Perjalanan yang lumayan jauh telah kutempuh. Bus berhenti di sebuah terminal yang cukup ramai, mungkin kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa yang akan memulai kehidupan merantaunya. Para sopir angkutan umum berbondong-bondong menjemput penumpang, menawarkan angkutannya untuk menuju berbagai tujuan.
Mendung mulai bergelayut, hitam, menakutkan. Aku segera mencari angkutan yang harus kunaiki agar sampai ke daerah kostku. Menurut catatan ayah sih, harus naik angkutan trayek F dari terminal ini.
"Neng, nyari angkot trayek apa?"
"Anu, Pak, saya nyari angkot trayek F."
"Oh, kebetulan, ikut saya saja, sudah mau berangkat, ini juga sepertinya mau hujan."
"Ehm, boleh, Pak"
Aku pun mengikuti langkah bapak sopir itu, tak pikir panjang, karena aku tak mau kehujanan lalu sakit di hari pertamaku di kota ini. Cari aman saja."Ayo, ayo, geser mbak mas. Masih muat satu orang lagi di sebelah kiri."
Ya, Allah, ini angkot mau masukin penumpang gimana lagi. Sudah penuh sesak. Pikirku. Seakan berebut oksigen untuk bertahan hidup. Karena di dalam hanya muat untukku duduk, barangku di taruh di atas angkot dengan penutup terpal, agar tak basah oleh hujan.Tik tik tik. Zraaaashhhh. Tak lama aku duduk di dalam angkot, hujan deras pun turun, seakan ia sudah tak kuat lagi menahan rindunya pada bumi. Ia ingin segera jatuh ke pangkuan bumi. Terlambat semenit saja, mungkin aku sudah basah kuyup. Ini pengalaman pertamaku naik angkot, yang menyisakan memori sesak, panas (meski di luar hujan), bagaikan berada di gerbong maut. Ah, sudahlah yang penting aku bisa cepat sampai di kost dan merebahkan badanku yang sudah pegal semua.
Aku terus saja melihat ponselku, melihat arah petunjuk Google Map dari terminal ke tempat kos. Kata ayah aku harus berhenti di Jalan Rajawali. Ya, maklum, aku belum tau seluk beluk kota ini. Kalo nyasar kan bisa nambah masalah.
"Kiri, Pak." Angkot pun dibawa menepi oleh pak sopir. Kusodorkan ongkos angkotnya. "Terima kasih, Pak." Ngeeeng, angkot beserta penumpang melaju melanjutkan perjalanan. Ternyata ada seorang cewek yang turun bersamaku tadi. Sepertinya ia tak membawa payung.
"Mbak mau ke mana? Sini, sepayung berdua sama saya." Aku menyodorkan payungku.
"Wah, makasih mbak. Mbaknya mau ke mana?"
"Ke rumah kos nomor 15, Mbak."
"Wah, sama dong, aku juga mau ke sana."
"Nah, kebetulan, bisa sepayung berdua nih. Yah, meski payungnya gak terlalu besar, tapi cukup kok."
"Hehe, aku terselamatkan." Lalu ia menyodorkan tangannya. "Aku Herdita"
"Aku Arani. Salam kenal." Kusambut tangannya dengan senang hati dengan ukiran senyumku yang paling manis. Teman pertamaku nih. Harus kasih kesan baik.Kami pun berjalan beriringan menuju kostan. Ternyata cukup dekat dengan jalan utama. 13...14..15.. Ah, di sini. Wuah kostnya lumayan bagus sih. Besar juga. Pagarnya berwarna merah bata. Kami pun masuk dan menemui pemilik kos.
Aku dan Herdita berbincang dengan Ibu pemilik kos. Beliau ramah sekali. Sampai kami dibuatkan teh hangat karena kehujanan.
"Ini kunci kamar mbak Herdita, nomor 20 di lantai atas. Setelah naik tangga belok kiri, kamar ketujuh dari tangga."
"Iya, Bu. Terima kasih."
"Nah, yang ini kunci kamar Mbak Ara, di lantai bawah ya. Kamar nomor 5. Dari pintu masuk tadi, belok kanan, nah kamar kelima dari pintu."
"Terima kasih, Bu."
"Kalau ada apa-apa bilang Ibu ya. Ada peraturan-peraturan yang harus ditepati juga. Bisa dibaca di buku bersampul hijau di rak sebelah kanan televisi, ya. Semoga betah di sini."
Aku dan Herdita pamit untuk ke kamar masing-masing."Wuaaah, akhirnya aku bisa berbaring meletakkan badanku. Tapi kamar ini masih harus diatur agar nyaman. Tapi badanku tak mau kompromi. Kupasang sprei dan sarung bantalnya saja. Lalu menyapu dan menata barang-barang ini." Aku bergumam sendiri di dalam kamar ukuran 2,5 × 3 meter ini. Dindingnya berwarna putih. Perlengkapan yang ada sebuah tempat tidur (yang muat satu orang), sebuah meja belajar, sebuah lemari, sebuah kursi, dan sebuah kipas angin. Ventilasi yang ada memadai, cukup untuk proses pergantian udara, tentunya dilengkapi dengan kawat nyamuk agar tak masuk seenaknya serangga yang cukup mengganggu itu. Di jendela ada kelambu warna biru muda. Di setiap beberapa kamar diberi satu tempat sampah bersama. Beralih ke luar kamar. Setiap kamar diberi satu buah rak sepatu. Ada juga keset di depan pintu. Di daun pintu tertempel tulisan timbul dari kayu, bertuliskan nomor kamar masing-masing. Setiap 6-8 kamar disediakan satu kamar mandi dan satu tempat cuci. Sepertinya untuk menjemur pakaian harus ke lantai tiga. Oh iya, dapur bersama juga disediakan. Di sana lengkap peralatan untuk masak, lengkap dengan satu kompor gas. Yang kusuka adalah di pojok utara halaman tengah ini ada sebuah kolam ikan kecil dan taman bunga beraneka rupa. Aku tak hafal jenisnya. Yang kutau di sana ada mawar dan anggrek, selebihnya aku kurang tau namanya. Haha, tak terasa aku malah jalan-jalan melihat keadaan.
Akhirnya sekarang aku bisa istirahat. Kamarku sudah tertata rapi. Yang belum tinggal memberi sentuhan seni di dinding, besok saja, sekarang sudah lelah. Aku pun merebahkan tubuhku di kasur yang berbalut sprei biru muda bermotifkan awan. Aku meraih ponselku. Dan sesuai prediksi. 20 panggilan tak terjawab dan 15 pesan singkat dari bunda. Benar saja, semenjak turun dari angkot ponselku ku simpan dalam tas agar tak basah. Lalu aku lupa tidak membukanya.
"Ara sudah di atas tempat tidur, Bun, Yah. Kosnya nyaman. Cuman tadi di jalan sedikit gerimis." Itulah isi pesan yang kukirimkan pada Bunda.
Tring. Tak lama ponselku berdering, sepertinya ada pesan masuk.
"Alhamdulillah. Bekalnya dimakan ya. Cepet mandi, ganti baju, sholat. Baik-baik di sana ya. Kalo perlu sesuatu, segera tanya Bunda atau Ayah. Jangan kecapekan, jaga kesehatan lho Ra."
Saat Bunda yang mengirim pesan, nama pesan itu bukanlah pesan singkat lagi.
"Oke siap Bunda. Semuanya akan Ara lakukan. Ara mau tidur dulu ya. Muah. Sayang Bunda sama Ayah." Kukirimkan balasan pesan Bunda. Tak lama kemudian gambar hati dikirimkan oleh Bunda.Kehadiranku di kota ini disambut hujan pertama di bulan Februari. Dingin, tak kenal siapapun, semuanya asing. Rintik hujan tak mau berhenti sedari tadi. Mungkin hujan sangat rindu dengan bumi hingga enggan pergi. Masih asyik bercengkrama hingga tak tau aku kedinginan dibuatnya. Berusaha untuk tidur di tengah hujan pertama bulan Februari. Akankah awal kisahku di sini akan manis seperti manisnya coklat di hari Valentine bulan ini? Entahlah, siapa yang tahu.
=====to be continue=====
KAMU SEDANG MEMBACA
A Rani's Story
Storie d'amoreArani, seorang gadis perantauan yang menjalani hidup jauh dari orang tua dan menjadi mahasiswa yang berniat menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, yang tentunya di jalan yang dilewatinya tak akan semulus harapan. Ada jatuh bangun yang harus...