"Ara, sini bantu Bunda sebentar, Nak," Bunda memanggilku untuk membantunya di dapur. Aku yang sedang sibuk dengan ponselku segera beranjak menuju Bunda.
"Iya, Bunda"
Setibaku di dapur, aroma santan yang gurih mulai merasuk ke dalam indera penciumanku. Nampaknya Bunda memasak sesuatu yang dimasak dengan santan.
"Bunda masak apa? Baunya harum." Aku memeluk manja Bunda dari belakang sambil mencari tau bau sedap ini berasal dari masakan apa.
"Ini bubur sum-sum, Ra."
"Wah enaknya ... Ara sudah lama tidak makan bubur sum-sum."
Di pagi hari seperti ini, yang ada di rumah seharusnya aku, Bunda, sama Kakak laki-lakiku. Kak Rama –kakakku- sedang keluar ke rumah temannya, ya, mumpung liburan kuliah seperti ini memang asyik banget buat jalan-jalan. Tapi, aku lebih memilih di rumah dulu melepas rasa rindu pada rumah dan seisinya. Jarak kampus yang jauh membuatku harus pulang hanya di liburan semester. Jika rindu menyeruak sebelum waktu libur, ya, terpaksa harus memanfaatkan alat komunikasi yang sudah canggih ini. Sedangkan ayahku yang bekerja sebagai buruh di pabrik sudah beranjak dari rumah sejak pagi tadi dan akan pulang saat senja menjelang, tapi kalau kebagian shift malam, beda lagi ceritanya.
Sebenarnya bubur sumsum yang dibuat Bunda sudah hampir matang, jadi akhirnya aku hanya menemaninya mengobrol. Aku banyak bercerita tentang suasana kampus, teman-teman yang baik, sulitnya mengatur waktu, dan semua yang pernah aku alami saat pertama kali kuliah, kecuali kejadian yang sampai membuatku menginap di rumah sakit. Kalau Bunda tau, bisa khawatir tingkat dewa.
*****
Aku sedang ingin melepas rindu dengan tempat kelahiranku ini, sehingga aku tadi izin ke Bunda untuk ke sini. Tempat yang paling strategis buat mendinginkan diri. Di gardu bambu tanpa dinding pembatas yang membuat angin dengan bebas menerpa raga ini. Di bawah rindangnya pohon kersen yang buahnya suka kuambil waktu kecil dulu. Tak banyak berubah, hanya saja sekarang gardu ini di cat hijau gelap.
Kubaringkan tubuh ini, menatap atap yang sudah dihiasi beberapa sarang laba-laba, dengan lampu kecil terpasang di sana. Seperti biasa aku mulai bersiul, hal ajaib yang akan terjadi saat bersiul adalah angin mulai mendatangi kita dengan hawa sejuk. Seakan ikut menari dengan irama siulan yang kubuat. Sangat nyaman, membuat suasana hatimu jadi tenang dan tentram.
*****
Sayup-sayup aku mendengar suara siulan seseorang. Berarti aku tak sendiri di sini? Ataukah aku tertidur dan bermimpi? Kubuka perlahan kedua mataku, silau cahaya matahari membuatku menyipitkannya kembali dan mengambil posisi duduk menyandar pada salah satu sisi gardu bambu ini. Aku melirik jam dinding yang tergantung di atas kode darurat, ternyata sudah jam dua siang. 'Harus segera pulang nih,' batinku. Aku segera mengemas wadah bubur sumsum yang tadi sempat kubawa.
"Loh? Kayaknya tadi masih banyak buburnya, kok ini habis? Apa dimakan kucing? Nggak mungkin, mana mungkin kucing mau sama ini." Aku menengok kanan dan kiri tidak ada siapa-siapa. Tiba-tiba daun kersen berguguran, sepertinya ada orang di atas sana. Aku pun mendongak ke atas untuk memeriksanya. Lalu, seseorang melompat dari pohon yang tidak begitu tinggi itu. Rambutnya penuh daun kersen dan sepertinya dia sedang berburu buah kersen. Rambutnya sedikit acak-acakan dan sepertinya aku tau dia, tapi siapa? Aku hanya diam memperhatikannya.
"Hai, Ra. Aku datang menepati janji?"
"Ha?" Aku terbengong memikirkan siapa dia.
"Hah, kamu nggak mengenali aku yang tanpa 'identitas' ya?" Ia lalu merogoh sakunya dan memakai benda yang memang seharusnya bertengger di mata yang membantunya memperjelas penglihatannya.
"Gimana? Sudah ingat? Padahal aku lebih ganteng tanpa memakai ini," lelaki itu menunjuk kacamata berframe hitam itu.
"Loh. Kak Danar?"
"Hahaha, ingatnya lama sekali kamu. Eh, makasih ya, bubur sumsumnya enak."
"Oh, jadi yang habisin buburku kakak? Pantes aja."
"Apa?"
"Tak tersisa sedikitpun."
Aku dan Kak Danar banyak berbincang saat itu. Lalu karena sudah mulai sore, aku mengajaknya ke rumah saja. Sekalian mau aku kenalkan ke bunda.
*****
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam, sudah pulang, Ra."
"Bunda, Ara bawa temen ini, kenalkan ini Kak Danar, kakak tingkat Ara di kampus."
"Wah terima kasih sudah mampir."
"Iya tante, sudah lama saya tidak mampir ke sini. Tante masih kelihatan muda."
"Ha?" Aku semakin heran. Memang Kak Danar pernah ke rumah ini. Aku berganti memandang bunda yang sepertinya juga masih berusaha mengingat.
Kak Danar melepas kacamatanya dan raut wajah bunda mulai berubah.
"Wah, kamu sudah besar, Nak. Bagaimana kabar orangtuamu? Sehat?"
"Alhamdulillah sehat tante." Lalu Kak Danar memasang kembali kacamatanya. Bunda dan Kak Danar meninggalkanku yang masih berpikir keras karena tidak ingat dengan orang ini.
"Tante, lihat deh. Rani masih kebingungan sepertinya." Kak Danar tersenyum tipis dan itu kelihatan seperti mengejek, baru kali ini aku lihat ekspresi menyebalkan itu.
"Ra, kamu ingat anak laki-laki yang dulu tinggal di seberang rumah kita dan dia pernah jatuh lalu kamu bawa ke rumah?" Bunda memberikan sedikit petunjuk agar aku mengingatnya
"Ingat, Aan kan? Dia anaknya gendut. Lalu? Apa hubungannya dengan Kak Danar? Dia adiknya?"
"Aku anak gendut itu Ra. Yang suka nempel sama kamu dulu kalo lagi main."
"Ha? Tapi Kak Danar sama sekali tidak terlihat seperti itu."
"Ya kan aku juga tumbuh dan berkembang jadi dewasa, Rani."
"Ah, panggilan itu memang panggilan Aan untukku, awalnya ia hanya bisa menyebut Ai, tapi lama-lama dia memanggilku Rani. Tidak, aku masih tidak percaya."
"Hah, dasar. Kamu memang lemot ya. Ingat kapsul waktu?"
"Kapsul waktu?"
*****to be continue*****
Mohon maaf kepada pembaca semua karena setelah sekian lama saya tak mengupdate "A Rani's Story" dikarenakan suatu hal yang menyibukkan saya. :)
Semoga para pembaca masih setia membaca bab demi bab kisah Arani ya.
Bagi yang kemarin penasaran kenapa judulnya kok "A Rani's Story"? Padahal nama tokohnya Arani, di naskah sering disebut Ara, kenapa Rani? Itu karena, saya pinginnya Rani, hehehe. Bercanda, mau tau? Tinggalkan komen kalian ya ^_^ (kedip manja).
Yak, sekian dulu obrolan dari saya yang agak ngawur ini, selamat membaca, semoga menikmati jalan ceritanya, dan ikuti terus kisah Arani.
Terima kasih. :)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Rani's Story
RomanceArani, seorang gadis perantauan yang menjalani hidup jauh dari orang tua dan menjadi mahasiswa yang berniat menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, yang tentunya di jalan yang dilewatinya tak akan semulus harapan. Ada jatuh bangun yang harus...