Senja yang Kurindukan

29 8 0
                                    

Aroma yang bermacam-macam selalu menemani perjalananku saat menaiki bus ekonomi. Meskipun sudah ada bus ekonomi yang dilengkapi dengan AC, tetap saja tak senyaman bus PATAS. Namun, semua ini kulakukan untuk menghemat ongkos pulang, bayangkan saja, harga karcis bus PATAS adalah tiga kali lipat harga karcis bus ekonomi.

Keadaan di dalam bus tidak ada yang berbeda. Pemandangan, posisi kursi, udara dari AC yang seakan membelaiku, semua masih sama. Kecuali satu, sekarang aku duduk bersama seseorang yang ... Ah, aku jadi tersipu sendiri. Ya, sekarang di sebelah kiriku ada Kak Danar. Entah mengapa bisa ada di satu bus seperti ini, mungkin tujuan kita sama.

Sejak aku duduk tadi, tak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulut. Kak Danar lebih banyak diam dan memandang ke luar jendela. Aneh rasanya, biasanya Kak Danar yang banyak mengajakku mengobrol.

"Kakak mau pulang kampung juga?" Aku mulai memberanikan diri untuk memulai percakapan.

"Hm? Ah, tidak. Aku mau mampir ke rumah kakekku, Ran." Kak Danar menjawabnya dengan malas, hanya menoleh padaku sekilas saja. Eh, tapi, tunggu ... 'Ran'? Aku salah dengar atau memang kata itu yang keluar dari mulut Kak Danar? Hmm, mungkin aku salah dengar. Tidak mungkin ada yang memanggilku Rani selain 'dia'. Setelah obrolan itu tak ada lagi yang terucap. Meskipun kami sangat dekat, tapi rasanya jauh. Padahal kupikir akan lebih menyenangkan jika duduk berdampingan dengan Kak Danar, nyatanya lebih baik aku duduk di kursi lain saja.

*****

Tiba-tiba aku berada di sebuah pekarangan, menggali tanah dan mengubur sesuatu bersama dengan anak laki-laki. Lalu, kenapa aku menangis?

"Nanti kalau kita sudah besar, kita gali bareng dan ambil surat itu lagi ya." Tangan anak laki-laki itu penuh dengan tanah.

"Hm," Aku hanya bisa menggangguk dan tetap mengusap air mata yang deras mengalir.

"Rani ... Arani ... Bangun, Dek!" Aku merasa pundakku ditepuk-tepuk seseorang.

Aku segera membuka mataku dan ternyata Kak Danar yang membangunkanku. Terlihat dari wajahnya yang mulai memancarkan kecemasan.

"Kamu kenapa, Dek? Tadi sampai nangis dalam tidur loh." Seketika kuraba kedua pipiku dan memang basah.

"Ah, aku ingat seseorang di masa lalu, Kak. Aduh, Kakak jadi berpikiran aneh tentangku ya? Tidur aja sampai nangis. Untung saja ada Kak Danar, kalau tidak mungkin bisa kelewat terminalnya." Aku berusaha menghibur diri. Mimpi tadi terlihat nyata, seakan aku yang sekarang datang kembali ke masa lalu.

"Mimpi ya, sepertinya kamu belum ingat, Rani."

"Eh? Apa Kak?"

"Ti-tidak kok. Aku hanya berbicara sendiri." Aku hanya mengangguk kecil mendengar jawabannya. Meskipun sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin aku lontarkan pada laki-laki berkacamata ini.

"Aku turun di terminal selanjutnya, Dek. Kamu turun di mana?" Tiba-tiba saja Kak Danar membuka pembicaraan.

"Eh, kok kita samaan ya Kak? Aku juga turun di terminal selanjutnya. Kebetulan, nanti mau mampir ke rumahku?" Karena mungkin searah, aku jadi spontan mengajaknya untuk mampir.

"Hm, terima kasih banyak, Dek. Tapi sepertinya lain kali saja. Aku harus segera ke rumah kakek. Nanti deh kirimkan alamat rumahmu, kalau ada waktu akan mampir." Kak Danar tersenyum tipis kepadaku.

"Yah, sayang sekali. Iya, deh nanti aku kirimkan alamatnya, Kak." Sedikit kecewa sih dengan jawabannya, tapi apa boleh buat.

"Penumpang semua, selamat siang, selamat menikmati perjalan anda. Kami di sini pengamen jalanan, minta izin untuk membawakan sebuah lagu yang akan menemani perjalanan bapak-ibu-mbak-mas-adik semua. Selamat menikmati." Tiba-tiba ada dua orang pengamen yang mulai unjuk diri, dua pengamen ini mungkin lebih tua dariku. Mereka melantunkan lagu yang tak asing di telingaku, judulnya Kangen yang dipopulerkan oleh Dewa 19.

Kutrima suratmu 'tlah kubaca dan aku mengerti

Betapa merindunya dirimu akan hadirnya diriku

Didalam hari-harimu bersama lagi

Kau tanyakan padaku kapan aku akan kembali lagi

Katamu kau tak kuasa melawan gejolak di dalam dada

Yang membara menahan rasa pertemuan kita nanti

Saat bersama dirimu

'Aku tau lirik lagu ini!' batinku. Aku pun mulai ikut menyanyikan lirik demi lirik lagu itu. Aku tak menghiraukan sekelilingku. Karena aku sudah asyik dengan lagu ini. Jarang-jarang ada pengamen yang memilih lagu 'seenak' ini.

Semua kata rindumu semakin membuatku 'tak berdaya

Menahan rasa ingin jumpa

Percayalah padaku akupun rindu kamu

Ku akan pulang

Melepas semua kerinduan

Yang terpendam ...

"Terima kasih bapak-ibu-mbak-mas-adik semua yang telah bersedia mendengarkan kami menyanyi. Kami pengamen jalanan mengharapkan belas kasih Anda untuk memberikan receh pada kami. Permen boleh, rokok pun juga kami terima. Semoga perjalanan  bapak-ibu-mbak-mas-adik semua aman dan selamat sampai tujuan. Selamat siang."

Dua orang pengamen itupun mulai berjalan dengan membawa bungkus plastik bekas permen sebagai wadah uang yang akan didapat dari para penumpang. Karena lagu yang dibawakan sesuai dengan moodku, aku memberikan uang lebih untuk mereka.

"Terima kasih, Mbak." Aku membalasnya dengan senyuman. Kak Danar juga memasukkan beberapa receh ke dalam wadah yang dibawa pengamen itu.

*****

Saat tiba di terminal, ayah dan bunda menjemputku. Bahagia rasanya bisa pulang lagi ke kampung halaman. Tempat aku lahir dan dibesarkan. Dalam perjalanan pulang ke rumah terlihat senja di ufuk barat yang sangat indah. Aku heran, mengapa senja yang sangat singkat itu bisa memikat, langit kemerahan yang mengantar matahari beristirahat. Namun, menurutku fajar juga tak kalah indah dengan senja. Melihat matahahari perlahan naik menjukkan wajahnya ke permukaan, apalagi melihatnya dari sawah di dekat rumah, pasti menyenangkan.

"Bunda masak makanan kesukaan Ara loh di rumah."

"Wuah, Bunda memang the best deh. Jadi pingin cepat sampai rumah."

"Kamu yang dikangeni malah masakan bunda sih. Sama ayah ndak kangen?"

"Kangen dong. Arani kangen sama semuanya."

Ya, suasana seperti inilah yang selalu aku tunggu. Suasana hangat yang selalu ada saat dibutuhkan. Jika aku harus menggambarkannya dalam warna, warna suasana ini adalah oranye. Seperti senja di kampung halaman yang selalu aku rindukan dan kasih sayang orangtuaku. Tempat yang paling nyaman untuk disinggahi, tempat berlindung paling aman, tempatku kembali dari perjalanan panjang. Yang di dalamnya ada senyuman dari orang-orang yang kusayang.

*****

Arani sudah liburan nih ... Nantikan kisahnya saat di rumah. Mohon maaf kepada para pembaca, part kali ini nampaknya lebih pendek dari biasanya. Terima kasih telah setia menanti saya update part demi part tiap minggunya. Kalian semua adalah sumber semangat bagi saya. 

Nantikan terus kelanjutan cerita Ara ya ...

Selamat membaca ... :)


A Rani's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang