"Eh, ini gimana nih solusinya?"
"Oh, kalau itu caranya gini, Lih," aku mulai mencorat-coret buku Galih, menjelaskan cara menyelesaikan soal yang ia tanyakan. Galih memutar posisi kursi yang ada di depanku agar ia bisa menyimak penjelasanku dengan jelas. Alisnya yang tidak terlalu lebat itu terkadang terlihat terangkat saat bingung dengan penjelasan yang kusmpaikan. Di saat itulah aku harus memutar otak untuk mencari kalimat yang sederhana untuk menjelaskan agar diikuti anggukan pelan Galih.
Memang sudah seminggu ini, aku dan semua mahasiswa disibukkan dengan jadwal UAS1. Memang bukan hanya perolehan nilai UAS yang digunakan sebagai penentuan besarnya nilai suatu mata kuliah, tapi biasanya nilai UAS mempunyai presentase yang lumayan besar. Jadi, mau tidak mau, ya, harus mendapatkan nilai yang bagus di UAS ini.
Bel masuk pun berbunyi. Tanda ujian akan segera dimulai. Seluruh mahasiswa memasuki kelas masing-masing yang sudah ditentukan operator fakultas sebagai tempat ujian.
'Bismillah, semoga dilancarkan ujian yang terakhir ini,'batinku.
Aku pun mulai mengerjakan soal demi soal yang ada. Menurutku tingkatan soal yang diujikan ada yang sulit, sedang, hingga mudah. Kukerjakan soal yang menurutku mudah terlebih dahulu. Soal yang memiliki tingkat kesulitan tinggi kusisakan untuk dikerjakan di akhir nanti.
*****
"Alhamdulillah, sudah selesai. Cek lagi sebelum dikumpulkan," aku melirik jam tangan warna peach di tangan kiriku. Masih jam sembilan kurang sepuluh menit. Masih bisa mengecek ulang kira-kira empat puluh menit lagi. Aku mulai membolak-balik lembar ujian di depanku, melihat siapa tau ada soal yang belum kukerjakan.
"Ara ... Psst, Ra ...." Seseorang mencolek punggungku. Dengan pikiran yang masih bingung, aku menoleh ke belakang. Orang yang tadi mencolekku ternyata Galih. Sekarang ia sedang memainkan mata, mengarahkannya ke depan.
"Apa?" aku masih belum paham apa maksudnya. Tiba-tiba Galih terdiam.
"Ehem."
Aku menoleh ke arah sumber suara, ada Pak Ahmad yang sudah berdiri di samping mejaku. Mata tajamnya jelas terlihat meski bersembunyi di balik kacamata berframe hitam itu.
'Duh, mati aku,' batinku. Aku seperti kehilangan kontrol atas kelima inderaku. Setelah menatap Pak Ahmad, rasanya seperti menatap Medusa2 saja, sekujur tubuhku seperti berubah menjadi batu.
"Enak, ya, tidur. Sudah yakin dapat bagus?" Kata Pak Ahmad seraya membenarkan posisi kacamata dengan jari telunjuk tangan kanan beliau. Suara yang berat menambah kesan menakutkan. Belum sempat aku menjawab pertanyaan beliau, aku sudah ditinggalkan sendiri di mejaku.
'Aku kan sudah menyelesaikan semua soal. Jadi aman. Tidak ada yang perlu dikhawatir....' Aku membalikkan lembar soal, ternyata masih ada soal yang belum kukerjakan. Sepertinya aku tadi sempat ketiduran sebentar dan bermimpi sudah menyelesaikan semuanya.
'Jadi cuma mimpi? Astaga. Ara, apa yang sedang kaulakukan?!' aku menggerutu pada diriku sendiri. Di saat yang penting seperti ini kenapa bisa aku ketiduran.
'Baiklah, Ara, tenang. Atur napasmu, rileks' aku mulai menenangkan diri dan membaca soal yang belum sempat terjawab. Masih ada waktu tiga puluh menit lagi.
*****
"Arani Devina, tertidur di saat UAS. Pffft ..." Galih mulai menertawakanku. Sampai roti yang dimakannya nyaris menyembur dari mulutnya. Reflek aku menjitaknya.
"Aduh, sakit Ra," Galih meringis kesakitan sambil memegang kepalanya tepat di daerah yang kujitak. Aku tak menanggapinya, siapa dulu yang mulai, menyebalkan. Kuraih es coklat yang ada di depannya lalu kuseruput sedikit.
"Yah, yah, kok diminum sih? Kamu kan punya es jeruk, Ra," Galih mulai menggerutu. Masih kuabaikan. Aku masih asyik dengan mie ayam di depanku.
"Kok bisa lu tidur pas ngerjain ujian, Ra. Parah ni anak," Fauzi terheran-heran setelah mendengar cerita Galih. Aku hanya mengangkat sedikit bahuku. Tak mau menjelaskan lebih detail.
"Ara mah pinter, Zi. Palingan juga sudah selesai ngerjain, terus tidur. Iya, kan?" Santi menyenggol bahuku. Namun, aku tetap diam.
"Lah, malah diem aja dianya. Uhuk-uhuk," Galih tersedak rotinya. Lalu aku menyodorkan es jeruk yang kupesan kepadanya. Es jeruknya masih belum kusentuh sama sekali.
"Kalau makan yang bener, kesedak kan jadinya."
Akhirnya aku memilih menceritakan kenapa aku sampai ketiduran di kelas tadi. Semalam, aku belajar sampai larut untuk mempersiapkan bahan untuk ujian. Sebenarnya sih sebelum tengah malam sudah selesai. Tapi ada anime yang menarik perhatianku. Awalnya hanya berniat melihat satu episode saja. Namun yang terjadi malah ketagihan dan tidak terasa sudah hampir jam tiga dini hari.
"Karena tanggung sama subuh, akhirnya aku tidur setelah solat subuh. Aku hanya tidur dua jam, terus, ya itu yang terjadi. Tamat."
"Salah siapa, udah tau ujiannya pagi, malah begadang nonton anime," ucap Galih dengan nada mengejek. Aku memutar bola mataku dan enggan peduli dengan apa yang diobrolkan pemilik alis tipis itu.
*****
Dengan berakhirnya pelaksanaan ujian, itu berarti tanda libur telah tiba. Selama satu semester yang tidak sampai enam bulan sibuk dengan kegiatan kampus, sekarang saatnya menikmati satu setengah bulan liburan. Untukku yang sudah rindu rumah, lebih memilih pulang kampung lebih awal. Sedangkan Galih, Santi, dan Fauzi nampaknya mereka jalan-jalan di tempat wisata yang ada di sekitar kampus. Mereka memang mengajakku, namun kutolak secara halus. Mendingan aku liburan di rumah saja. Bertemu dengan bunda, ayah, kalau beruntung bisa ketemu kakak.
'Ah, nggak sabar nih sampai rumah nanti,' batinku.
Bus yang kutumpangi sangat penuh sesak. Hampir semua kursi yang ada sudah mempunyai pemiliknya. Jika aku tak menemukan kursi, habis sudah, bakal berdiri sampai terminal selanjutnya. Setelah dengan susah payah aku mencari kursi kosong, ternyata ada satu kursi kosong di deretan sebelah kiri barisan nomor empat. Dengan tergesa aku meraih kursi kosong itu. Tak sengaja tas kecil berisi minuman dan makanan ringan yang kupegang lepas dari genggamanku dan menimpa seseorang yang duduk di sebelah kursi kosong itu.
'Waduh, lepas. Dimarahin ini,' aku sudah berpikiran macam-macam. Iya kalau hanya dimarahi, kalau tidak boleh duduk di sampingnya? Bisa kram kakiku.
"Maaf, Mas. Tadi tas saya tidak sengaja terlempar." Aku membungkukkan badan padanya, merasa menyesal atas apa yang telah kuperbuat.
"Iya, Mbak. Ndak papa. Lain kali hati-hati ya." Nampaknya ia juga mahasiswa yang pulang kampung, terlihat dari penampilannya. Kemeja kasual dan celana hitam rapi. Terselip di telinganya sebuah headset warna putih. Saat ia memberikan tasku, ia tak menoleh sedikit pun. Cowok yang rambutnya terlihat menari tertiup angin itu sedang asyik memandang ke luar jendela bus.
Aku segera meraih tas warna biru berenda yang masih ada di tangan orang itu. Namun, aku terkejut karena dia ternyata orang yang tidak asing bagiku.
"Loh, kebetulan sekali." Wajah yang sedari tadi asyik memandang keadaan di luar, kini telah beralih memandangku. Wajah yang selalu bisa menyejukkan hatiku.
*******to be continue*******
1) UAS : Ujian akhir Semester
2) Medusa : Makhluk mitologi Yunani yang berwujud seorang wanita dengan rambut berupa ular. Konon, jika seseorang menatap mata Medusa, maka ia akan menjadi sebuah batu.
Akhirnya up juga Bab 11 A Rani's Story... yeeeaaay..
Siapa orang yang tertimpa tas Ara? Penasaran? Tunggu kelanjutannya ya...
Selamat membaca :)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Rani's Story
RomanceArani, seorang gadis perantauan yang menjalani hidup jauh dari orang tua dan menjadi mahasiswa yang berniat menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, yang tentunya di jalan yang dilewatinya tak akan semulus harapan. Ada jatuh bangun yang harus...