Gethuk Tanpa Kelapa Parut

61 4 0
                                    

"Loh, Ara?" Seorang yang tak asing bagi Ara ternyata juga membeli gethuk.

"Eh, Kak Dan ternyata." Ara terkejut ternyata pembeli di sebelahnya adalah Kak Danar. Kating keren. Semenjak ia ditemani Kak Danar di rumah sakit, ia sedikit berpikir bahwa orang itu keren.

"Hmm itu..." Kak Danar melirik pada Galih dengan satu alis diangkat. Ia tak sepertinya mengetahui nama cowok di sebelah Ara.

"Ooh.. Ini Galih, Kak. Dia sekelas sama aku." Ara menepuk pundak Galih agar ia sedikit menoleh karena sedang diperkenalkan pada salah satu kakak tingkat. Gak sopan kan kalau Galih malah asyik melihat penjual gethuk.

Galih hanya menganggukkan kepalanya sekilas lalu asyik memandangi gethuk-gethuk itu lagi. Yah, mungkin Galih menganggap gethuk lebih menarik untuk diamati.

Setelah perkenalan absurd itu selesai, nampaknya Kak Danar juga lebih suka memandangi gethuk-gethuk itu.

"Kak, Dan."

"Hm?" Kak Danar sedikit menoleh pada Ara, namun tetap memandangi gethuk.

"Tadi kakak bilang kalau satu bungkus gethuk yang lain ndak pakai parutan kelapa ya?"

Kak Danar seketika menoleh pada Ara, tidak hanya kepalanya, namun badannya lebih menghadap ke Ara. Ia tersenyum dan bilang, "Iya, aneh ya?" Kak Danar menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Bu-bukan gitu, Kak. Ndak aneh kok. Hanya saja..."

"Hanya saja?" Kak Danar kembali menaikkan sebelah alisnya.

"Hanya saja, gethuk tanpa parutan kelapa kan kurang lengkap. Hehe." Ara sepertinya tidak jujur mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.

Cowok di depannya pun sedikit terkekeh mendengar jawaban Ara. "Hmm enak aja tuh. Gak suka kelapa parut aku."

Ara tidak menjawab dengan perkataan atas jawaban Kak Danar. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan tersenyum. Dan juga karena gethuk pesanan Galih dan Kak Danar juga sudah siap dibawa pulang. Mereka pun saling berpamitan dan pulang.

*****

Malam ini Ara sibuk berkutat dengan buku-buku kuliahnya. Ia menyiapkan materi yang akan dipelajari besok, Ara selalu membaca materi sebelum menghadiri kelas. Agar ia tahu apa cakupan materi yang akan dibahas oleh dosen, atau agar ia bisa menanyakan sesuatu di kelas.

Namun, sejak tiba di kos tadi, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Materi yang ia baca hanya sekedar dibaca. Seakan tak mau masuk di memori. Apalagi yang dipikirkannya kalau bukan gethuk. Iya, gethuk tanpa kelapa parut. Tak aneh memang, gethuk meski tanpa kelapa parut juga rasanya masih enak. Bukan hal itu yang penting bagi Ara.

"Ternyata masih ada manusia di bumi yang gak suka sama kombinasi gethuk dan kelapa parut. Kukira hanya ada satu, dia saja." Ara mulai menerawang jauh, jauh ke belakang, saat ia masih sekolah TK.

Ara kecil adalah anak yang sangat riang dan hiperaktif. Sampai-sampai dia sering jatuh. Lututnya tak pernah lepas dari yang namanya plester luka. Bagaimana tidak, saat lukanya mengering ia akan berlarian lagi dan sering sekali terjatuh. Hebatnya ia tak pernah sekalipun menangis jika ia terjatuh karena ulahnya sendiri. Dia akan pulang dan minta diobati lukanya ke Bunda.

Pernah suatu hari saat Ara membeli gethuk di abang langganannya, (ia bisa beli gethuk sendirian, setelah diajari Bundanya) ada seorang anak laki-laki seumuran Ara yang sedang lari-lari menuju Abang gethuk. Mungkin karena sangat semangat, ia tersandung kakinya sendiri dan akhirnya terjatuh. Anak itu menangis kesakitan, Ara menghampirinya dan mengulurkan tangan untuk menolongnya.

Anak itu masih meneteskan air mata meski sudah tak bersuara. Ara membawanya ke rumahnya dan meminta Bunda untuk mengobati luka Anak itu. Terkadang ia meringis saat Bunda mengoleskan obat di sekitar lukanya.
"Nah, sudah. Nanti lukanya akan sembuh. Jangan nangis ya, cup cup." Bunda Ara dengan sabar mengelus rambut anak itu. Nampaknya ia masih kesakitan.

"Mau?" Ara yang teringat ia membawa bungkusan gethuk mencoba menawarkan makanan agar ia lupa dengan sakitnya. Namun anak itu masih saja diam. Ara lalu membuka bungkusan itu dan mengambil satu potong gethuk dan mulai memakannya. Nampaknya anak lelaki itu mulai terpengaruh dengan iming-iming Ara. Ia mulai melirik pada Ara yang asyik makan gethuk.

"Enak loh, rugi kalo ndak mau." Ara semakin berakting seolah gethuk itu sangat lezat. Lalu anak lelaki itu tertarik dan mulai mengambil satu potong gethuk. Tidak seperti Ara yang langsung melahap gethuk yang diambilnya, tapi anak itu menyisihkan semua kelapa parut yang ada. Hingga bersih, tak ada satu pun. Lalu anak itu tersenyum tipis dan mulai melahapnya. Sedikit demi sedikit. Di gigitan terakhir, ia tiba-tiba diam dan terlihat lidahnya mencari sesuatu di mulutnya. Lalu tangan kanannya mengambil sesuatu yang sudah ada di ujung bibirnya. Ara mengira ada benda asing yang tidak sengaja tercampur di dalam gethuk, spontan ia ikut-ikut mengeluarkan gethuk yang dimakannya. Setelah itu Ara memperhatikan benda apa yang diambil di bibirnya. Ternyata, itu sebuah kelapa parut. Cuma satu, kecil. Ara sampai merasa ia menyianyiakan gethuk yang terlanjur ia muntahkan.

"Kamu gak suka kelapa ya?" Anak itu hanya mengangguk dan mengambil sepotong gethuk lagi, ya tentu saja dengan "pembersihan" terlebih dahulu.

"Kenapa?"

"Gak suka. Gak enak."

Anak aneh. Hanya itu yang ada di pikiran Ara.

"Namamu siapa?"

"Aan." jawabnya singkat karena masih sibuk dengan gethuknya.

"Aku Arani."

"Ai" Nampaknya nama Arani sulit untuk diucapkan oleh lidah Aan.

"Iya, deh. Terserah." Ara kembali berkutat dengan gethuknya.

Ibu Aan menjemputnya karena Bunda Ara sudah memberitahukan bahwa Aan ada di rumah dan sedikit terluka karena terjatuh. Ibu Aan berterima kasih pada Bunda dan berpamitan untuk pulang.

"Bunda, rumah Aan di seberang rumah kita, ya?" Ara bertanya pada Bundanya sambil menunjuk sebuah rumah yang terlihat cukup besar di seberang rumah mereka.

"Hm, iya. Mereka tetangga baru, Nak. Sekitar 3 hari lalu pindah di rumah itu." Ara mengangguk paham mendengar penjelasan Bunda.

"Besok boleh main sama Aan?"

"Boleh. Tapi jangan dibuat nangis ya. Kasian"

"Iya, Bunda. Aan ndak kuat kayak Ara. Ara kalau jatuh ndak nangis. Ara kuat." Ara mengangkat kedua tangannya seperti binaragawan yang sedang pamer otot. Bunda hanya tersenyum melihat tingkah pola Ara dan mencubit gemas pipi gembulnya.

*****

Ara cukup ingat pertemuannya dengan Aan. Yang Ara sangat ingat adalah saat Aan menangis menemui Ara di rumahnya dan menyuruhnya membuat sebuah surat untuk diri mereka saat dewasa. Semacam kapsul waktu. Lalu mereka menguburnya di pekarangan Kakek Misnan yang luas. Mereka menguburnya di dekat pohon kelapa.

"Nanti kalau kita sudah besar, kita gali bareng, dan ambil surat itu lagi ya."  Waktu itu Ara hanya mengangguk sambil air matanya mulai meleleh.

Sebuah janji yang dibuat dua orang bocah. Janji yang dibuat tanpa mereka tahu apakah bisa menepatinya atau bahkan bagaimana cara menepatinya. Daripada membuat janji yang kita tidak tau bisa menepati atau tidak, lebih baik tidak ada janji yang terucap.

"Dasar bocah." Gumam Ara. Lalu ia berkonsentrasi lagi pada buku-buku tebal itu. Namun sekarang ia sambil mendengarkan lagu Nothing's Gonna Change My Love for You. Ara suka sekali lagu ini.

Nothing's gonna change my love for you
You ought to know by now how much I love you
The world may change my whole life through but
Nothing's gonna change my love for you

Ara pun sudah bisa berkonsentrasi kembali. Dan mulai membuka lembaran-lembaran buku yang nampak enak dijadikan bantal itu.

=====to be continue=====

Yeay, Ara muncul lagi. 😆
Part kali ini sudah diusahakan untuk sedikit lebih panjang, hehe.
Terima kasih sudah menyempatkan baca tulisan aku. 😭😭😆
Untuk jadwal update aku ndak bisa menentukan kapan up nya.
Doakan selalu ada ide dan kalau cerita sudah siap, bakalan update kok. Tenang saja. 😊👍

Yak, sekian, happy reading semuanya ❤❤

A Rani's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang