BP • 1

3.5K 95 10
                                    

Wendy memandang pantulan dirinya di depan cermin persegi panjang. Dress putih tanpa lengan yang berukuran pas membuat lekukan tubuh gadis ini tampak indah. Make up natural menambah kesan cantik pada dirinya.

Matanya turun melihat heels yang sudah ia pakai sejak tadi, seolah menjawab sesuatu yang ada di benak, Wendy menghela nafas pelan sebelum ia melangkah keluar dari kamar.

Sejenak ia melihat ke lantai bawah yang sudah di ramaikan oleh orang orang yang sebagian Wendy kenal. Makanan dan minuman sudah tertata rapi di atas meja, di hiasi dengan tawa renyah dari beberapa orang yang Wendy yakinkan hanya sebatas menjaga image saja.

Getaran handphone menarik alih perhatian Wendy, hanya dengan melihat notifikasi, sudah membuat gadis itu tersenyum.

Gen
Jangan lama masang alis nya, Nyonya udah di tungguin tuh dibawah.

"Dih, udah siap dari tadi juga." Wendy menahan senyum nya seraya melangkah turun dari tangga.

Dari jarak dua meter di tempat berdiri sekarang, dapat Wendy lihat kedua orangtua dan kakaknya sedang berbicara dengan sepasang kekasih yang Wendy ketahui itu adalah paman dan bibi nya.

Entahlah, ia tidak sedikit pun merasa ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan sampai sesekali tertawa seperti itu, dan memang seharusnya Wendy tidak usah ikut campur, bukan?

Gelas bening yang berisi air warna kemerahan lebih menarik perhatian Wendy daripada harus memperhatikan mereka. Ia melangkah ke arah balkon yang langsung memperlihatkan kolam renang sudah dihiasi dengan bunga bunga merah yang Wendy sendiri tidak tahu jenis nya dan beberapa lilin kecil menerangi kolam.

"Kok disini?" Tanpa melihat saja Wendy sudah tau suara itu milik siapa.

"Suka aja liat kolamnya, banyak lilin lilin kecil gitu," jawab Wendy seadanya.

Cindy, Kakak kandung Wendy yang tadi sedang bersama kedua orangtuanya, tersenyum seraya menggenggam tangan adik satu-satunya itu.

"Kakak besok udah berangkat lho, kamu yakin gak bakal rindu?"

Ya, tanpa dijelaskan pun Wendy tau saudara kandungnya itu besok akan berangkat ke Australia dengan tujuan melanjutkan kuliah.

Wendy meletakkan gelas di atas meja. Sedetik kemudian ia sudah memeluk erat Cindy yang juga seketika terkejut, namun setelahnya ia membalas pelukan Wendy yang sama eratnya.

"Palingan juga Kakak yang terus terusan nelfon aku, minta vid-callan," ucap Wendy yang tersenyum kecil dibalik pelukan.

"Yuk taruhan siapa yang duluan nangis karena rindu," ejek Cindy yang sudah hapal dengan tingkah laku Wendy.

"Ah ga seru," Wendy melepas pelukan mereka "Aku mau dibawain coklat aseli dari sana, yang banyak." Gadis itu tersenyum sumringah.

"Belum juga berangkat, udah minta oleh-oleh duluan." Cindy menoel hidung adiknya, "Nanti-"

"Mba Cindy, dipanggil Tuan." Sela seorang wanita paruh baya yang menghampiri mereka.

Senyuman di wajah Wendy perlahan hilang. Hei, kenapa dia harus sedih lagi? Seharusnya ia sudah terbiasa dan tegar.

Namun begitulah seorang Wendy, menutup semuanya seolah-olah ia tidak merasakan ketidakadilan ini. Bersikap manja terhadap Cindy adalah salah satunya, berharap Kakaknya itu tidak sadar akan apa yang terjadi.

Cindy tidak bodoh, ia dapat melihat raut wajah yang berbeda dari Adiknya. Ia menangkup sisi kiri wajah Wendy, tetapi Wendy malah tersenyum paksa.

"Kakak dipanggil Papa tuh," ucap Wendy cepat sebelum Cindy membuka mulut untuk berbicara. Ia melepas tangan Cindy dari wajahnya dan meminta segera pergi dari sana.

Suara mic yang berasal dari ujung ruangan, menyita semua perhatian orang yang ada didalam ruangan itu. Kecuali Wendy.

Ia kembali memperhatikan lilin lilin yang ada di kolam renang. Ia sudah menebak pasti, apa yang akan MC sampaikan disana.

Sampai pada suara yang dialirkan oleh mic itu, berganti pada suara bariton seseorang yang Wendy kenal.

"-atas kebanggan yang sebesar besarnya,Anak kami yang akan melanjutkan study di Australia-"

Sedang apa Wendy disini, tidak seharusnya ia mendengar suara dan katakata yang semakin menjerumuskan ia kedalam kesakitan yang luar biasa ini.

Tanpa berpikir dua kali, disaat semua mata sedang tertuju ke ujung ruangan, disaat itu Wendy melangkah perlahan keluar dari ruangan itu, keluar dari rumah kebesaran Wijaya.

***

Dentuman musik terdengar sampai keluar ruangan. Gadis berambut coklat gelap yang sudah berdiri didepan pintu masuk, menghela nafas dengan kemudian memantapkan langkah untuk masuk.

Asap rokok mengepul di udara serta bau alkohol yang menyengat seperti tidak mengganggu aktivitas sekumpulan orang orang menari ria disana.

Ia melepas ikatan rambut dan membiarkan rambutnya jatuh tergerai untuk menutup leher jenjang itu.

"Hei, long time no see. Kemane aje lo?" Sapa bartender begitu melihat langganannya yang sudah jarang muncul disana.

"Rencana sih tadi mau tobat, tapi gak jadi."

"Ada gitu ya, mau tobat pake gak jadi segala, ck." Ucapnya seraya menuang alkohol ke dalam gelas.

"Ada dong. Aing teh kasian liat kamu nanti gak ada pelanggan secantik aing lagi," gadis itu mengedipkan sebelah matanya yang membuat bartender memandangnya horror. Ia menunjuk kearah botol dan memberi kode haus pada bartender.

"Nih, puasin." Ucap bartender yang memang sudah akrab dengannya memberikan satu botol alkohol.

Ia memandang botol itu cukup lama, seperti sedang menimang sesuatu. Memandang ke bartender yang sedang melayani seseorang sebelum benar benar meneguk minuman yang sudah cukup lama ia tinggalkan.

Ada beberapa alasan yang mengarahkan gadis itu kembali memasuki ruangan berpenerangan cukup ini. Membuat ia teringat akan sesuatu hal yang dulu hampir saja menjerumuskan ia kedalam sesuatu yang disebut 'tiada'.

Jika saja seseorang tidak menahan langkahnya, mungkin ia sudah tidak disini sekarang.

Ya, seseorang yang sekarang menjadi alasan ia untuk bertahan.

Tibatiba gadis ini sadar akan sesuatu hal, disaat ia sudah mengabiskan satu botol, disaat ia sedang meneguk botol kedua, dan disaat kesadarannya mulai hilang...

Brakkkk

Seorang lelaki yang pernah ia kenal, jatuh di lantai tepat di belakangnya yang membuat ia menoleh dan terkejut.

Tentu bukan itu alasan ia terkejut, tetapi sosok yang sedang menatapnya tajam, membuat bulu kuduknya naik dan spontan memegang erat pada botol alkohol.

Sosok yang tadi sempat menghampiri pikirannya sesaat.

"Hai," sapanya dengan watados, sebelum semuanya benar-benar menjadi gelap.

***

Bismillah🙏😂
Semoga kalian suka, hehe segini aja dulu

Black PearlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang