagi murid yang tidak mengikuti lomba.

"Gue ikutan lomba nari deh," Niko mulai menggerakkan tangannya ke udara.

"Itu silat, dugong." Beni yang tidak ikutan duduk, menoyor kepala Niko "Nari tuh gini," kali ini ia yang menggerakkan tangan dan kakinya, menampilkan tarian bali.

"Cak cak cak cak" mulut cowok itu bergerak seirama dengan matanya yang melotot ke kanan dan ke kiri. Mereka tertawa keras melihat aksi konyol Beni, sampai mengeluarkan air mata.

"Kocak, anjir." Genta menahan perut yang terasa sakit, "Cie, Vina ketawa"

Vina spontan menutup mulutnya, terlambat karena keempat temannya sudah terlebih dahulu melihat itu, termasuk Beni.

"Engga ah. Siapa bilang," cewek itu menyikut lengan Wendy yang ada di sampingnya. Sedangkan Beni sudah tersenyum geli seraya mengusap rambutnya ke belakang.

"Udah lah, Vin. Jangan malu-malu sama abang Beni. Gini gini dia setia kok orangnya," ucap Niko memancing suasana.

"Apa sih yang Beni gak bisa lakuin. Nyanyi roma irama bisa, jago main basket, anak balap, jago mainin cewek, eh." Sahut Genta.

Vina hanya diam, tidak tau mau mengatakan apa. Baru kali ini ia menyesal untuk tertawa. Lagian kenapa Beni harus selucu itu? Sepertinya sekarang wajah Vina memerah karena Beni memperhatikannya.

"Harus di ingat dong, ini tanggal berapa." Wendy mengode Beni.

"Eh, gak gitu." Beni memperbaiki kerah bajunya "Kayak pak Hatta dong, harus di proklamasikan."

***

Setiap ada yang ngevote atau komen tuh aku seneng bgt. Aku selalu usahain up ceritanya per hari. Aku suka liat readers yang udah mau ngevote, dan ada juga yang cuman ngebaca, tetap seneng deh pokoknya. Makasih banyak ya❤❤

Black PearlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang