Di Balik Rintik Hujan

77 11 0
                                    

Bukannya semakin reda, rintik air ini semakin deras saja. Jika kami memaksa pulang, maka terpaksa kami harus memakai satu jas hujan berdua dan pastinya kami akan tetap basah, melihat derasnya hujan di luar sana. Di sisi lain kalau aku tidak segera pulang, kost akan segera ditutup dan akan kena marah Ibu kos kalau beliau tahu. Sungguh pilihan yang membingungkan.

Tanganku juga mulai gemetaran karena memang dingin sekali, aku menggenggam tanganku sembari meniupnya berharap ada sedikit kehangatan. Kak Danar juga terlihat menggesekkan kedua tangannya, berharap hukum fisika masih berlaku agar usahanya bisa sedikit menghangatkan dirinya.

Aku pun meraih lengan baju Kak Danar dan menariknya pelan. Membuat cowok yang tadinya sibuk menghangatkan badannya menoleh kepadaku. Terlihat kacamata yang dikenakannya mulai berembun.

"Kak, kita pulang saja, yuk. Hujannya makin deras, nanti kalau menunggu reda, aku kemalaman sampai kostnya."

"Kalau kemalaman bisa menginap di tempatku, loh. Gratis," Kak Danar terlihat menggodaku, ia sedikit mengedipkan sebelah matanya.

"Astaga. Kenapa juga harus ke tempat Kakak. Enak juga tidur di kost," Karena kesal aku sedikit mencubit lengannya.

"Aduh! Kan aku bercanda, Ra."

"Aku juga bercanda kok Kak nyubitnya. Ayo cepet antar aku pulang"

Kami pun mulai menuju tempat motor Kak Danar diparkir. Tentunya ini yang sedari tadi mengganggu pikiranku. Karena jas hujan Kak Danar hanya satu, itu berarti aku harus bersembunyi di balik punggungnya, kan malu. Tapi kalau tidak pakai jas hujan, saat tiba di kost aku bisa basah kuyup.

"Nih, kamu saja yang memakainya." Tiba-tiba Kak Danar memberikan jas hujannya padaku.

"Loh? Terus kakak akan memakai apa?"

"Ini," Ia menunjuk jaket yang ia simpan di dalam jok motornya.

"Kan itu bahannya nggak anti air, Kak. Tetep aja nanti bisa basah. Sudah, pakai jas hujannya berdua aja. Nih." Aku memberikan jas hujan tak bermotif berwarna hijau tua itu pada Kak Danar.

"Loh, katanya kamu ..."

"Sudah, ayo cepat pakai."

Dengan sangat terpaksa aku harus berlindung di bawah jas hujan yang dikenakan Kak Danar. Seumur-umur aku hanya pernah berlindung di balik jas hujan yang dikenakan ayah, itu pun waktu aku masih SMP. Saat hari hujan, entah waktu pergi atau pulang sekolah, aku suka berlindung di balik jas hujan yang ayah kenakan. Rasanya nyaman, meski sebenarnya di rumah aku punya dua jas hujan. Aku akan merasa aman di belakangnya. Karena harus berlindung di bawah jas hujan, keadaan di luar tidak akan kelihatan. Rasanya seperti aku sudah percaya penuh dengan ayah yang menyetir, aku percaya bahwa apapun yang terjadi di luar sana, ayah akan tetap melindungiku.

Tapi ini berbeda. Aku berlindung di balik punggung orang lain, meski aku mengenalnya, kan masih sebatas mengenal, tidak lebih. Tapi daripada hanya salah satu dari kami yang mengenakan jas hujan, nanti kalau dilihat orang lain kan kelihatan kejam yang memakai jas hujan. Sedangkan yang lainnya basah kuyup terguyur air hujan.

"Sudah?"

"Sudah, Kak. Jangan ngebut ya."

"Oke"

Kak Danar memacu motornya dengan kecepatan sedang. Aku sedikit canggung dengan suasana ini. Baru pertama kali aku 'bersembunyi' di balik punggung orang lain. Benar dugaanku, saat jas hujan ini dipakai oleh dua orang pasti akan basah sebagian, entah Kak Danar kebasahan atau tidak. Namun satu hal yang harus aku syukuri. Bisa berada di balik punggung Kak Danar, sangat dekat. Bahkan aku bisa mencium aroma parfumnya. Kalau biasanya parfum cowok sangat menyengat baunya, parfum Kak Danar menurutku aromanya tidak setajam itu.

*****

"Sudah sampai nih, Dek."

Aku membuka sedikit jas hujan yang daritadi menutupiku. Memang benar ternyata motor Kak Danar sudah ada di depan gerbang kost berwarna merah bata. Hujan yang deras tadi sudah berubah menjadi rintik halus yang membuatku ingin berlama-lama di luar. Saat aku turun dari motor, yang kuamati pertama kali adalah Kak Danar, khawatir ia juga basah terkena air hujan sepertiku. Namun untungnya Kak Danar tidak kebasahan.

Aku pun berterima kasih pada Kak Danar karena sudah mengantarku tepat waktu. Saat aku mulai berbalik hendak masuk ke kost, tiba-tiba ...

"Tunggu, Ra!" Aku pun menghentikan langkahku dan menatap Kak Danar dengan penuh tanya.

"Cepat ganti baju dan buat minuman hangat ya, biar nggak masuk angin. Tuh, kamu basah semua."

"E-eh, iya, Kak." Aku pun bergegas masuk ke kost. Tanpa diketahui Kak Danar, aku masih berada di balik pintu menunggunya pergi. Pipi ini terasa hangat dan jantung ini terasa berdebar. Aku tak tahu seperti apa wajahku sekarang.

*****

Berkat catatan Santi yang super rapi dan lengkap, aku bisa mengerjakan soal ujian dengan lancar. Jadi bisa memperkecil kemungkinan dapat nilai jelek.

"Ra, ngapain kamu senyum-senyum sendiri gitu? Konslet habis ujian ya?" Galih yang tiba-tiba ada di sebelahku membuatku kaget.

"Apaan? Aku? Konslet gara-gara ujian? Hahahaha."

"Nah, kan. Beneran konslet." Galih menatapku aneh sambil menggelengkan kepalanya.

"Eh, Ra. Aku mau tanya deh. Kalau nggak salah kan ... Hmmph ..." Entah kapan Santi muncul, tiba-tiba dia menutup mulut Galih dengan tangan kirinya.

"Makan yuk. Laper nih, habis ujian 'baterai' otakku rasanya perlu dicharge nih."

"Yuk yuk. Aku juga lapar. Makan mie ayam di kantin enak sepertinya. Hmmm." Aku sudah membayangkan kelezatan mie ayam Bu Rahmi. Seakan aromanya sudah ada di depan hidungku.

"Ditraktir Galih, ya" Santi mengedipkan sebelah matanya pada Galih. Aku tak paham maksudnya.

"Eeh, kok aku sih?"

Tanpa memedulikan Galih yang nampaknya masih tidak bisa menerima keputusan sepihak dari Santi, kami pun melangkahkan kaki ke kantin fakultas.

Suasana kantin fakultas di pergantian jam kuliah seperti ini sangatlah ramai. Hiruk pikuk di setiap sudut kantin terlihat dengan jelas. Melihat orang-orang berdesakan untuk membeli makanan membuatku seketika merasa kenyang. Bayangkan saat ini kantin tak terlihat sebagai sebuah tempat makan, lebih tepat kalau kita sebut ini adalah lautan manusia yang lapar dan siap memakan apa saja di depannya. Pada keadaan ramai seperti ini, ada tiga kemungkinan yang kamu miliki. Kemungkinan yang pertama adalah mendapatkan tempat duduk namun makanan pesananmu terlambat datang. Kemungkinan kedua adalah kamu mendapatkan makananmu tapi tak ada tempat duduk untukmu. Yang terakhir adalah kamu mendapatkan makananmu dan dapat duduk dengan tenang menyantap makananmu. Jika mengalami kemungkinan ketiga, berarti faktor keberuntunganmu sangat tinggi. Namun, saat mengalami kemungkinan pertama atau kedua, maka bersabarlah.

Beruntungnya kami kali ini, makanan dapat, tempat duduk juga dapat. Sungguh nikmat setelah ujian yang penat. Kami pun menyantap mie ayam yang sudah tersaji di depan kami. Saat aku sedang asyik menikmati mie ayam, sepertinya ada yang aneh dengan Santi dan Galih. Dari tadi mereka saling melempar pandangan. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres.

"Uhuk ... uhuk ..." Aku pura-pura tersedak dan mulai menyesap es teh yang telah kupesan. Mereka terlihat bingung, sepertinya mereka tahu kalau aku hanya berpura-pura.

"Ra, akhir pekan ini ada acara gak?" Akhirnya salah satu dari mereka angkat suara.

"Gak ada sih. Kenapa?" Aku menjawab pertanyaan Santi sambil tetap menikmati mie ayam.

"Kita kumpul ya, di rumah Fauzi, jam 10 pagi, ya. Jangan telat." Timpal Galih.

"Oke, boleh-boleh."

Nampaknya mereka berdua senang mendengar jawabanku. Entah apa yang sedang mereka berdua (atau bertiga? Fauzi juga kan. Buktinya dia nggak ikutan makan) rencanakan. Sangat mencurigakan. Awas aja kalau mereka ada acara rahasia-rahasiaan sama aku.

******************************************************************************************

To be continue ...

Ada apa sebenarnya dengan ketiga teman Ara? Penasaran? Nantikan kelanjutan kisah Ara ya.

Selamat membaca ...

A Rani's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang