Chapter 18

302 27 0
                                    



"Kak, ayo makan dulu" Audi berusaha menyuapi Michelle, perempuan itu selalu menolak makan dari kemarin.

"Ayolah kak. sedikit saja" bujuk Audi, gadis itu semakin khawatir dengan kondisi kakaknya sekarang ini. selama sakit, Michelle sama sekali tak ingin makan. entah apa yang membuat perempuan itu nampak gelisah, suaminya yang entah kemana dan dimana atau seseorang dari masa lalunya yang baru saja muncul menampakan diri dihadapanya? menguak lagi luka lama yang sempat terkubur begitu dalam.

"Aku sedang tidak ingin makan, Audi" tolaknya lemas.

Audi meletakan mangkuk yang berisi bubur itu ke meja samping ranjang dan membuang nafas kasar.

"Kakak kenapa?" tanyanya pelan. Michelle memijit pelipisnya "Rizky...." perempuan itu menggantungkan ucapanya.

"Kakak ingin bertemu dengan kak Rizky?" tanyanya lagi namun dibalas gelengan cepat oleh Michelle.

"Billy..."

Audi meneguk ludahnya entah kenapa gadis itu merasa kaget mendengar nama Billy dari mulut kakaknya.

"Kenapa mengizinkan dia masuk tadi?" Michelle mendelik pada Audi, tak suka.

"Aku... aku... tidak tahu kalau..."

"AKU MEMBENCINYA!!! DIA LELAKI YANG KU MAKSUD ITU AUDI! DIA LELAKI YANG SUDAH MENGHANCURKAN HATI SEKALIGUS HIDUPKU" Michelle berteriak membuat Audi tersentak.

"Aku tahu" Gadis itu menunduk.

"Kenapa dia berani muncul lagi di hadapanku setelah semua yang telah dia lakukan?" air mata itu mulai menggenang, siap untuk jatuh. Michelle, perempuan itu merasakan hatinya bagai di iris-iris, kedatangan Billy membuat semua kenangan buruknya dulu kembali menari-nari di fikiranya.

"Tapi kenapa saat Billy memeluk kakak, kakak hanya diam saja?"

Michelle melirik Audi sebentar kemudian membuang muka, pertanyaan Audi membuatnya bingung sendiri. Memang benar, kenapa saat pemuda itu memeluknya ia hanya diam saja? seolah memberi akses untuk memeluknya lebih erat lagi?

"Apa kakak masih mencintainya?" Tanya Audi lagi.

DEGH..

Pertanyaan itu membuatnya tercengang, apa benar ia masih mencintai Billy? lelaki yang telah membuatnya menderita hingga detik ini?

"Aku tidak mencintainya" jawab Michelle mantap namun ada keraguan di hatinya.

"Jangan bohong! kamu kakaku, aku mengenalmu kak. sangat"

"Bagaimana bisa aku masih mencintainya setelah semua yang dia lakukan?"

Audi tersenyum "Itulah cinta" singkatnya.

"Kamu tidak tahu apa-apa tentang cinta!"

Audi tersenyum lagi "Aku baru saja mengetahuinya kak. karena aku pun sedang mencintai seseorang, yang mungkin lebih mencintai orang lain" ingatan gadis itu berputar, memutar satu objek yang telah menyita perhatianya akhir-akhir ini, pemuda bermata sipit yang ia temukan di makam dengan keadaan rapuh, Billy.

Michelle melurik Audi dengan penuh tanda tanya, dan lagi gadis itu hanya tersenyum simpul. "Diantara kalian masih ada cinta, aku bisa melihat itu kak"

Michelle mengernyit "Aku hanya mencintai Rizky"

"Tidak. kakak hanya mencintai kak Billy" Audi menggerakan tanganya menggenggam tangan Michelle, "Dan aku percaya suatu saat nanti Tuhan akan mempersatukan kalian lagi dengan cara-Nya" ucap gadis itu dengan getir.

****
Mata elang Maxime berkilat tajam, sinar matanya berkilat licik memindai ruangan yang baru dimasukinya. Sunyi. Pria tampan itu mengetahui jika sang buronannya malam ini tidak berada di ruangan.

Langkah kakinya yang panjang tidak melangkah dengan tergesa-gesa, ia menikmati setiap debaran yang semakin memicu adrenalinnya.

Wanitanya ternyata sungguh suka bermain-main dengannya dalam keadaan yang mulai memanas ini. Well, tidak ada salahnya mengikuti keinginan istrinya tersebut. Ia telah mengelilingi kamar mereka, tapi wanita cantik itu tidak dapat ia temukan.

"Dinda..." geraman menggoda meluncur dari bibirnya. "Kamu ingin bermain denganku, Sayang? Oh... baiklah," ucap Maxime santai seraya tetap berjalan tegap menjelajahi kamar hotel. lalu Maxime melihat ke arah luar balkon kamarnya.

Ya, tepat di sana Maxime melihat sang istri tengah menyenderkan lengannya di pinggir pagar balkon, Dinda memandangi langit kelam yang kini tengah bersinar lebih terang dari biasanya karena pancaran sinar bulan dan bintang yang bertaburan. angin malam mengusap lembut apapun yang tersentuh olehnya, menimbulkan gelombang dingin menyengat kulit.

Melihat Dinda memeluk dirinya sendiri seraya menggosok-gosokkan lengan sebagai usaha menghangatkan dirinya, Maxime merangkulnya dari belakang, mendekap dan menguncinya dengan erat.

"Maxime ," gumam Dinda kecil, menenggokkan kepalanya sedikit untuk melihat sang pendekap. Walaupun ia sudah sangat hapal siapa yang dapat memberikan sensasi penuh kehangatan, kenyamanan serta gairah dalam sebuah pelukan pada dirinya, ditambah wangi maskulin tubuh pria itu yang menguar di udara. Hanya ia dapatkan melalui seorang Maxime.

Tangan Maxime yang tersampir di sekitar perutnya dan melakukan gerakan seperti mengusap lembut, membuat hati Dinda berdesir kencang.

"Kukira kamu sudah menungguku di atas ranjang dengan pose sensual tanpa mengenakan sehelai benangpun," bisik Maxime setengah menggoda.

"Kamu ingin aku melakukan itu?" tanyanya sambil mengedipkan sebelah matanya nakal. Dinda mengerang lirih ketika Maxime menciumi lehernya yang terekspos jelas karena rambutnya yang masih ia ikat ala ponytail. Bibir hangat Maxime mengecup dan membelai, mengirimkan gelombang elektrik ke seluruh sarafnya yang mendamba. Memejamkan matanya lekat-lekat ketika Maxime menggigit dan mengulum lembut titik sensitif di leher jenjanngya.

"Sudah tidak perlu. Aku bisa melucuti seluruh pakaianmu di sini, sekarang."
Maxime membalikkan tubuh Dinda agar menghadapnya secara cepat. Dinda tersentak saat napas harum Maxime yang memburu menerpa wajahnya. lelaki itu telah mensejajarkan wajah mereka, menempelkan kening mereka hingga hidung mancung keduanya berbenturan. Dinda dapat melihat jelas manik hitam kelam kekasihnya itu telah tersaput gairah tinggi, seringaian nakal tersemat manis di wajah tampannya yang entah mengapa terlihat sangat mempesonanya saat ini.
Devil. Dan Dinda menyukai ekspresi itu.

Jantung Dinda berdetak tak karuan melihat pesona seorang Maxime, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya pria yang menatapnya bagai binatang buas itu juga tidak bisa memalingkan seluruh anggota tubuhnya dari jerat pesona tubuh feminimnya. Angin dingin yang masih membelai, kini tidak terasa lagi tergantikan hawa panas dari tubuh mereka.

Sudah tak dapat menahan gairahnya yang mnggebu-gebu, Maxime melahap bibir Dinda dengan antusiasme tinggi, memiringkan wajahnya untuk memperoleh sudut yang pas, ciuman panas yang mereka lakukan semakin bertambah ganas. Tubuh Dinda terlampau cepat terasa begitu lemas tak kuat melawan sensasi birahi yang diterimanya. Dapat terasa jelas cepatnya debaran jantungnya membuat aliran napasnya tersengal-sengal dalam ciuman mereka. Tidak ada yang ingin menghentikan segala cumbuan pada mulut mereka yang saling melahap rakus.

Dinda meremas rambut halus Maxime, mengacaknya tanpa sadar sembari memijat tengkuk Maxime dan menekannya begitu posesif. Rangkulan Maxime membuatnya tetap bertahan untuk berdiri dan membalas segala serangan yang dilakukan pria tampan itu. Telapak tangannya yang besar membelai seluruh tubuh Dinda yang dapat dijangkaunya. Menyusup masuk ke dalam kemeja Dinda yang sudah tak berbentuk, kancing depan kemejanya pun telah terbuka sebagian.

Maxime menjilat bibir bawah Dinda dengan gerakan sensual untuk menghentikan ciuman. Dengan sigap Maxime menarik pergelangan tangan Dinda menuju kamar tidur mereka, menjatuhkan tubuh sintal wanitanya ke atas ranjang berbalut seprai satin putih mewah.

Tapi tiba-tiba saja Dinda mendorong tubuh Maxime, lelaki itu mengernyit. istrinya malah memunggunginya dan nampak seperti, melamun.

Wanita itu memikirkan bahwa ia sangat ingin pergi ke Menara Eiffel besok, mungkin bawaan bayi dalam kandunganya.

Lamunan Dinda selesai saat sebuah tangan kokoh melingkari tubuhnya. Dia berbalik, menatap kedua bola mata berwarna hitam kelam yang balik menatapnya.

"Memikirkan apa?" Kini jemari tangan Maxime sudah menari lincah di atas permukaan bibir Dinda, mengusap lembut bibir bawah Dinda, kemudian atasnya, membuat Dinda mengerang pelan.

"Bukan apa-apa, Max," jawab Dinda, masih dalam nuansa menahan gairahnya yang sudah naik ke permukaan.

"Sssttt... Dilarang membohongi suami," bisik Maxime mesra, sambil memiringkan kepalanya, mencium dan menjilat lembut tulang telinga Dinda

Dinda mengerang pelan. Siksaan Maxime sungguh nikmat. Godaan Maxime selalu mampu membuat darahnya berdesir dan melupakan segalanya kecuali keberadaan pria itu.

"Maxime , aku mau mandi, Aku..." Dinda menghentikan kalimatnya. Dia tidak sanggup melanjutkan ketika lidah Maxime mulai bermain-main di bawah telinganya, turun meluncur sampai ke pangkal lehernya.

"Kamu mengajakku mandi?" goda Maxime. Embusan napas Maxime menggelitik tengkuk Dinda.

Dinda sudah tidak tahan. Dia harus mengakhiri ini.

Dinda mencoba mengambil napas pelan-pelan. Di bawah tatapan menggoda Maxime dan tangan pria itu yang mulai bergerilya di pinggulnya, bernapas pun menjadi salah satu hal tersulit yang dilakukan Dinda. Dia harus memutar otak. Meski otaknya buram, terbius godaan dan rangsangan Maxime yang semakin dahsyat, Dinda harus bertahan. Dia harus memutar keadaan.

"Maxime please , aku butuh mandi," kata Dinda pelan, napasnya tersangkut-sangkut saat mengucapkan kalimat itu di bawah permainan jari Maxime yang semakin intens.

"Tapi aku butuh kamu, Sayang."
Dinda mengerang. Perkataan Maxime yang diucapkan dengan nada lembut dan menggoda benar-benar mampu membangkitkan gairahnya. Namun Dinda tetap berusaha berpikir jernih, sebelum Maxime memegang kendali semakin jauh, dia menarik kepala Maxime dan mencium bibirnya dengan mesra.

Dinda dapat merasakan tubuh Maxime sedikit menegang. Serangan langsung dan tiba-tiba dari Dinda membuat Maxime sedikit terkejut.

Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, Dinda terus berusaha mendominasi permainan ini.

Tangan Dinda yang tadinya meremas rambut Maxime, kini mulai beralih ke dada Maxime. Dibukanya kancing-kancing kemeja Maxime dengan pelan-pelan. Tiga kancing telah terbuka, jemari Dinda menyusup ke balik kemeja, menyentuh dada Maxime dengan lembut dan mesra.

Maxime mengerang pelan. Hal ini dimanfaatkan Dinda untuk melepas tautannya bibirnya di bibir Maxime. Permukaan bibirnya turun menjelajahi permukaan kulit leher Maxime, terus menggoda Maxime dengan sentuhan mesranya.

Tangannya pun tidak berhenti, terus menyentuh dada Maxime, menekan titik-titik sensitifnya. Bahkan kini Dinda bisa merasakan pusat gairah Maxime sudah meminta untuk dipuaskan.

Maxime mengerang frustrasi. "Aku menginginkanmu sekarang, Dinda."
Dinda tersenyum manis. Bibirnya pindah haluan, menuju daun telinga Maxime, sementara kedua tangannya kini mengalung di leher sang suami. "Tentu, Max. Asal kamu berjanji."

"Berjanji? untuk apa?" Tanya lelaki itu.

"Aku ingin pergi ke Menara Eiffel besok, tapi sendiri" Dinda mengutarakan keinginanya pada sang suami.

Maxime mengerutkan dahi "kamu ingin ke menara eiffel? sendiri?"

Dinda tahu, tidak akan mudah mendapat izin untuk pergi sendiri mengingat suaminya itu sangat posesif terhadapnya.

"Mau apa?" tanyanya lagi.

"Ingin saja. mungkin bawaan bayi"

Maxime luar biasa geram. Dinda benar-benar tahu bagaimana cara memanfaatkan kelemahannya. Dinda melakukan ini semua supaya mendapat izin untuk pergi ke Menara Eiffel? sendiri? Tentu saja dia ingin menolak gencatan senjata yang ditawarkan Dinda. Namun gairahnya sudah diambang batas. Dinda telah menjungkir balikkan hidupnya sejak pertama kali mereka bertemu. Sentuhan sedikit saja dari wanita itu mampu membuat Maxime terangsang sampai ke ubun-ubun.

"Dinda..," geram Maxime.

"Katakan ya atau tidak?" Dinda semakin menggoda Maxime.
Dinda memajukan tubuhnya, semakin mendekati pusat gairah Maxime. Kedua hidung mereka kini bersentuhan. Maxime memejamkan kedua matanya sejenak. Dia sudah tidak bisa menahannya lagi. Tidak ketika tubuhnya sudah berteriak meminta pelepasan. Saat kedua matanya terbuka, dia mendesis penuh kegeraman sekaligus kenikmatan.

"Kamu menang, Nyonya Bouttier"
Dinda mendesah lega. Maxime tidak pernah mengingkari perkataannya. Maka Dinda bisa tenang melanjutkan kegiatan mereka, karena dirinya pun sudah sangat mendambakan Maxime. Namun sebelumnya, Dinda masih ingin menggoda Maxime, Menggoda suaminya adalah salah satu hal yang paling disukainya. Karena Dinda tahu respons Maxime selalu menyenangkan.

"Tapi aku ingin mandi dulu, Maxi--."
Maxime menggelengkan kepalanya. Dia menyeringai. Dindaa tidak bisa mempermainkannya lebih lama lagi.

"Tidak ada penawaran lagi, istriku," desisnya, sambil membaringkan Dinda di atas tempat tidur lagi.

****

Dinda membuka matanya perlahan. Sejenak dia bergidik saat merasakan suhu dingin yang membelai punggung telanjangnya. Mungkin itulah yang menyebabkannya terbangun.

Secara naluriah kepalanya bergerak ke arah kiri menatap ujung ruangan saat menyadarai bahwa Maxime sudah tak terbaring di sampingnya. Normalnya adalah dia akan mendapati Maxime duduk di kursi, sibuk berkutat dengan kesenangannya seperti biasa.

Namun Dinda harus mengernyit saat pemandangan itu tak didapatinya. Tidak ada Maxime di sana. Rasa penasaran mengusik kenyamanan posisi berbaringnya. Dengan sedikit malas dia mendudukkan diri dan mengabaikan selimut yang melorot di pinggangnya, matanya memindai ruangan dan berakhir pada tirai kamar yang terbuka, menampilkan siluet langit malam.

Dia meraih kemeja Maxime yang tergeletak di lantai. Memakainya sembarang dan bergerak perlahan menuju sofa tunggal yang menghadap dinding kaca, berhadapan langsung dengan pemandangan malam di luarnya.
Tanpa suara dan masih dalam kondisi setengah mengantuk, Dinda mendudukkan dirinya tepat di atas pangkuan Maxime yang sedang bersandar di sandaran sofa. Dia menelusupkan dirinya di kungkungan pria itu, bergelung manja mencari posisi ternyaman
.
"Jangan menggodaku lagi."
Dinda mencibirkan bibirnya. "Kamu saja yang mudah tergoda," sahutnya sambil mulai menelusurkan sebelah telapak tangannya di dada telanjang Maxime. Mengabaikan sepenuhnya dengan gestur tegang Maxime karena sentuhan itu.

Pria itu masih diam, meskipun sekujur tubuhnya berkhianat karena merespon dengan cepat pada semua gesekan kulit Dinda di tubuhnya. Matanya sejenak terpejam menikmati, sebelah tangannya sudah bergerak membelai punggung Dinda, sedang tangan yang lain mengepal demi bertahan untuk tak merobek kemeja sialan itu dari kulit wanitanya.

"Apa yang kamu pikirkan?" Dinda sekarang tahu caranya bermain dengan permainan yang baik. Bermain tarik ulur adalah bagian terbaiknya dalam hal ini.

"Kamu."
Jawaban Maxime membuat Dinda terkekeh dan semakin tak bisa menghentikan gerakan membelainya. "Sebelum ini maksudku, Maxime. Apa yang kamu lakukan dengan duduk merenung malam-malam begini? Kenapa tidak melanjutkan tidur?"

Dengusan penuh frustasi itu terdengar jelas di telinga Dinda. "Aku memikirkan banyak hal."

"Termasuk aku di dalamnya?" Dinda merasakan gestur Maxime sudah sedikit rileks saat dia memutuskan menghentikan gerakan tangannya dan fokus pada perbincangan selingan ini.

Dinda menjauhkan dirinya sedikit, mendongak untuk bertatapan langsung dengan wajah lelaki itu. Maxime membalas tatapannya, mereka bertukar pandang sejenak.

Maxime menelusurkan matanya di keseluruhan wajah Dinda, menikmati keindahan milik wanita itu dalam keremangan cahaya bulan. Dan sesuatu dirinya merasa pongah saat menyadari wanita ini adalah miliknya, sudah menjadi miliknya.

"Kamu adalah utamanya."
Dinda terpaku dengan jawaban itu.

"Jelaskan kalau begitu."
Maxime masih berdiam diri sejenak sebelum memilih mengutarakan kecamuk pikirannya.

"Hm, kamu tahu Din apa yang paling aku takutkan sekarang ini?" Maxime melirik Dinda sebentar, yang dilirik hanya menggelengkan kepalanya.

"Kehilangan kamu" jawabnya. Dinda tersenyum tipis lalu tanganya memegang kedua pipi lelaki berlesung pipit itu.

"Max. aku disini, dan aku istri kamu, tidak usah takut kehilanganku" ucapnya menengangkan.

"Tapi kamu masih mencintai Rizky kan? dan anak yang ada di dalam kandungan kamu sekarang adalah anaknya. aku takut itu semua dijadikan senjata oleh Rizky supaya bisa merebutmu dariku!" tuturnya.

Dinda melepaskan tanganya dari pipi Maxime dan nampak berfikir. memang ia masih mencintai Rizky, perasaanya tidak pernah berubah, tapi kehadiran Maxime, lelaki yang selalu menjamin keamanan dan kenyamananya mampu membuatnya melupakan Rizky sesaat. entahlah, hati wanita itu dihuni oleh 2 lelaki itu sekarang.

"Kenapa selalu diam jika disinggung tentang Rizky?" tanya Maxime membuyarkan fikiran Dinda.

"Tidak, bukan begitu Max"

"Aku ingin kita segera pergi dari sini" ucap Maxime secara tiba-tiba.

"Kamu ingin kita segera pulang ke Indonesia?" tanya Dinda.

"Tidak. aku ingin pergi ke tempat dimana tidak ada Rizky disana"

"Kamu istriku, dan kamu harus ikut kemanapun aku pergi" lanjutnya kemudian.

"Tapi Max..."

"Aku mohon" Maxime menungkupkan kedua tanganya di depan Dinda. Dinda hanya tersenyum simpul dengan perasaan bingung dan sedih yang berkecamuk. bingung karena kemauan Maxime yang tiba-tiba ini dan sedih jika harus meninggalkan Rizky.

Maxime menarik Dinda ke pelukanya "Aku tidak mau kehilangan kamu"

"Aku akan menjauhkanmu dari Rizky!" batinya.

"Tidak usah fikirkan tentang Ali, kita akan bawa dia tinggal bersama kita. aku tidak ingin lagi berhubungan dengan keluarga Antonio"

*****

"Aaaaaarrrrgghhhhhhhhh!!!!!" Rizky menjambak rambutnya sendiri lalu tanganya mengepal, menonjok tembok berkali-kali, lelaki itu nampak sangat prustasi.

Stella hanya bisa menatapnya getir, ia baru melihat teman se-kuliahnya itu rapuh seperti ini, tapi tak banyak yang bisa ia lakukan sekarang, gadis itu hanya melihat pemandangan di depanya dengan perasaan iba.

Kemudian Rizky membanting seluruh benda yang ada di hadapanya, menendang apa saja yang bisa ia tendang, bahkan ranjangnya saat ini sudah tak berbentuk, bantal, guling, seprai semua di bantingnya.

"STOP PLEASE!!!" Stella menghampiri Rizky dan langsung menarik lelaki itu ke pelukanya " You do not like this" gadis berambut pirang itu berusaha menenangkan Rizky.

"Kamu tahu? aku sangat membenci Maxime!" Rizky melepaskan pelukan Stella, lelaki itu berjalan gontai ke arah balkon memunggungi gadis itu.

" Until when you shall be like this ?" tanya gadis itu lirih. "Do not be yourselves?"

"Apa salahku Stel? apa?" Rizky menatap sendu pemandangan kota Paris di malam hari lewat balkon kamarnya.

"Ky, apa yang Tuhan takdirkan untuk kita, pasti akan kembali pada kita.  You have to believe it" Gadis itu menepuk pundak Rizky, ikut memandangi pemandangan diluar balkon.

"aku rasa ini patah hati terhebatku, Stel. aku baru menyadari bahwa rasa cintaku pada Dinda sangat besar, lebih besar dari yang ku kira" gumam Rizky yang sekarang memjit pelipisnya.

Stella menganggukan kepalanya "Aku rasa juga begitu, aku baru melihatmu serapuh ini"

Kemudian mata gadis itu tertuju pada benda-benda yang kini sudah berserakan di lantai, ada satu benda yang menyita perhatianya yaitu foto seorang gadis cantik berambut sebahu yang sedang tersenyum tapi tidak melihat kamera. kedua alis gadis itu bersatu "Apa ini Dinda?" tanya Stella, Rizky langsung menoleh dan melihat foto tersebut yang memang diambilnya secara diam-diam "Ya, dia perempuan yang membuat aku tergila-gila"

"Cantik" gumam Stella tanpa sadar.

"Ya. sangat cantik" Rizky menambahkan.

"Tapi dia bukan milikku lagi. dia milik Maxime sekarang, aku rasa mereka juga sudah saling mencintai"

"Itu menurutmu. jangan sok tau!" Stella terkekeh. "Jangan menyakiti diri sendiri dengan selalu berfikiran buruk. aku yakin Dinda masih mencintaimu. mendengar semua yang kamu ceritakan, aku sebagai sesama perempuan sangat amat yakin bahwa Dindamu itu lebih mencintaimu daripada suaminya sekarang ini. kita harus membuatnya sadar!"

"Percayakan semuanya pada Stella Cornelia" lanjutnya kemudian.

****

Audi sekarang berada di halaman rumah Mr.Antonio, rumah yang sangat besar dan terdiri dari 3lantai. Audi belum pernah datang ke rumah sebesar ini sebelumnya, dan matanya menatap kagum sekeliling rumah itu.

Audi dan Michelle juga berasal dari keluarga kaya dan terhormat tapi kekayaanya tentu saja tidak mengalahkan kekayaan keluarga Antonio.

Gadis itu memang memutuskan untuk pergi ke rumah Billy karena ingin meminta pemuda itu menemui Michelle, ia berharap agar lelaki itu bisa bersatu lagi dengan kakaknya.

ia sudah cukup dewasa untuk merelakan cintanya, ia akui memang ia mulai mencintai lelaki berwajah oriental itu tapi ia lebih memikirkan kakaknya, Audi tahu betul Michelle dan Billy masih saling mencintai, maka dari itu ia ada disini sekarang.

Kebahagiaan kakaknya adalah prioritasnya sekarang.

"Aku tidak akan membiarkan kak Michelle menderita lebih lama lagi" batinya.

Gadis itu melangkahkan kakinya menuju pintu utama kediaman Antonio, tapi saat ingin memencet bel, seseorang dari dalam rumah tiba-tiba saja membuka pintu.

"Audi?" Seseorang yang ternyata Billy itu menatap heran Audi yang tiba-tiba saja ada di rumahnya.

"Eh Bil" Audi terlihat salah tingkah.

"Ada apa kamu kesini?" tanya pemuda itu. "Ayo masuk!" Billy mempersilahkan gadis itu masuk.

"Silahkan duduk" perintah lelaki itu.

"Tujuan aku kesini itu.... Kak Michelle" ucapnya mantap.

Billy tercengang "Michelle?" tanyanya keheranan.

"Michelle kakakku"

"Apa?" Billy semakin tercengang.

"Ya. aku sudah tau semuanya Bil"

"Maafkan aku" lelaki yang kini berpakaian santai itu menunduk, menyadari kesalahanya di masa lalu, ia sangat malu dan sangat menyesal telah melibatkan Michelle dalam dendamnya itu, ia tak menyangka perempuan itu akan sehancur itu.

"Jangan minta maaf padaku. minta maaf lah pada kak Michelle"

"Dia tidak akan memaafkanku" ucapnya yakin.

"Kamu tidak akan tahu kalau belum mencobanya"

"Aku sudah mencobanya"

"Sekali? dua kali? hmm Bil, kesalahanmu dulu itu sangat besar, permintaan maaf satu atau dua kali tidak akan cukup untuk menebus semuanya, yakinkan kak Michelle, Bil. buat dia memaafkanmu" Audi menatap Billy penuh harap, meskipun dadanya merasa sesak.

Billy menatapnya bingung "Aku harus apa?"

"Apa kamu masih mencintai kak Michelle?" pertanyaan itu membuat Billy kaget dan cukup menggelitik hatinya. Cinta? apa memang Billy masih mencintai Michelle?

Tiba-tiba saja Billy merasakan basah di bawah hidungnya, Billy lantas menunduk. Cairan hangat mengalir dari hidungnya, menyebabkan tetesannya jatuh mengotori lantai yang semula berwarna putih bersih. Darah.

Matanya membulat seraya berusaha menutup hidungnya dengan sebelah tangan. Audi bergerak cepat mengambil tisu di depannya dan berpindah ke sebelah Billy. Menyingkirkan tangan Billy berganti menyekanya dengan tisu. Seketika, tisu itu menjadi merah terlumur darah.

"Billy kamu kenapa?!" tanya Audi khawatir. Tangannya sibuk membersihkan darah dari hidung Billy yang tak juga berhenti mengalir.
Billy tidak menjawab. Matanya mengarah ke tangan Audi yang masih bekerja. Berlahan pandangannya mengabur dan tidak fokus. Merasakan kepalanya pusing berubah menjadi sakit seperti tertusuk. Sebelah tangannya terulur mencengkram sisi kepalanya kuat. Mulutnya mengerang lirih.

"Billy!" teriak Audi panik, menahan Billy yang terhuyung ke arahnya. Hingga membuatnya duduk di lantai menopang tubuh Billy dalam dekapan.

"Aah—AARRGGH!" erang Billy menutup mata erat.

"Billy! BILLY! BERTAHANLAH!" Audi menguncang tubuh Billy, tapi hanya erangan yang terdengar.

Dalam dekapannya, tubuh Billy bergetar. Wajahnya berkeringat deras. Alisnya mengkerut menahan rasa sakit. Ekspresi wajah yang menderita itu tertangkap di mata Audi.

"Kita ke rumah sakit sekarang!" Audi bergerak menyangga tubuh Billy bermaksud menggendongnya. Namun tangan Billy mencengkram bajunya.

"Ti-dak—usah. Aku—ti-dak-apa—" ucap Billy terbata lirih menahan rasa sakit. Nafasnya tercekat hingga sulit rasanya mengucapkan satu kalimat pendek.

"Jangan me..!"

"A-ku-ba—ik. Ambil—kan saja—obatnya di kamarku, di lantai 2..." Billy terenggah memotong teriakkan Audi cepat. Tangganya mencengkram baju Audi lebih kuat untuk meyakinkannya.

gadis itu menatap Billy cemas.

"Baiklah, tunggu sebentar."
Disandarkannya tubuh Billy ke kaki meja. Sementara dia bergerak cepat menuju kamar Billy. Setelah mendapatkan obatnya, Audi segera berlari keluar menuju ruang tamu. Menghampiri Billy dan memberikan obatnya untuk diminum.

Beberapa menit kemudian, tampaknya obat itu menunjukkan khasiatnya. Tubuh Billy berlahan merileks. Wajahnya mengendur tidak lagi menahan sakit. Nafasnya normal kembali. Membuat Audi menghela nafas lega dan tenang, tapi belum cukup menghilangkan rasa cemas di matanya.

"Aku baik-baik saja" ujar Billy lirih, masih lemas selepas dari kambuhnya. Wajahnya menampilkan senyum menenangkan gadis berkulit gelap di hadapannya.

"Jangan bohong! katakan kamu kenapa?" tanya Audi yang kini penasaran.

Billy sendiri bingung harus menjawab apa, sepulang pengobatan dari New York semuanya baik-baik saja, bahkan Billy merasa dirinya sangat sehat. tapi sekarang sakit itu terasa lagi? apa penyakit terkutuk itu datang lagi?

Billy memandang Audi dengan seksama, sepertinya gadis ini bisa dipercaya, selama ini Billy selalu merasa sendiri, tak ada tempat baginya untuk berbagi, tapi melihat keluguan dan kepolosan gadis di hadapanya ini, Billy merasa ia bisa menceritakan semuanya padanya, walau mereka baru saling mengenal baru-baru ini.

"Audi?" panggilnya pelan.

"Ya?"

"Aku ingin menceritakan sesuatu"

Akhirnya Billy menceritakan semuanya, semua tentang kehidupanya, tentang keluarga Antonio, tentang kisah cintanya bersama Michelle, tentang gadis yang di jodohkan denganya, tentang dendamnya pada Rizky, sampai tentang penyakitnya.

Audi merasa tercengang dengan semua penuturan lelaki itu, lelaki yang terlihat kuat diluar namun sangat rapuh, semua yang di ceritakanya mampu membuatnya terhipnotis, kehidupan Billy begitu rumit, begitu memilukan, selama ini ia sendiri, ia kesepian, ia selalu menyembunyikan penyakitnya karena ia sangat bosan di kasihani.

Audi menatapnya iba dan berkata "Waw, Bil. aku tidak menyangka kamu bisa sekuat ini dan bertahan sampai sekarang"

"Dendam ini dan seorang gadis yang di jodohkan denganku yang membuat aku bertahan hingga detik ini" Billy tersenyum tipis.

"Aku harap kamu tidak akan memberitahu hal ini pada siapapun, termasuk kakakmu"

Audi menepuk pundak Billy "Percaya padaku" kemudian ia ikut tersenyum.

"Tapi Bil penyakitmu itu? Kambuh?" tanyanya hati-hati.

"Mungkin. dan mungkin sebentar lagi aku akan mati. aku harus segera menemukan Rizky dan Dinda sebelum aku mati, dan tentunya aku harus menebus semua kesalahanku terhadap kakakmu sebelum aku pergi dari dunia ini" Billy sedikit terkekeh dan gadis di hadapanya langsung mengarahkan jari telunjuknya pada bibir merah pemuda itu. "Tidak baik berbicara seperti itu"

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi dulu Bil, sebelum kamu tahu semuanya" batinya.

*****

Matahari telah meninggi tapi itu tidak terlalu di pedulikan oleh sepasang suami istri yang kini masih setia saling berpelukan di dalam selimut. Mereka terlihat begitu lelah.

Drrttt Drrttt Drrttt

Maxime — pria tampan dengan senyum khasnya itu kini mulai membuka kedua kelopak matanya saat merasa ponsel pintar yang berada tepat di sebelahnya itu bergetar hebat. Dengan sedikit enggan Maxime meraih ponselnya dan membaca satu pesan yang berhasil masuk ke dalam ponsel pintarnya. Kedua matanya membola saat membaca apa isi pesan tersebut.

From : xxxxxxxxxxxx
Temui aku sekarang di apartement atau aku yang akan pergi ke hotelmu!
Stella

Maxime mengusap kasar wajahnya sesaat sebelum ia turun dari ranjangnya.

Dengan gesit ia segera bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Tidak sampai sepuluh menit ia sudah keluar dari kamar mandi dengan setelan jeans dan juga kaos V neck yang ia tutup dengan blazer hangat. Penampilan yang sederhana tapi terlihat begitu mempesona setiap wanita yang melihatnya.

Maxime meraih kunci mobilnya dan berniat segera keluar dari kamar. Langkahnya terhenti saat ia mengingat sosok wanita cantik yang sepertinya masih terlelap di atas tempat tidur. Ia mendudukkan.tubuhnya tepat di sisi Dinda dan mulai membelai wajah cantik istrinya. Maxime menarik kembali tangannya saat Dinda menggeliatkan tubuhnya karena merasa terusik.

“Maafkan aku sayang, aku harus pergi sekarang.” Maxime menundukkan kepalanya dan memberikan satu kecupan lembut tepat di atas kening Dinda. Ciumannya kini semakin turun dan berhenti tepat di atas permukaan bibir Dinda. Di lumatnya sedikit bibir merah Dinda sebelum ia kembali menarik wajahnya menjauh dari wajah cantik Dinda.

Maxime merapikan selimut Dinda yang memang sedikit berantakan sesaat sebelum ia kembali menegakkan tubuhnya dan berjalan perlahan menuju ke arah pintu kamarnya. Ia membalikkan tubuhnya saat ia sampai di ambang pintu. Segaris senyum terukir di wajah tampannya saat melihat begitu cantiknya wajah istrinya.

Cklekk

Maxime menutup pintu kamarnya perlahan dari arah luar. Di rapikannya sedikit rambutnya yang tadi belum sempat ia sisir.Maxime kini terlihat menuruni tangga dan terus lurus ke arah pintu utama. Ia berjalan mendekati mobilnya yang telah terparkir di depan hotel mewahnya. Maxime segera memasuki mobilnya dan memasang sabuk pengamannya.

Maxime melajukan mobilnya cepat menuju suatu tempat yang sudah begitu di hafalnya. Suatu tempat. Maxime berkali – kali menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Perasaannya saat ini begitu campur aduk dan tidak karuan.

Stella? gadis itu tiba-tiba saja menghubunginya dan menyuruh untuk segera menemuinya? padahal, setelah Maxime pulang ke Indonesia mereka telah lost contact.

Mengenai apartement, tentu Maxime tahu apartement yang di maksud Stella, dulu sewaktu mereka masih berhubungan sebagai sepasang kekasih, Stella sering mengajaknya berlibur ke Paris dan tinggal di apartement itu.

Yang dibingungkan oleh lelaki blasteran Perancis-Indonesia itu adalah maksud Stella yang menyuruhnya untuk segera menemuinya itu apa?

Titt.. Cklekk

Maxime menerobos masuk ke dalam apartment mewah dengan desain modern tersebut. Langkah kakinya langsung menuju ke arah salah satu kamar yang berada di dalam apartment dengan harga selangit itu.

Maxime menghentikan langkahnya saat melihat seorang wanita cantik tengah duduk di sofa sembari membaca majalah.

"Stel?"

Gadis yang dipanggil langsung menoleh dan garis sudut bibirnya langsung terangkat, dengan segera gadis itu menghampiri Maxime dan memeluknya dengan erat. " How are you? you still as before, has not changed" ucap Stella sambil mengetatkan pelukanya pada Maxime.

Lelaki itu merasa risih di peluk seerat itu, Maxime pun melepas pelukan Stella " You were not never change, Stell"

Stella tersenyum lagi, gadis itu menatap Maxime dari ujung rambut hingga ujung kaki, Maxime memang masih setampan dulu menurutnya, tidak ada yang berubah sedikitpun.

"Ada apa kamu menyuruhku kesini? dan darimana kamu tahu nomor telponku Stel?" tanya Maxime tanpa babibu lagi.

"Duduk dulu Max" Stella mempersilahkan mantan kekasihnya itu duduk.

"Langsung saja stell, maksudmu menyuruh aku datang kesini untuk apa?" tanya Maxime tidak sabar.

"Untuk kebahagiaan Dinda"

Maxime menautkan alisnya "Untuk Dinda? darimana kamu mengetahui istriku?"

Stella tersenyum sinis "Kamu tidak perlu tahu. apa kamu sangat mencintainya Max? apa kamu menginginkan Dinda bahagia?"

Maxime terkekeh "kamu menyuruhku kesini hanya untuk menanyakan itu?"

Gadis berbibir mungil dan bermata sipit itu berjalan mendekati Maxime yang kini sedang duduk di sofa "Kebahagiaan Dinda terletak pada Rizky" ucapnya.

Maxime menautkan alisnya "Maksud kamu? oh aku tahu, kamu mengetahui semua itu dan menyuruhku kesini karena Rizky? dibayar berapa kamu Stel?" cibir lelaki itu.

Stella merasa tersinggung dengan ucapan Maxime, gadis itu langsung membuang muka dan berjalan memunggungi Maxime "Aku tidak dibayar sepeserpun oleh Rizky, Max. aku hanya ingin menyadarkan kamu bahwa kamu telah menjadi orang ketiga diantara dua orang yang saling mencintai!"

Maxime mendecih "Cih! orang ketiga? justru Rizky lah yang jadi orang ketiga di pernikahan kami!"

"Ini bukan pernikahan max, tapi kesepakatan, apa kamu lupa?"

"Kamu tidak tahu apa-apa Stell, jadi lebih baik kamu tidak usah ikut campur dalam urusan ini! Rizky sendiri yang menyerahkan Dinda padaku, dan itu dilakukanya secara sadar dan dalam keadaan sehat walafiat. Dia yang menginginkan aku menjaga Dinda, lalu setelah kami berdua saling mencintai dia datang untuk memisahkan kami, begitu?" Maxime tersenyum sinis.

"Apa Dinda benar-benar mencintaimu Max? apa Dinda akan semudah itu melupakan Rizky? dan apa posisi Rizky bisa digantikan semudah itu olehmu? Kamu lupa kalau kamu mempunyai kesepakatan dengan Rizky untuk menceraikan Dinda sesaat setelah dia melahirkan?"

Tentu Maxime masih ingat tentang kesepakatan itu, tapi sekarang kesepakatan itu sudah tidak berarti apa-apa baginya. yang lelaki itu inginkan sekarang adalah hidup bahagia bersama istrinya dan segera menjauhkanya dengan orang-orang yang bisa kapan saja memisahkan mereka, termasuk Stella.

"Aku yakin Dinda mencintaiku dan akan segera melupakan Rizky!" ucap Maxime yakin.

Stella menatap kesal kearah Maxime rupanya lelaki di hadapanya itu sangat keras kepala tapi gadis itu tak akan menyerah begitu saja "Rizky pernah bercerita padaku saat kalian berdua hampir saja tertabrak mobil dan dengan refleks Dinda berteriak meneriakan nama Rizky, bukan kamu. kamu tahu itu kenapa? karena yang difikirkan pertama kali oleh Dinda adalah keselamatan orang yang dicintainya, Rizky, bukan kamu! aku tau kamu sadar akan semua itu Maxime" cerocos Stella, Maxime, lelaki itu terdiam seketika, mencoba mencerna segala perkataan Stella, ia memang sadar akan kejadian itu, ia juga mendengar ketika Dinda dengan paniknya meneriakan nama Rizky, tapi perempuan itu selalu bilang bahwa ia mencintainya, semua itu sangat membingungkan.

"Lepaskan apa yang harusnya kamu lepaskan dari awal Maxime. Dinda ditakdirkan hanya untuk Rizky, begitupun sebaliknya. apa kamu lupa dengan semua kebaikan sahabatmu itu? Rizky dan keluarganya lah yang membuatmu seperti sekarang ini! dari kuliah Rizky selalu membantu kamu Max, dan ketika Rizky membutuhkan bantuanmu dengan menitipkan Dinda padamu sementara saja, apa yang ia dapat? pengkhianatan? rasa sakit yang membuatnya sampai hancur seperti sekarang? kamu telah merebut sesuatu yang paling berharga dihidup Rizky, dihidup sahabatmu! come-on Max, berfikirlah realistis, gunakan logika untuk ini! relakan Dinda, biarkan dia bahagia bersama Rizky! kembalikan Dinda pada cintanya!"

Maxime menutup telinganya ia tak ingin mendengar apapun lagi dari Stella, semua perkataan gadis itu sangat menyakitkan baginya.

Tapi satu hal yang membuatnya sadar, ia telah jadi pengkhianat dan jadi orang ketiga. menghancurkan cinta sahabatnya.

"Cukup Stell! aku ingin pulang, permisi" pamit Maxime dengan lemas.

"Max?" panggil Stella membuat lelaki itu menoleh.

"Aku tau kamu bukan seorang pengkhianat, kuharap kamu segera mengembalikan Dinda pada Rizky!" Stella melempar senyuman kearah Maxime.

"Dinda bukan piala bergilir Stell" Maxime membalas senyuman Stella sesaat sebelum akhirnya ia pergi.

"Kamu tidak pernah berubah Max. dan perasaanku padamu juga tidak pernah berubah. aku mencintaimu" batin Stella sambil memandangi punggung Maxime yang kian lama kian menjauh.

Eye To LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang