Bel istirahat kedua telah berbunyi sejam yang lalu. Para siswa-siswa mulai memasuki ruang kelas masing-masing, sehabis sholat di Masjid Madrasah. Mereka memilih di dalam kelas, karena hari sudah mendung. Sekarang saja sudah gerimis.
Anisa mulai sangat sibuk dengan KSM, yang bentar lagi hari-H nya. Fikri mulai sibuk dan bisa dikatakan telah sibuk, dengan Volinya. Ditambah lagi, Rohis yang baru ia ikuti.
Pada akhirnya, mereka berdua sudah jarang ketemu, apalagi berbicara. Padahal mereka satu kelas. Tapi ya mau bagaimana lagi. Pagi-pagi, Anisa sudah nimbrung di ruangan KSM, Fikri sudah berkeringat di lapangan.
Biasanya, mereka berdua akan makan bersama di kantin. Tapi waktu istirahat mereka gak menentu. Karena itulah, pertemanan mereka mulai merenggang.
Kadang Anisa akan menyempatkan dirinya melihat Fikri, ketika ia sudah selesai belajar di ruangan KSM. Tapi, ya begitulah. Akhir-akhir ini Anisa sering dikacangin. Air mineral yang sering dia bawa, malah dia letakin di sela-sela batang pohon begitu saja.
Siang ini, Anisa baru keluar dari ruang KSM bersama kedua rekan KSM-nya.
"Ya sudah. Kalian ke kantin saja dulu. Gue mau cuci muka," ucap Anisa.
"Oke, ayo cepat Azka. Gue sudah lapar nih!" Kata Dino sambil memegang perutnya.
"Sudah berapa kali gue peringatkan lo, jangan panggil gua Azka!" Kata Dina dengan wajah datarnya.
"Terserah gue!" Dino pun berlalu dan ikuti Dina di belakang.
Anisa menghela nafas, dia gak habis pikir dengan kedua rekannya tersebut.
Anisa berjalan menuju tempat wudu' yang berada di belakang Masjid. Saat dia melewati Masjid, dia mendengar suara yang sangat familiar di telinganya, walaupun di dalam Masjid banyak suara dari Qori dan Qori'ah yang sedang membaca Al-Qur'an. Anisa terhenti.
"Ayolah, tolong. Makanya kenapa Ar-Rahman yang sering gue dengar setiap pagi telah diganti dengan Al-Waqiah? Kenapa?"
"Mungkin karena banyak siswa yang telah hafal, makanya diganti."
"Tapi, mendengar itu, pikiran gue menjadi tenang. Gua bisa berpikir jernih."
"Iya, gue tau. Semua orang juga begiu."
"Ayolah, gue mau dengar lo baca Ar-Rahman."
"Fikri, sudah deh. Sstt. Suara lo ngeganggu yang lain. Pelanin sedikit ngapa?"
"Zahra, tolong. Beberapa hari lagi gue mau tanding. Gue butuh asupan semangat yang membuat gue tenang, dan pikiran yang jernih."
"Fikri, pelanin suara lo!"
"Makanya, gue mau dengar lo melantunkan Ar-Rahman. Gue janji deh nggak ngerekam."
"Janji yah? Penghafal sangat diprivasi."
"Iya!"
Zahra pun melantunkan Ar-Rahman dengan suara yang bagus dan lembut.
Anisa terdiam. Dia pun langsung pergi ke tempat wudu'.
Anisa mencuci mukanya. Hijabnya sedikit basah oleh air. Tak apa, Anisa sengaja tidak membuka hijabnya.
Anisa terdiam, melihat wajahnya dicermin. Anisa bingung harus apa. Sudah hampir 3 tahun dia berteman dengan Fikri, baru kali ini pertemanan mereka merenggang. Anisa tau, Fikri mempunyai banyak teman, Zahra hanya salahsatunya.
Anisa menggeleng kepalanya cepat. Sudahlah. Anisa dan Fikri hanya berteman, tanpa sengaja ketemu karena satu kelas.
Anisa pergi.
"Nisa!"
Mendengar namanya dipanggil, Anisa berbalik. Seorang pria berusia setengah baya berdiri di depan pintu Masjid. "Ke sini," kata pria tersebut seraya mengisyaratkan tangannya.
Anisa berjalan ke pria tersebut, "Ada apa Ustadz? Kenapa Ustadz Ali memanggil Nisa?" Kata Anisa dengan sopan.
Ustadz Ali sangat dihormati Anisa. Ustadz Ali sudah dia anggap sebagai Ayahnya sendiri. Dan selalu buat Anisa.
Pria tersebut, bernama Ustadz Ali tersenyum, "Bagaimana kabarmu Nisa? Kamu sering pulang larut sore setiap hari," kata Ustadz Ali seraya mengusap lembut kepala Anisa yang tertutupi hijab.
"Maaf, Ustadz. Nisa baik-baik saja. Nisa sangat sibuk dengan KSM," kata Anisa, di dalam ucapan terdapat ada rasa lelah di dalamnya.
Ustadz Ali tersenyum, "Ya sudah. Acara akhir nanti, Ustadz akan memanggilmu kembali. Sudah banyak pengaduan kepada Ustadz. Ustadz gak bisa menyembunyikannya lagi terlalu lama."
"Gak apa-apa kok Ustadz. Nanti Nisa akan menemui Ustadz bila dipanggil. Sekarang Nisa mau pergi dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Anisa berlalu pergi.
Sedangkan di Kantin Dino dan Dina sibuk dengan makanan masing-masing. Tak ada pembicaraan, hanya suara dentingan sendok yang terdengar.
"Dino, kok lo mau ikut KSM. Lo 'kan anak orang kaya. Papa lo banyak berkontribusi buat Madrasah. Dan lo juga pernah menjadi Berandal." Dina yang sangat pendiam, tiba-tiba berbicara.
Dino sedikit kaget. Dino kira robot yang mirip manusia di depannya. Ternyata memang manusia benaran. Bagaimana tidak, Azkadina sangat misterius orangnya. Gak ada yang banyak tau tentangnya. Kecuali beberapa orang, yang sama misteriusnya dengannya. Banyak yang belum diketahui. Low profil.
"Terserah gue dong! Lo kenapa mau mati-matian belajar? Sedangkan diri lo tertekan karena itu?" Tanya Dino tiba-tiba.
Mendengar itu, tatapan dingin Dina menatap Dino yang berada di depannya, "Gue tau apa yang harus gue lakuin!"
Dino mendecik, "Dasar!"
Keheningan kembali antar Dino dan Dina, tapi tak terlalu lama, hingga seseorang menghampiri mereka, "Hay, Anisa Shafana kembali!" Ucap Anisa dengan ramah, bermaksud mencairkan suasana.
"Telat! Makanan kita sudah habis," kata Dina seraya memakan suapan terakhir.
"Lo dari mana sih? Mandi? Lama benar nyuci muka," kata Dino santai.
'Tak.' Tiba-tiba sebuah jitakan mendarat di kepala Dino.
"Aww ... Sakit Nisa!" Teriak Dino seraya mengusap kepalanya yang dijitaki Anisa.
"Lo sih! Ngawur!" Anisa langsung duduk di sebelah Dina.
"Ya elah lo," kata Dino. Kemudian dia memlih kembali melanjutkan makannya yang mau habis.
Tak ada lagi pembicaraan. Keheningan kembali mendominasi suasana. Anisa sibuk mengotak-atik ponselnya seraya menunggu pesanannya datang. Dina sibuk dengan ponselnya menonton video pembelajaran. Dino sibuk dengan buku paketnya. Begitulah, mereka bertiga mempunyai tujuan yang sama, tapi komunikasi di antara mereka sangat lemah. Mereka hanya ngomong sesuatu hal yang penting saja.
"Kalian yakin bisa menang?" Tanya Anisa tiba-tiba sambil memakan makanannya yang baru sampai.
"Harus!" Kata Dina yakin dengan pandangan masih melihat layar ponselnya.
"Gak ada pilihan lain," kata Dino seraya menyesap minumannya kemudian kembali ke buku paketnya.
"Kalau begitu, ya sudah. Gue bisa melihatnya," kata Anisa seraya menyudahi makannya kemudian menyimpan ponsel, "Ayo pergi!"
Anisa tak melanjutkan makannya. Makan sedikit, baginya cukup. Ada target yang harus dia capai. Kedua rekannya, sekaligus temannya ini, sangat menginginkannya. Anisa tak bisa menyia-nyiakan waktu lagi.
Belajar! Keras!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lantunan Ar-Rahman-ku [selesai]
Ficción General"Ini hidupku! Tak banyak orang yang tau. Termasuk orang-orang di dekatku. Karena dunia diri kami sendiri ini berbeda. Kebetulan, kami dipertemukan takdir, dan seperti ditugaskan untuk bersama." _AnisaShafana