Hari Sial (?)

85 6 2
                                    

Sesuatu yang serba pertama kali mungkin akan terdengar mengasyikan, mendebarkan, dan menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu. Saat kau memikirkan sesuatu yang tak pernah kau alami sebelumnya, akan normal jika kau merasakan sesuatu yang bergejolak dalam benakmu. Menjadi mahasiswa angkatan termuda di kampus, iyalah, namanya juga mahasiswa baru. Dengan semangat yang masih menggebu, kupikir kehidupan kuliah seindah di FTV. Berangkat mengenakan pakaian semau kita (asalkan masih sopan dan rapi), dengan tas kecil ringan (tak seperti saat sekolah yang mengharuskan buku paket tebal dan macam-macam buku tulis, serta perlengkapan lain yang selalu menjadi beban di pundak siswa), bisa sedikit memakai make up , serta tanpa beban tugas-tugas yang selalu beranak pinak saat kita lengah. Ketahuilah bahwa semua itu hanyalah fiktif belaka. Sungguh, kehidupan kuliah tak seringan itu.

Dinginnya udara subuh, bahkan matahari belum bangun, namun aku dan mahasiswa lain sudah berkumpul di depan gerbang fakultas. Untuk apa? Untuk apalagi kalau bukan untuk MO Maba (Masa Orientasi Mahasiswa Baru). Ngantuk? Tidak. Suara kakak tingkat akan membuatmu tak bisa mengalihkan perhatian walau sekejap. Eh, bukan itu. Tapi lengah sedikit dan tidak memperhatikan arahan yang diberikan, wah hukuman akan menanti.

"Eh, kamu, yang tidak memperhatikan. Tulis di kartu kesalahan, kalau kamu tidak memperhatikan penjelasan dari para senior."
"B-baa-baaik, Kak."
Ada seorang cowok yang sepertinya masih mengantuk dan menjadi sasaran empuk di pagi ini. Sebaiknya aku tak menjadi sorotan kakak-kakak yang galak itu. Menakutkan.

"Yang tidak memakai ikat pinggang, silakan maju" Suara seorang kating (kakak tingkat) terdengar menggelegar. Aku sudah mempersiapkan semuanya semalam pasti aku sudah memakai ikat pinggang. Kuraba rokku di bagian pinggang. A-aaaapaaa.. Aku tidak memakai ikat pinggang. Ya Allah, kenapa bisa lupa, padahal sudah kusiapkan di atas meja semalam. Aku mencoba mengingat. Astaga... Kemarin kupakai gara-gara celana yang kupakai terasa longgar. Lalu kuletakkan di gantungan baju. Aaah, bodohnya diriku. Mengacau di hari pertama. Semoga tidak ada kating yang menyadarinya.

"Sudah? Cuma ini mahasiswa baru yang tidak memakai ikat pinggang? Cepat maju sebelum kami mengecek kalian satu persatu." Kating perempuan dengan wajah dingin menegaskan apa yang diperintahkan. Karena mahasiswa baru yang ke depan hanya 5 orang. Dadaku semakin berdebar, keringat dingin mulai mengucur. Tanganku bergetar dan mulai dibanjiri keringat.
"Oke, karena tidak ada yang mengaku, tolong cek Kak, di antara mereka yang tetap di barisan apakah ada yang mulai belajar berbohong."
Ada kira-kira 9 kating yang menyebar dan mulai mengecek ikat pinggang kami. Dari barisan depan mulailah acara penyisiran mahasiswa bandel, termasuk aku. Deg-deg deg-deg. Debar jantungku semakin cepat, nafasku semakin memburu tak teratur, keringat dingin yang keluar semakin banyak.
"Ini, Kak. Ada yang tidak mengaku. Ayo Dek maju." Jeddaaaar. Aku ketahuan. Oh tidak, ini akan berakhir di sini. Hari pertamaku jadi mahasiswa akan ternodai dengan kesalahan ini.

Mahasiswa yang melanggar atribut yang telah ditentukan ada 15 orang. Dan yang membuatku syok adalah mereka semua laki-laki, hanya aku seorang yang perempuan. Oh, tidak, Bunda, Ayah, sepertinya anakmu akan dicap sebagai cewek yang tak menaati peraturan.

"Wah, hanya ada satu perempuan nih, yang melanggar aturan. Mau jadi apa kamu, Dik. Memakai atribut lengkap saja tidak bisa. Bagaimana kalian akan menaati aturan saat kuliah nanti? Mau bolos? Gak ngerjakan tugas? Seenaknya sendiri? Mau gitu?" Seorang kating laki-laki bertubuh tinggi besar, sedikit kumis, dan suaranya membuatku gemetaran. Tak sanggup aku mengangkat wajahku dan menatap wajah kating yang ada di depan kami.

"Kita menghukum seperti ini bukan untuk mempermalukan kalian. Ini salah satu upaya agar kalian bisa mengikuti aturan yang sudah dibuat, agar kalian terbiasa tertib." Seorang kating laki-laki tinggi namun tak terlalu besar badannya, berkaca mata, mulai memberikan penjelasan dengan suara yang nadanya lebih rendah. Meski demikian, aku tetap gemetar, keringat dingin semakin banyak mengucur di dahiku. Sesak rasanya dada ini. Dan setelah itu semuanya menghitam. Bruuukk. Aku mendengar derap langkah beberapa orang yang mendekatiku. Mengguncangkan badanku dan menyuruhku membuka mata. Namun semakin lama, semua suara gaduh itu lenyap. Tak bersisa.
******
Aku mulai membuka mataku. Aku ada di sebuah ruangan, bercat putih. Bukan, ini bukan kostku. Aku mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling, perlahan. Ada sebuah infus terpasang di tangan kiriku. Waduh, apa yang terjadi denganku. Aaw, kepalaku terasa sedikit sakit. Aku haus, ingin minum. Kulihat ada segelas air minum di meja kecil di sebelah kanan tempat tidur. Aku mencoba duduk dan menggapai gelasnya. Glek glek glek. Alhamdulillah, lega. Setelah aku minum aku kembali berbaring. Tapi, betapa kagetnya aku, di kursi yang ada di depan kasur ini, ada seseorang. Aku mencoba memfokuskan pandanganku, melihat dengan seksama.

"Aaaaargh!!!!"
"Hah? Ada apa? Siapa?" orang itu sepertinya kaget dengan teriakanku. Spontan aku langsung menutup mulutku dengan kedua tangan.
"Ah, rupanya kau sudah siuman ya? Aku menunggumu di sini selama... Hmm... Hampir 10 jam. Setelah kau pingsan di lapangan. Apa kau baik-baik saja?"
Apa? Aku pingsan selama itu? Astaga.
"Namamu hmm coba kuingat. Arani, bukan?" aku hanya mengangguk.
"Karena acara ini tanggung jawab kami, makanya aku ditugaskan menungguimu sampai siuman."
"Maaf, Kak." Aku menyesal karena ternyata merepotkan banyak orang. Ternyata kakak ini adalah salah satu kating yang tadi ada di lapangan.
"Apa perlu kupanggilkan dokter?"
"Ah, tidak usah, Kak. Aku ndak apa-apa."
"Baiklah."
"Mmm... Maaf, nama kakak siapa ya?"
"Namaku? Namaku adalah...."

=====to be continue=====

Tetap ikuti perjalanan Ara ya...
Terima kasiih..
Selamat membaca

A Rani's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang