Merantau

157 10 6
                                    

Aku mulai melangkahkan kaki menapaki dunia di luar sana. Mulai meninggalkan rumah agar aku bisa mandiri. Tentunya dengan alasan menempuh pendidikan yang lebih tinggi, bermodal beasiswa yang diberikan pemerintah dan juga doa bunda dan ayah yang selalu menyertai. Dengan niat yang selalu bergema di dada, "Aku menuntut ilmu di kota orang agar kelak menjadi orang yang bermanfaat." aku mulai menapaki kehidupan menjadi seorang mahasiswa, tingkat tertinggi seorang siswa, pikirku.

"Bunda, Ayah, Ara pergi dulu ya." Aku mulai berpamitan pada kedua orangtuaku. Hati ini berat sebenarnya, tapi aku memang harus mampu keluar dari zona nyaman ini.

"Hati-hati di jalan ya Ra, itu sudah ayah siapkan alamat kostnya, ayah menuliskan di kertas dan sudah mengirimnya lewat whatsapp, jangan tertidur di dalam angkutan umum." Ayah terlihat sangat khawatir akan anak bungsunya ini. Perhatiannya tak kalah dari seorang ibu.

"Kalau sudah sampai hubungi Bunda ya, Nak. Kalau ada apa-apa di jalan hubungi Bunda juga." pesan Bunda padaku, padahal kan meskipun aku menghubunginya, tak mungkin juga ayah dan bunda menyusulku di diperjalanan.

"Iya, Bunda. Ara kan sudah dewasa, sudah bisa menjaga diri. Insya Allah sampai di tempat dengan aman."

Bus yang sedari tadi menunggu kursi penumpang penuh sudah hendak tancap gas. "Bunda, Ayah, Ara berangkat ya." aku berpamitan untuk yang kesekian kalinya pada mereka."

"Iya, nikmati perjalanannya, Nak."

"Jangan ketiduran di bus."

"Siap, Ayah, Bunda." senyuman kuukir di bibirku, begitu pula dengan ayah dan bunda. Doakan anakmu ini Yah, Bun. Putrimu yang sudah bukan putri mungil lagi ini akan memulai perjalanannya.

Bruuuummmm... Bus yang kutumpangi mulai melaju. Ini pengalaman pertamaku naik bus seorang diri untuk menempuh perjalanan jauh. Ya, kan, sekarang sudah mahasiswa, harus berani dong. Aku duduk di deretan kursi sebelah kiri nomor 3 dari depan, aku duduk di sebelah jendela, sambil menikmati pemandangan di luar sana (padahal mencegah aku mabuk perjalanan, hehe).

Di luar sana masih nampak hamparan padi yang sudah menguning. Tampak seperti pohon emas saat terpapar sinar matahari, membentang sejauh mata memandang. Terlihat gunung yang menjulang seperti hendak menggapai langit, warnanya terlihat biru, namun biru yang berbeda dengan langit. Cuaca hari ini nampak cukup cerah, tak perlu dikhawatirkan.

Tiba-tiba ada anak laki-laki seumuran denganku yang tiba-tiba duduk di kursi sebelah yang masih kosong. Ia memakai jaket biru tua, memakai kaca mata, rambutnya hitam lurus.

"Mbak, permisi, saya duduk di sini ya." Ia menegurku, meski menurutku tak perlu izin untuk hanya sekedar duduk di kursi bus yang kosong. Mungkin agar lebih terlihat sopan saja.

"Iya, mas, silakan." Aku pun berbalik dan mempersilakan ia duduk.

"Mbak mau ke kota juga? Kuliah?" ia mencoba mengajakku berbicara.

"Eh, iya mas, kuliah di sana."

"Wah sama, mbak. Saya juga." Aku hanya senyum sekenanya. Membalas sifat ramahnya.

Tak terasa pemandangan alam yang indah sudah mulai berganti dengan pemandangan gedung tinggi yang mulai nampak, jalanan juga mulai terasa berbeda dari yang pernah kurasakan.

===== to be continue =====

Waaahh ini cerita pertama yg pernah aku publikasikan. Meski masih baru, kuharap kalian menikmati kisah yg kutulis ini. Aku senang jika kalian merasa terhibur dengan cerita ini. Tetap tunggu kelanjutannya ya..
See you next chapter... 😄😄

Terima kasih... 😊

A Rani's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang