Chapter 7

391 30 0
                                    

" hey ?"

Rizky mengetuk pintu kamar Dinda dan mendapati Dinda sedang membaca buku yang sepertinya novel di mejanya. Dengan langkah elegan, lelaki itu duduk di pinggir ranjang Dinda.

Rizky memakai jas yang dasinya sudah dilonggarkan. Lelaki itu tampak lelah.

"darimana ?" Dinda meletakkan novelnya dan mengernyit, Rizky tampak pucat.

"Kamu gak apa-apa Rizky ?"

"kayaknya gue sedikit flu. gue batuk-batuk dari tadi tenggorokan gue sakit."

Lelaki itu berdehem, "Tapi gue udah minum obat flu, bentar lagi juga gue sembuh"

"Oh." Dinda melirik Rizky dengan cemas, "Sepertinya kamu harus ke dokter."

"gak, gue gak papa " Tiba-tiba lelaki itu membaringkan tubuhnya di ranjang Dinda.
Dinda menoleh kaget, hampir berdiri dari duduknya.

"Rizky ??"

"Please. Jangan teriak atau gue buat bibir lo berdarah lagi." Lelaki itu mengernyit, membuat Dinda tertegun, padahal dia sama sekali tidak berteriak, Rizky berbaring dan menutup matanya dengan sebelah lengannya.

"Kepala gue pusing , biarin gue tidur sebentar di sini."
Dinda terdiam, merasa kasihan kepada Rizky,  sepertinya lelaki itu benar-benar sakit. Ya sudah, biarlah. Lagipula Dinda masih belum ingin tidur.

Waktu berlalu, dan Dinda larut dalam kegiatan membaca novelnya. Diiringi suara dengkuran halus Rizky yang sepertinya jatuh lelap ke dalam tidurnya, mungkin karena pengaruh obat flunya.
Dinda menguap dan melirik jam di dinding, sudah jam dua pagi, dan dia mengantuk. Dengan bingung diliriknya Rizky yang masih pulas di atas ranjangnya. Lalu dia harus bagaimana?

Dengan bingung Dinda memutar kursinya dan menghadap ke arah ranjang. Rizky sedang tidur pulas. Dan ketika tidur lelaki itu tampak sangat tampan. Gurat-gurat sinis di wajahnya tidak tampak dan lelaki itu kelihatan begitu polos seperti bayi, bibirnya sedikit terbuka dan napasnya teratur.

namun Dinda sangat tidak mengerti dengan sikap Rizky yang seperti bunglon. terkadang Rizky sangat begitu perhatian, mengucapkan kata cinta berkali-kali pada Dinda, tapi kadang juga Rizky bisa kembali ke sikap biasanya, cuek, ketus bahkan kasar. menurutnya Rizky bukan lah type lelaki yang bisa ditebak, Rizky ajaib dan terkadang Dinda bingung harus bagaimana cara menghadapi lelaki itu.

Dinda larut dalam kenikmatan memandangi maha karya Tuhan di depannya. Tuhan pasti sedang tersenyum ketika menciptakan sosok ini.
Mata itu terbuka. Seketika itu juga langsung menatap tajam ke arah Dinda.

Membuat Dinda berjingkat dari duduknya karena kaget.
Lelaki itu tampaknya tipikal orang yang langsung sadar ketika bangun, dia mengerutkan keningnya menatap Dinda.

"ngapain lo liatin gue kaya gitu ?"

Dinda merasa pipinya memerah, "Aku gak ngeliatin kamu ." dipalingkannya wajahnya, tidak mampu menahankan tatapan tajam Rizky kepadanya.

Lelaki itu beranjak duduk di ranjang, memandangi sekeliling dan menatap Dinda lagi.

"Kenapa gue tidur di kamar lo ?" gumamnya menuduh.

Dinda menaikkan alisnya jengkel. "Kamu yang datang kesini pas aku lagi baca novel terus tiba-tiba tidur di ranjang aku. Coba tanya diri kamu sendiri."

"Oh." Rizky tampak mencoba mengingat-ingat, "Maaf."
Lelaki itu tanpak sakit, Dinda menatapnya dengan cemas,
" Kamu gak apa-apa Rizky ? gimana pusing dan flu kamu?"

"gue masih pusing." Lelaki itu tampak terhuyung,

" bibir lo masih sakit? " tanya Rizky menyelidik. menatap ujung bibir Dinda yang kemarin dibuat berdarah olehnya.

" hmmm... din "

" yaa? " Dinda menatap Rizky dengan wajah Rizky yang pucat pasi.

" lo masih inget ke jadian di bar yang gue mabuk ? " Dinda mengangguk.

" maafin gue.. waktu itu gue ... "

" kamu keterlaluan waktu itu. kamu slalu bilang aku perempuan murahan, kamu mabuk dan kamu gak ada habisnya ngehina aku.. "

" gue tau.. mungkin kesalahan gue waktu itu terlalu besar " Rizky menyadari kesalahanya dan berniat kembali ke kamarya.

“Rizky! ” serunya, lalu sebelum Rizky sempat membalikkan tubuhnya, Dinda berlari ke arah Rizky dan menubruk tubuhnya dari belakang, memeluknya erat-erat, membuat Rizky terpana.

“jangankan masalah di bar itu, masalah yang kamu  ngebuat bibir aku berdarah pun aku maafin ” Bisik Dinda terkekeh pelan, membuat jantung Rizky berdegup liar dan ikut terkekeh juga. Lelaki itu langsung membalikkan tubuhnya, dan memeluk Dinda erat-erat.

“ lo maafin gue ? ” Rizky berbisik di atas puncak kepala Dinda, jemarinya lalu mendongakkan kepala Dinda supaya menghadapnya, Dinda sedang tersenyum, menatapnya dengan malu-malu.

“awalnya aku memang terkejut waktu itu.” Dinda tersenyum ragu, “Tapi aku sadar, itu semua bukan kesalahan kamu ky, mungkin kamu bilang kaya gitu karena salah aku juga yang berpakaian terlalu minim.”

Rizky memejamkan matanya lega, “Syukurlah.” Dengan lembut di sentuhnya dagu Dinda dengan jemarinya.

“lo tahu? setiap hari, semakin gue deket sama lo, ngebuat gue makin cinta sama lo ?”

Dinda menggelengkan kepalanya, pipinya merona merah.

“Aku gak tau.. bagaimana mungkin seorang Rizky bisa jatuh cinta sama aku?”
Rizky memutar bola matanya,

“Seorang Rizky ?” gumamnya geli, “lo  seolah menganggap gue ini alien atau apa? din, awalnya gue benci banget sama lo, gue gak setuju dengan perjodohan yang kakek buat, tapi sekarang gue ngutuk diri gue sendiri tentang itu semua. gue sadar, gue mencintai lo! apa lo ngerasain yang sama? slama ini tiap gue tanya tentang itu, lo slalu diam” Pelukan Rizky makin erat, “Apa lo juga ngerasain hal yang sama?”

Apakah dia merasakan hal yang sama? Dinda terpaku. Ya. Dia selalu merona kalau membayangkan Rizky Bukankah itu artinya dia memiliki perasaan yang lebih kepada lelaki ini?

“Aku gak tahu... tetapi sepertinya aku suka sama kamu”

“ suka ?” Rizky mengernyit menggoda, “gue bilang bahwa gue mencintai dan tergila-gila sama lo, tapi lo bilang bahwa lo cuma suka sama gue?”

“Eh... aku gak tahu.” Dinda mengalihkan tatapannya, tidak tahan dengan pandangan tajam yang dilemparkan Rizky. Sikap itu membuat Rizky merasa gemas, dia lalu mengecup dahi Dinda, turun ke hidungnya, lalu ke bibirnya.

“Mungkin dengan cara ini lo bakal tau perasaan lo yang sebenarnya ke gue .” Rizky menundukkan kepalanya, lalu melumat bibir Dinda dengan penuh cinta. Dinda otomatis merangkulkan lengannya di leher Rizky, membalas ciumannya.

Mereka berciuman dengan penuh perasaan di kamar Dinda.

" gue rasa akhir-akhir ini kita sering ciuman. tapi itu cara gue buat ngehapus rasa sakit dibibir lo karna kemaren gue bikin bibir lo berdarah "

" gue bakal kembali ke kamar gue "

" dan lo tau? semakin sering gue cium lo, gue semakin yakin. kalo gue bener-bener cinta sama lo. Dindadari "

Pintu tertutup di depan Dinda, meninggalkan Dinda yang mematung dengan pipi yang memerah.

"Gaun baru untuk kamu sudah datang." Billy memasuki kamar Dinda sesaat setelah Rizky keluar dari kamar Dinda yang belum selesai membaca novelnya. Billy menenteng gaun hijau keemasan dan sengaja digantungkan di lemari Dinda "Cobalah."

Dinsa yang baru mendapati Billy memasuki kamarnya mengernyit bingung. Gaun baru? untuk apa? batinya.
Sementara Billy... Billy masih tetap sama, selain wajahnya yang pucat pasi yang ditunjukkan kepada Dinda saat kemarin, Billy terlihat hangat tapi sedikit kaku. masih mengenakan topeng yang sama, topeng datar dan tanpa emosi miliknya.

"Kamu gak tau? " Billy terkekeh, "Besok kan hari pernikahan mantan pacar kamu "

Irsyad ? besok hari pernikahan Irsyad?
Tiba-tiba dada Dinda terasa nyeri, dia memang sudah hampir bisa melupakan Irsyad, melupakan rasa sakitnya akibat ditinggalkan Irsyad dan melupakan perasaan cintanya yang dulu tumbuh begitu subur kepada Irsyad, tetapi entah kenapa, kesadaran bahwa Irsyad mengikat dirinya kepada perempuan lain, dan pengetahuan bahwa Irsyad tidak bahagia membuat dadanya terasa sesak.

Billy menatap Dinda dan mengernyit, " kamu udah ngelupain dia kan?" tanyanya menyelidik, "Atau jangan-jangan kamu masih cinta?"

Dinda menggelengkan kepalanya dengan tegas, "enggak.. aku udah enggak."

"Kalau kamu masih cinta berarti kamu perempuan bodoh."

"Aku udah gak cinta lagi sama Irsyad tapi kamu harusnya ngerti perasaan aku, bertahun-tahun lamanya aku hidup dengan kesadaran bahwa aku mencintai dia, harusnya kamu ngerti gimana rasanya ketika menyadari perasaan sesak ketika mantan pacar akan menikah."

"gak, aku gak ngerti." Jawab Billy tegas.

"kalau aku dikhianati sama pacar aku, maka dia sama aja udah mati. Begitupun perasaan aku sama dia, mati. Jadi aku gak akan ngerasain apapun." Lelaki itu melangkahkan kakinya berniat keluar dari kamar gadis itu "Selamat tidur."
Billy keluar dari kamar Dinda meninggalkan Dinda yang mematung. Irsyad akan menikah dan Dinda sama sekali tidak mengetahuinya.

*****

Rizky terserang flu keesokan harinya. Suara batuknya terdengar ke seluruh penjuru Villa saking kerasnya. Batuknya terdengar kering dan itu pasti menyakitkan. Dinda jadi ragu untuk  menghadiri pernikahan Irsyad dan rasanya lebih ingin untuk menjaga Rizky.

"Pergi, gue gapapa kok.. lagian gue pengen istirahat tanpa di ganggu siapapun." Billy terbatuk-batuk dan mengusirnya, dokter sudah memeriksanya dan memberikan obat. Dan sekarang Dinda sedang mencoba membantu Rizky meminum obatnya. Tetapi lelaki itu dengan kasar menolak bantuannya.

"Pergi, gue mau sendiri.."

"Aku harus nungguin kamu ky, aku gak mungkin ninggalin kamu sendirian dengan kondisi kaya gini."

"gue udah biasa kaya gini." Tatapan Rizky tampak sedih.

"Sakit sendirian dan hanya ditemenin pembantu sementara kedua orang tua gue pergi entah kemana."
Dinda menatap Rizky dan menyadari kepedihan di mata lelaki itu. Kasihan lelaki ini, dia hidup bergelimang harta, tetapi kehilangan kasih sayang orangtuanya yang slalu sibuk kerja bolak-balik ke luar kota bahkan luar negeri. Kini Dinda mengerti apa yang menyebabkan Rizky selalu bersikap sinis dan penuh kebencian.

"Sekarang beda, kamu kan punya aku ky " Dinda menyerahkan pil-pil obat dari dokter ke arah Rizky bersama dengan segelas air putih, "Ini minum obat kamu"

Rizky menatap Dinda, tampak tertegun dengan perkataan Dinda tadi, sejenak dia ingin bertanya apa maksud Dinda. tapi karena tubuhnya terlalu lemas, Rizky tidak ingin banyak berbicara. Rizky menghela napas dan menerima obat itu dan meminumnya, ditatapnya Dinda setelahnya.

" udah gue minum. Puas?"

"Puas. Sekarang tidur."

Lelaki itu menggerutu, tetapi tidak membantah. Mungkin tubuhnya sudah terlalu sakit. Dia masuk ke dalam selimutnya, terbatuk-batuk sebentar, dan tak lama kemudian, mungkin karena pengaruh obat langsung tertidur pulas.

Dinda menghela napas panjang. Semoga obat itu bisa meredakan sakit Rizky. Lelaki itu tampak begitu tersiksa ketika batuk, meskipun demikian tatapan sinis dan kejamnya tidak hilang, Dinda tersenyum, dasar Rizky..

tok..tok..tok..

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Dinda, tampak Billy membuka pintu memberi isyarat agar Dinda cepat-cepat keluar dari kamar Rizky. setelah itu Billy langsung berjalan meninggalkan Dinda.

Dinda beranjak dengan hati-hati, merapikan selimut Rizky lalu melangkah keluar kamar. Dia menengok ke  lantai bawah Villa .

Billy ada di sana. Lelaki itu mendongak dan menatapnya dengan tatapan mata yang bening. Dinda menuruni anak tangga, dan kini berhadapan dengan Billy. lelaki yang tak kalah misterius seperti Rizky. entahlah, Dinda tak pernah bisa menebak saudara se-ayah itu. dua-duanya membuat bingung. dibalik sikap Billy yang kalem sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan. entah apa, fikir Dinda. karena dia tak pernah bisa menebaknya. dua lelaki itu bagaikan teka teki baginya.

" sering banget keluar masuk kamar Rizky " tanya Billy membuat Dinda sedikit agak kikuk.

" hmm.. Rizky lagi sakit. jadi aku ngerawat dia "

" oh.. terus yang malem itu? "

" malem yang mana? " dahi Dinda mengernyit bingung dengan pertanyaan Billy.

" waktu malem pas pertama kali kamu dateng ke villa ini, villa ini kan mati lampu, terus hujan gede banget, kamu tidur di kamar Rizky kan? " wajah Dinda memerah ditanya seperti itu oleh Billy

.
" oh itu.. waktu itu aku gak tau kamar aku dimana. dan aku refleks masuk kamar Rizky. dan karena aku takut banget petir sama takut gelap, jadi aku tidur di kamar Rizky. itu terpaksa bil.. "

" oh.. terus yang lubang-lubang itu apa? "

"lubang apaan ? " Dinda semakin bingung, sedetik kemudian Dinda mengingat tentang dia dan Rizky yang kesusahan menusukan sedotan pada susu kardus yang diberikan Rizky.

" oh my god.. kamu nguping dibalik pintu? duh pasti kamu udah mikir yang enggak-enggak sama aku dan Rizky. kita gak ngapa-ngapain kok bil. itu kita lagi kesusahan buka susu " jawab Dinda seadanya.

" SUSU ? " mata billy membulat sempurna.

" maksud aku susu instan yang di tusuk pake sedotan itu. malem itu aku emang lagi kehausan banget. dan Rizky ngasih.. "

" yaudah mending sekarang kamu mandi dulu din " Billy memotong ucapan Dinda.

Dinda hanya mengangguk meng-iyakan apa yang Billy perintahkan.

Setelah selesai mandi, Dinda melangkah menuju lemari dan melihat gaun itu, gaun hijau keemasan yang dibelikan oleh Billy..... dia mengernyit lagi, gaun untuk datang ke pernikahan Irsyad.

Pernikahan Irsyad. Apa kabarnya lelaki itu? lelaki yang pernah dicintainya? Sejak di acara pertunangan Irsyad waktu itu, Irsyad tidak pernah menghubunginya lagi, mungkin karena akhirnya Irsyad menyadari bahwa antara dirinya dan Dinda sudah tidak ada harapan lagi.
Semoga pernikahan ini membuat Irsyad bahagia, akhirnya Dinda bisa mengucapkan doa itu dengan tulus, dan membuat hatinya terasa lega. Ternyata ketika hatinya bisa melepaskan dan memaafkan, bisa membuat perasaannya terasa ringan.
Dielusnya gaun sutera itu dengan kagum, menyadari keindahan setiap serat gaun itu, Ini pasti mahal. Dinda berkerut, dan ini dibelikan oleh Billy..

"Kenapa kamu belum pake gaun nya Adinda? kita berangkat satu jam lagi."

Billy tiba-tiba masuk tanpa permisi, membuat Dinda terkesiap kaget dan hampir menjatuhkan gaun itu dari tangannya. Lelaki itu berdiri di depan pintu, sudah mengenakan kemeja hijau senada dengan gaun Dinda, dan celana resmi, tetapi belum mengenakan jasnya.

" Adinda? " Dinda merasa aneh dengan panggilan Billy

.
" itu panggilan khusus dari aku buat kamu "

Dinda jadi ingat ketika Rizky memanggilnya dengan sebutan "Dindadari" kedua lelaki itu memang slalu berhasil membuat pipinya memerah. dan entah kenapa Dinda menyukai di panggil seperti itu oleh Billy. Dinda hanya tersenyum menatap Billy penuh dengan arti.

"Satu jam lagi?" Dinda melirik jam emas antik di atas meja di samping ranjang.

"Ya, satu jam lagi kita berangkat Adindaku" Suaranya merendah, " ayo cepet "

Dan lelaki itu lalu melangkah pergi meninggalkan Dinda berdiri di sana dengan wajah merah padam dan perasaan campur aduk.

****

Seperti yang diduga, ini adalah pesta pernikahan yang mewah. Jantung Dinda terasa berdegup kencang ketika melangkah memasuki gedung ini. Dekorasinya sangat indah, dan kemudian perasaan itu menyergapnya lagi, perasaan yang menyadarkannya bahwa dia sedang menghadiri pesta pernikahan Irsyad.

Irsyad. Lelaki itu berdiri di sana, dengan Nadya di sebelahnya. Keduanya tampak megah dalam balutan busana bernuansa emas. Lalu keluarga Irsyad, ibunya, sepupu-sepupunya, tantenya dan semuanya yang dulu sempat mengenal Dinda melihatnya, kemudian berbisik-bisik dan menatapnya dengan penuh spekulasi.

Jantung Dinda berdenyut lagi, lebih kencang. Mampukah dia naik ke sana dan menyalami Irsyad dengan tegar, dibawah tatapan mata tajam seluruh keluarga Irsyad?

Billy seolah-olah menyadari perasaan Dinda yang campur aduk, dia mengencangkan genggamannya di jemari Dinda, dan berbisik lembut.

"Kamu datang kesini sama aku, aku calon suami kamu. Dan aku adalah laki-laki yang seratus kali lebih baik dari mantan pacar kamh yang sedang bersanding di pelaminan itu. Jadi tegakkan dagu kamu din, Tunjukkan kebanggaan kamu. Kamu tidak rugi ditinggalkan oleh dia, dia yang rugi karena kehilangan kamu. Tunjukkan betapa berharganya kamu pada Irsyad dan keluarganya.Tunjukkan betapa berharganya diri kamu karena kamu adalah calon isteri aku"

Bisikan Billy itu, meskipun begitu penuh kesombongan dan arogansi, mampu menghilangkan kegugupannya. Billy benar, dia tidak seharusnya takut ataupun gugup atas pandangan menilai ibu dan keluarga Irsyad. Dia datang ke sini bersama Billy. yang juga calon suaminya. Dan Billy mendukung sepenuhnya Dinda untuk memamerkan kebanggaan dirinya, karena ternyata mampu berujung lebih baik dari Irsyad
Billy tersenyum melihat perubahan ekspresi Dinda.

"Bagus, Ayo calon isteriku, kita salami mantan kekasih kamu yang gak beruntung itu."

Lelaki itu menghela Dinda dengan lembut menaiki panggung tempat Irsyad dan Nadya berdiri. Billy yang melangkah duluan dan menyalami Irsyad dengan senyum mengejeknya yang menjengkelkan.

"Selamat." gumamnya dengan suara tegas, lalu menghela Dinda mendekat, "sini sayang, kita harus memberi selamat kepada pasangan ini."

suaranya berubah mesra.
Dinda mendekat, dan menyalami Irsyad. dia merasakan genggaman yang berbeda, dan Irsyad menatapnya dengan tatapan tersiksa. Tapi Dinda menguatkan diri. Ini jalan yang dipilih Irsyad dan Dinda sudah memilih jalan yang berbeda jauh.

"Selamat Irsyad. Selamat Nadya " suaranya terdengar tegas, dan kuat, dan tulus. Menyalami Irsyad yang terlihat sedih dan Nadya yang tersenyum kaku.

Kemudian mereka berhadapan dengan mama Irsyad Dan seketika ingatan itu berkelebat di benak Dinda, ingatan ketika Irsyad memperkenalkannya ke mamanya. Dinda yang lugu waktu itu mengulurkan tangannya. Dan mama Irsyad hanya menatap jemarinya dengan angkuh, lalu memalingkan mukanya dengan mencemooh, tak mau membalas salamannya dan membuat Dinda harus menarik tangannya mundur pelan-pelan dengan penuh rasa malu.

Kali ini, mama Irsyad menatap Billy dan Dinda dengan gugup.

"Dinda aku tidak menyangka bertemu lagi dengan kamudi sini." suara mama Irsyad bernada ramah yang dibuat-buat. Lalu tanpa di sangka perempuan itu mengulurkan tangan kepadanya, "Dan sekarang kamu adalah calon isteri tuan Billy, ."

Godaan untuk menolak uluran tangan itu dan membalaskan kesakitannya di masa lalu sangatlah besar, tetapi Dinda sadar, dia akan tampak kekanak-kanakan kalau melakukannya, lagipula situasi ini sudah merupakan pembalasan tidak langsung untuk Irsyad dan ibunya.  Disambutnya uluran tangan itu lembut.

"iyaa ." gumamnya pelan dalam senyum.

Billy menatap kepadanya, memahaminya dalam senyum pengertian. Lalu setelah basa-basi sejenak yang kaku, Billy berpamitan dan mengajak Dinda keluar dari gedung dan acara penikahan yang menyesakkan napas itu
Mereka berjalan bergandengan, melangkah menuju mobil Billy, lelaki itu masih menggandeng tangannya erat.

"Seneng?" tanyanya dalam senyum memahami.

Dinda terdiam sejenak, berusaha menelaah perasaannya, kemudian menemukan rasa ringan yang membuatnya tenang.

Ternyata yang diperlukannya hanyalah menghadapi masa lalunya dengan berani, lalu melepaskan semua beban itu. Perasaan sedih yang menggelayutinya selama ini itu sudah tiada, dan rasanya menyenangkan. Dia mendongak, menatap Billy dan tersenyum.

"Seneng." senyumnya bertambah lebar.

"Terimakasih Billy "
Lelaki itu terkekeh dan menganggukkan kepalanya.

"Sama-sama Adindaku, sama-sama."

*****

pukul 10 malam. setelah pulang dari pernikahan Irsyad, Dinda langsung masuk ke kamar Rizky. sejak tadi memang Dinda sangat mencemaskan lelaki itu hingga tak lagi memperhatikan Billy. Billy hanya menggelengkan kepalanya memasuki kamar. Billy memang menyadari bahwa sepertinya ada perasaan lebih yang Dinda simpan untuk adik tirinya itu

.
setelah Dinda masuk ke kamar Rizky, kondisi Rizky masih terlihat sama. pucat dan lemas. Dinda menempelkan punggung tanganya di dahi Rizky saat Rizky tertidur, dan panas. badan Rizky sangat panas. lalu Dinda keluar mengambil kompresan untuk Rizky. Dinda mengenakan sapu tanganya untuk mengompres Rizky lalu sapu tangan itu di tempelkan pada dahi lelaki itu. Dinda sangat khawatir, Dinda berniat akan menjaga Rizky semalaman. dia tak bisa meninggalkan lelaki itu sendirian di saat-saat seperti ini.

Rizky tidak mengetahui bahwa Dinda seharian ini pergi bersama Billy. karena seharian ini Rizky sama sekali tak keluar kamar. jangankan untuk keluar kamar, untung melangkahkan kakinya pun tak kuat. badan lelaki itu terlalu lemas.

berjam-jam Dinda menunggui Billy, sampai akhirnya Dinda menguap. Dinda tak bisa menghindari rasa kantuknya. akhirnya Dinda memutuskan untuk tidur berdampingan dengan Rizky. tapi Dinda mengambil jarak yang sangat jauh dari Rizky.

tak lama kemudian Dinda menyadari gerakan di sampingnya meskipun dia masih setengah terlelap, sepertinya masih dini hari karena kamar itu masih temaram dan terasa begitu dingin, tetapi kemudian lengan hangat dan kuat itu merengkuhnya, memelukknya erat-erat.

Lengan itu terasa asing sekaligus akrab, dan membuat Dinda nyaman, dalam tidurnya dia mendesak dan menempel pada tubuh hangat itu, menikmati eratnya dekapan yang merengkuhnya, membuainya kembali ke alam mimpi

"Dinda."

Itu suara Rizky, tetapi entah kenapa terdengar lebih serak. Apakah Dinda sedang bermimpi?

Dengan meyakini bahwa dia sedang ada di dalam mimpi, Dinda bergelung makin merapat ke tubuh hangat itu. Mendesakkan tubuh lembutnya ke tubuh keras itu.

"Dinda, jangan sayang." suara Rizky kali ini terdengar tersiksa, tubuhnya terasa kaku dan tegang di tubuh Dinda yang menempel kepadanya.

Suara Rizky yang terakhir itu membuat sepercik kesadaran Dinda kembali, dia membuka matanya, .... ada apa?

Lalu Dinda memekik ketika menyadari posisi tubuhnya, dalam usahanya mencari kehangatan, dia sudah menempel lengket seperti koala yang melingkari pohonnya kepada Rizky. Pahanya melingkari tungkai dan pinggul Rizky tanpa malu-malu, lengannya memeluk dada dan pungguh Rizky. sementara kepalanya bersandar tanpa permisi di dada lelaki itu.

Dalam detik yang sama Dinda langsung melepaskan pelukannya dan setengah melompat, menjauh menuju seberang ranjang yang paling ujung.

Rizky menghela napas panjang, seolah dilepaskan dari ketegangan yang menyiksanya. lalu menatap Dinda dengan marah.

"Kalau lo gak mau gue terangsang dan berbuat yang tidak senonoh, jangan nempel-nempel sama gue di atas ranjang!" , geramnya parau, lalu menarik selimut sampai dada dan membalikkan badan memunggungi Dinda yang berbaring dengan muka panas dan merah padam.

" atau setidaknya kasih tau gue dulu. gue bisa siap-siap. untung gue lagi sakit. kalo enggak, bukan cuma bibir lo yang gue bikin berdarah " suara Rizky terdengar parau di balik selimut.

Dinda mengernyitkan keningnya bingung " maksud kamu apa? "

" udah. mending lo balik ke kamar lo. gue gak perlu lo tungguin. "

****

Ali duduk termangu di kamar barunya. ya, sekarang Ali sudah tinggal di rumah Mr.Antonio. dan sekarang Ali sudah tidak bekerja lagi sebagai Barista karena Mr.Antonio melarangnya. Ali bahkan sudah dianggap cucu oleh Mr.Antonio dan mendapat perlakuan sama seperti cucu-cucu Mr.Antonio di rumah itu. tetapi akhir-akhir ini Ali nampak murung, Ali meraih handphone nya dan melihat potret seseorang yang jadi walpaper handphone nya itu.

" kak Dinda, gue kangen.. "
Ali menatap sendu foto Dinda, memang sejak kecil mereka slalu bersama-sama, tak pernah terpisah, wajar saja jika Ali merindukan Dinda, sosok seorang kakak yang multifungsi baginya.

" kamu kangen kak Dinda ya li? " tanya seseorang yang tiba-tiba masuk ke kamar Ali seenaknya. Ali menoleh dan tersenyum menatap Ghina disana.

semenjak Ali tinggal dirumah Mr.Antinio, memang Ali semakin dekat dengan Ghina. Ali sering menceritakan semua tentang Dinda pada Ghina. tak heran jika Ghina tahu bahwa Ali sekarang sedang merindukan kakak yang sangat disayanginya ituu.

" iya. kangen banget. dari kecil aku gak pernah sehari pun pisah sama dia " jawab Ali seraya masih melihat foto Dinda.

" aku bisa ngerti. karena aku juga ngerasain hal yang sama. aku kangen banget sama kak Rizky. aku pengen banget dateng ke Villa nengokin kak iky, tapi kakek ngelarang. katanya jangan ganggu mereka bertiga. hmmm kamu percaya aja li, kak Dinda pasti baik-baik aja. dia kan dijaga sama kak Rizky terus sama kak Billy.. "

" iya Ghin iya. btw bete banget nih. kamu mau aku ajak ke kedai ice cream yang deket kampus kita itu? kesana yuk! " Ali bangkit dari ranjangnya, segera meraih kupluk abu-abu kesayanganya dan langsung dia pakai.

" kamu cepetan ganti baju, kita kesana sekarang "

****

"Ghina." Suara Prilly terdengar ketika Ghina sedang berganti pakaian dan langsung mengangkat ponselnya begitu melihat nama Prilly tertera di sana.

"Ada apa pril?"

"gue pengen ngajak lo ke Cafe cokelat yang kemaren gue ceritain." Prilly kemarin telah menceritakan tentang Cafe baru yang menjual berbagai jenis cokelat dalam berbagai hidangan, ada kue, cupcakes, minuman, dan berbagai bentuk cokelat yang cantik,

"gue bosen di rumah sendirian. Kita jalan yuk, kalau lo mau gue nanti jemput lo "

Ghina termenung bingung, "gue sih pengen banget pril.. tapi gue gak bisa."

"Kenapa?" terdengar suara bingung Prilly di seberang sana.

"gue...eh.. Ali ngajakin gue keluar."

"Ali ngajak lo keluar?"
sebelumnya Prilly memang mengetahui bahwa sekarang Ali tinggal bersama Ghina dan menjadi salah satu bagian keluarga Mr.Antonio. awalnya Prilly kaget tapi Ghina menjelaskanya secara rinci pada sahabatnya itu.

"Iya... dia ngajakin gue ke kedai ice cream hari ini."

"Dia ngajakin lo ke kedai ice cream hari ini?" Prilly tampak membeo perkataannya, membuat Ghina tertawa.

"Hei lo kok niruin kata-kata gue sih pril.." Ghina masih tertawa.

" hahaha sorry "

" lo mau ikut? gue bisa bilang sama Ali kita bisa ketemu di sana."

"Enggak " Prilly menjawab pelan. " lagian gue gak begitu suka ice cream."

"Oh..."

"Mungkin lain kali aja yah kita jalan ke cafe cokelat itu.... semoga lo bisa seneng-seneng sama Ali hari ini."

Ghina menghela napas merasa tidak enak, "Maafin gue ya pril ... atau lo pengen gue batalin acara gue sama ali? gue bisa bilang sama Ali kalau gue ada janji sama lo"

". jangan." Prilly mencegah di seberang sana, "Lagian tiba-tiba gue ngerasa gak enak badan....pergi aja Ghina... kita bisa ke cafe cokelat besok pagi."

"Oke.... Pril, lo istirahat ya?"

"Iya Ghin. Selamat bersenang-senang." Prilly tertawa, kemudian menutup telepon.

Ke Kedai Ice Cream!!

Nafas Prilly terengah-engah, dadanya terasa panas terbakar.

Berani-beraninya Ghina pergi bersama Ali ke taman hiburan dan menolak ajakannya pergi ke cafe bersamanya. Berani-beraninya mereka!

Prilly melotot memandang sekeliling kamarnya yang hancur lebur. Kaca-kaca dipecahkan. Buku-buku dilempar, semua peralatan lain berhamburan di lantai, berserakan dan sebagian pecah. Spreinya lepas dari kasurnya, setengah sobek karena ditarik paksa. Kamar itu benar-benar berantakan, seperti terjadi pergumulan dan perang di dalamnya.

Begitulah Prilly kalau sedang marah, tidak ada yang berani mengganggunya kalau sedang marah. Semua orang di rumah langsung menjauh dari kamarnya, tidak berani mendekat.

Semua barang sudah dihancurkan dan dilemparkannya. Tetapi dada Prilly masih mendidih oleh perasaan marah dan murka. Dia sangat marah hingga kepalanya seperti mau pecah.

Dengan keras Prilly lalu menjerit, dan berteriak-teriak sekeras-kerasnya.

Teriakannya memenuhi lorong rumah, membuat merinding seluruh penghuni rumah yang mendengarnya.

*****

Dinda tampak sedang menyiram bunga yang berada dihalaman Villa. senyumnya mengembang ketika mencium harum satu persatu bunga yang sama cantiknya dengan dia. Dinda memang sangat menyukai bunga, apalagi bunga matahari. tak lama kemudian seorang laki-laki berwajah oriental datang menghampiri Dinda.

" hey... " sapa lelaki itu. lalu Dinda menoleh mengernyitkan keningnya, tak mengenal siapa lelaki asing yang ada di hadapanya kini.

Dinda melihat lelaki itu dari atas hingga bawah, lelaki itu tampan, hidungnya mancung, kulitnya putih, rambutnya sesikit pirang seperti bule. lelaki itu juga mempunyai lesung pipi, lelaki itu memakai kaos polos dengan jaket base ball berwarna merah. penampilanya tak jauh beda dengan Rizky.

" kamu siapa? " tanya Dinda.

" kenalin. gue Maxime Bouttier. panggil aja gue max " lelaki yang ternyata bernama Maxime itu mengulurkan tanganya pada Dinda. Dinda menyambut uluran tangan itu dengan ragu. " jangan takut. gue gak jahat kok. lo pasti Dinda kan? " Dinda terkejut ketika Maxime mengetahui namanya.

" kok tau ? " tanya Dinda penasaran.

" hahaha Rizky banyak cerita tentang lo. gue sahabatnya Rizky waktu kita kuliah di Jullian Amerika. sekarang juga masih sahabatnya sih " Maxime terdengar sedikit kikuk. gaya bicaranya seperti orang luar negeri (bule) yang baru belajar bahasa indonesia.

Rizky banyak cerita tentang Dinda kepada sahabatnya?....
tiba-tiba pipi Dinda merona merah.

" hmm Din. Rizky nya ada kan? "

" ada.. tapi dia lagi sakit "

Maxime mengerutkan keningnya, "Rizky sakit? Sakit apa?"

"kayaknya dia flu sama batuk.... dia lagi tidur di atas."

"udah di periksa dokter ?"

"udah, dan aku juga udah ngasih dia obat."

Lelaki itu menganggukkan kepalanya, "gak usah khawatir Din, gue bakal nginep di sini, buat nemenin kalian."

Dinda menghembuskan nafasnya lega. Setidaknya kalau ada lelaki dewasa lain di Villa ini, dia bisa tenang kalau nanti Rizky kenapa-napa. Maxime adalah sahabat Rizky dia pasti akan menjaganya. mengingat Dinda tahu bahwa Rizky dan Billy hubunganya tidak baik. jika terjadi apa-apa, Rizky pasti akan sungkan menerima bantuan Billy.

Dinda mengantarkan Maxime ke kamar Rizky. setelah itu Dinda akan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan untuk Rizky.

"gak nyangka seorang Rizky Antonio bisa sakit juga." Maxime tersenyum sambil melipat lengannya, dia menatap Rizky dan tersenyum lucu, "gue pikir lo bukan manusia. Ternyata lo manusia biasa."

"lo dateng kesini cuma buat ngejek gue ?" Rizky menatap tajam, terbatuk-batuk sebentar.

Maxime terkekeh dan mengangsurkan segelas air kepada Rizky untuk meredakan batuknya, " sebagai sahabat lo yang baik hati nan tampan ini. gue ada disini buat ngejagain lo. tadi Dinda kayaknya khawatir banget liat lo sakit."

"cishhh najis urat pede lo gak putus-putus.eh Dinda ngekhawatirin gue?" Rizky bergumam, membayangkan Dinda. Tatapan lembut Rizky itu tidak lepas dari pengamatan Maxime yang tajam.

"Yah siapapun juga bakal khawatir kalau mendengar suara batuk lo yang keras dan kering itu."

"gue flu gini pas abis hujan-hujanan sama Dinda kemaren " Rizky mengerang, "Sial, mungkin gue lelah dan daya tahan gue turun jadi gampang kena flu.."

"lah lo juga yang salah. ngapain ujan-ujanan kayak bocah. tapi yang penting lo minum obat lo. Sakit lo itu bakal sembuh kalau lo banyak istirahat."

"Aku memasak sup." Dinda mengintip di pintu, sambil membawa nampan.

Rizky melirik Dinda dan mendengus. "gue gak mau, sup-lo, rasanya pasti gak enak."

Dinda berdiri mematung sambil membawa nampan dengan bingung. Lelaki ini memang sangat ketus, tetapi ketika dia sakit, sikap ketusnya berubah menjadi menjengkelkan, Dinda menghela napas panjang, dia harus sabar menghadapi Rizky, lelaki ini sedang sakit

.
Dinda memasak sup jagung, sosis dan ayam. Kuah kaldunya menguarkan aroma harus ke seluruh penjuru ruangan, membuat Rizky merasakan perutnya keroncongan, tetapi dia memalingkan mukanya, berpura-pura bersikap dingin.

Maxime yang melihat pemandangan itu tersenyum geli, dia berdiri dari kursinya dan menghampiri Dinda, mengambil nampan itu darinya.

"gak apa-apa Din, aroma sup lo wangi banget. gue jadi laper."

Dinsa menatap Maxime dengan menyesal, "Eh.. tapi aku cuma buat satu mangkuk." Dia membuat sup itu khusus untuk Rizky. Dia tidak berpikiran kalau Maxime juga ingin karena di ruang makan, Dinda telah menyiapkan makanan lain untuk Maxime.

Maxime terkekeh melihat penyesalan di mata Dinda, dia meletakkan nampan itu di meja, "gak apa-apa. Toh Rizky gak mau. jadi gue pasti boleh nyicip dikit kan? iya kan Rizky?" Maxime melirik ke arah Rizky yang tetap diam.
Dengan gaya ala pencicip makanan, Maxime menghirup aroma sup itu, "Hmm wangi banget, rasanya pasti seenak wanginya.." diarihnya sendok hendak mencicipi.

"Jangan! " Rizky berseru tiba-tiba, membuat gerakan Maxime terhenti.

"kenapa ky?" Maxime terlihat geli, Dinda bisa melihat itu di matanya.

"gue harus minum obat, jadi gue pikir, gue bakal makan sup itu."

Kali ini Maxime benar-benar tampak menahan tawa. "lo mau disuapin siapa? gue atau Dinda?"

Rizky memandang Maxime dan Dinda berganti-ganti dengan muram, lalu ,mendengus, "gak usah, gue bisa makan sendiri."

"Kalau begitu aku keluar dulu" Dinda tersenyum dan mundur ke pintu.

"Terimakasih Dinda." Gumam Maxime pelan. Ketika Dinda melirik Maxime, lelaki itu mengedipkan matanya dan tersenyum. Membuat Dinda membalas senyumannya dengan senyuman lebar.

*****

Kepala Billy terasa berdentam-dentam, dan dia merasakan kesakitan itu.

Kesakitan yang membuat cairan panas mengalir dari hidungnya, dan keluar hingga membasahi bibirnya.

Billy meraih sapu tangannya yang berwarna putih dan mengusap cairan yang keluar dari hidungnya, matanya mengernyit ketika melihat darah merah pekat di sapu tangannya. Rasa sakit itu langsung menyerangnya, langsung ke seluruh tubuhnya hingga dia harus berpegangan erat-erat untuk mengendalikan dirinya.

Gawat... dia harus segera mengunjungi dokternya. Billy tidak boleh tumbang sekarang, tidak sebelum dia berhasil membalaskan dendamnya dan menginjak Rizky dan seluruh keluarganya di kakinya...

Eye To LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang