BAB 8: Memastikannya

396 17 0
                                    

Hari melakukan tugasnya seperti biasa. Waktu tidak bisa dihentikan. Renggang dan semakin renggang. Setiap sisi, seolah-olah ingin pergi dengan jalannya sendiri. Cukup lama tak ada pembicaraan. Setiap orang menganggap itu hal biasa. Biasa dalam sebuah kehidupan. Tapi, ada hati yang tak ikhlas. Tidak terima. Pikiran merasa yang hilang. Diri merasa keganjilan.

Berubah! Iya! Setiap detik selalu ada perubahan. Tak ada yang disalahkan. Memang begitu jalannya. Mereka sama-sama ingin bersama. Tapi mereka hanya diam. Dan gak ada yang memulai? Semuanya bisa apa lagi. Jangan salahkan takdir. Seharusnya mereka bisa memperbaikinya. Mulai dari diri mereka sendiri.

Di lapangan, seorang laki-laki melakukan aktivitasnya seperti biasa. Di pelipisnya, telah menintik banyak keringat. Tapi dia mengabaikannya. Lelah. Tapi tidak selelah apa yang ada dalam dirinya. Tapi dia masih sadar.

"Gue istirahat yah. Haus."

Pria tersebut melempar bola kepada temannya. Kemudian setengah berlari ke tepi lapangan. Ia meraih sebotol air mineral yang telah dibawanya.

Dia duduk. Ia menatap sebotol air mineral tersebut sejenak. Kemudian meminumnya, dengan beberapa tegukan.

Dia tidak membelikannya. Tapi dia ambil di sela batang pohon kemarin. Dan dia tau, sebotol air mineral ini memang untuknya.

Tiba-tiba seseorang datang.

"Fikri, lo dapat minum dari mana? Ini gue baru bawa."

Fikri tersenyum, "Untuk lo saja Zahra. Lo disuruh latihan juga 'kan sama Pelatih?"

Zahra hanya mengangguk. Dia langsung duduk di sebelah Fikri, membuka sebotol air mineral yang dibawanya, dan meminumnya.

Fikri hanya terdiam menunduk. Tangannya masih memegang sebotol air mineral yang masih terbuka. Tiba-tiba perasaanya kembali kalut. Bayangan pertandingan minggu kemarin masih terbayang di pikirannya.

Fikri kesal. Sangat kesal. Fikri merasa bersalah dalam dirinya. Seharusnya waktu itu ia bisa. Gak ada alasan waktu itu ada kesalahan pikirannya. Benci. Terkadang Fikri benci terhadap dirinya sendiri. Dia belum bisa memberi yang terbaik.

"Seharusnya Roy ikut kemarin." Seseorang di samping Fikri tiba-tiba saja bergumam.

Fikri tetap menunduk, "Roy? Ngapain ngomong berandal itu? Gak guna Zahra."

Zahra sedikit terkejut mendengar tanggapan Fikri. Ia nggak tau Fikri begitu terbawa emosi, bila berbicara tentang Roy.

Roy, si Atlet Voli Madrasah. Tapi kini nggak aktif lagi. Hanya dulu pernah ada masalah. Dia dianggap sebagai penghianat. Dan juga berandal.

"M a ... a af." Zahra terbata-bata.

Fikri langsung menutup botol air mineralnya. Meletakkannya di atas kursi penonton. Kemudian berlari menuju lapangan.

Zahra terdiam melihat Fikri latihan. Terlihat Fikri memukul bola sangat keras. Smesh demi smesh ia lakukan. Hingga temannya yang menjadi lawannya, kewalahan memblock smesh tersebut. Temannya pun terheran-heran melihat Fikri. Mereka tau Fikri sedang emosi. Tapi karena apa? Nggak ada angin, nggak ada hujan.

Dan siapa pun di antara mereka yang sedang emosi, mereka tidak tau harus apa. Kecuali hanya meladeni smesh demi smesh yang mereka pukulkan. Karena mereka pernah merasakannya. Hanya sebuah pertanyaan dan nasihat, tak mampu menyadarkan dan membuatnya baik kembali.

Saat teman lawan Fikri sangat kewalahan, dan sudah mencapai puncaknya.

"Fikri!" seseorang tiba-tiba datang dan memanggil Fikri. Teman lawan Fikri langsung menghela nafas lega. Sungguh, smesh Fikri kali ini sangat keras.

Fikri menoleh dan mengerutkan dahinya, "Ada apa Ketos? Butuh bantuan lagi?" Kata Fikri seraya menepi ke lapangan.

Seseorang itu yang ternyata Ketua Osim menggelengkan kepala pertanda tidak. Kemudian dia memberi isyarat kepada Fikri supaya lebih mendekat.

Fikri lebih mendekat. Kemudian Ketua Osim berbisik.

"Lo serius?! Di mana?" Tanya Fikri kaget dan penuh tanda tanya.

Ketua Osim tetap santai, "Tempat nongkrong Para Berandal Madrasah. Di belakang Lab."

Tanpa pikir panjang, Fikri langsung berlari pergi.

"Fikri, lo mau ke mana?" Teriak Zahra yang melihat Fikti tiba-tiba berlari dari lapangan. Padahal masih latihan.

Fikri mengabaikan teriakan Zahra. Dirinya menggebu untuk memastikan sesuatu. Hati dan pikiran berharap itu tidak seperti yang diberitahu.

Fikri berhenti berlari ketika jaraknya dengan tempat yang ditujunya sudah dekat. Fikri berjalan santai. Perasaannya meletup-letup. Kekhawatiran jelas ada dirasakannya. Intinya semuanya bercampur aduk.

Fikri terdiam saat dia telah sampai di tempat yang ia tuju, belakang Ruang Lab.

Tiba-tiba saja dia membisu. Pikirannya saja tiba-tiba saja kosong. Tatapannya fokus ke depan. Terlihat seorang perempuan, yang diwajahnya terbalut perban dan juga kedua telapak tangannya.

Yang membuat Fikri tidak bisa berkata apa-apa, di tangan perempuan tersebut, terdapat putung rokok yang berasap. Dan perempuan itu di kelilingi oleh tiga orang laki-laki yang memakai jaket hitam yang sama.

"Anisa? Lo?" Tiba-tiba saja Fikri bergumam setelah beberapa saat dia hanya terdiam.

Anisa yang sedang ketawa, tiba-tiba terdiam dan refleks membalikkan dirinya.

"Fikri?!" Anisa sangat terkejut, segera dia membuang putung rokok tersebut dan menginjaknya.

Fikri masih diam menatap Anisa, "Fik-ri, lo nga-pa-in di si-ni?" Tanya Anisa kegalapan dan bergetar.

"Lo yang ngapan di sini?" Tanya Fikri sedikit teriak.

Anisa hanya diam tak tau harus jawab apa. Pikirannya seperti berhenti mencari alasan. Sedangkan tiga orang laki-laki di belakang Anisa juga diam. Mereka tau ini urusan Anisa, dan mereka tidak harus ikut campur.

"Kenapa lo diam?" Tanya Fikri lagi, "ngapain di sini? Dengan Para Berandalan ini?" sambung Fikri dengan menekankan setiap pertanyaannya.

"Jaga omongan lo yah!!" Satu orang laki-laki di belakang Anisa merasa tersinggung dengan ucapan Fikri. Dia langsung emosi.

"Tahan Roy! Sabar," kata Anisa menahan Roy yang telah emosi, "biar gue saja," sambung Anisa.

Tiba-tiba ponsel Fikri bergetar. Dia menatap layar ponselnya sekilas, kemudian kembali menatap ke arah Anisa.

"Fikri gue bisa jela-"

"Terserah lo Anisa! Gue gak tau harus ngomong apa lagi sama lo! Gue muak!! Gue sudah meyakini diri gue untuk tetap selalu percaya sama lo. Tapi apa? Dan sekarang, gue gak peduli lagi apa yang lo lakuin-" Tiba-tiba Fikri terhenti setelah memotong ucapan Anisa, "gue kecewa sama lo. Sudah jelas semuanya. Lakukan apa yang lo suka."

Fikri pun pergi setelah mengucapkan itu pada Anisa.

Anisa terdiam. Kakinya sudah tak mampu menompang tubuhnya, hingga dia terduduk di lantai. Perlahan-lahan airmatanya pun menetes. Dia jatuh. Hatinya yang jatuh. Semua hilang. Inilah puncak dia gak tau harus berbuat apa.

Seolah-olah, dia mau meminta kepada Tuhan, untuk mati rasa sejenak. Ini sangat sakit. Luka tanpa darah ini sangat sakit.

Setiap kata yang diucapkan Fikri, sangat menyakitkan baginya. Apakah diamnya selama ini adalah kesalahan? Kenapa gak tersadar dari dulu. Menyesal. Anisa menyesal. Kepada siapa Anisa menyalahkan. Selain kepada dirinya sendiri.

Anisa menangis dalam lipatan tangannya. Setengah jiwanya seperti telah pergi.

Tiga orang laki-laki duduk mengelilingi Anisa kembali.

"Nisa ..." Seseorang bergumam dan kembali mengusap kepala Anisa dengan lembut. Sepertinya dia telah harus selalu ada di samping Anisa. Menguatkan Anisa secara terang-terangan.

Anisa terlalu banyak berbohong pada dirinya sendiri. Memaksa dirinya sendiri dan telah mencapai semaksimalnya. Entah apa yang dipikirkannya.

Kembali Anisa melawan hatinya yang masih sakit. Dan inilah akhirnya.

***

Lantunan Ar-Rahman-ku [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang