Mereka berdua terdiam. Masing-masing di antara mereka berharap tidak menyebutkan tentang itu.
Dengan Fikri yang masing dalam proses menerima Roy. Ia sudah mengerti, karena Roy juga sudah menjelaskan semuanya.
Dan Anisa yang berusaha menjadi lebih baik lagi, mengikuti setiap apa yang dibicarakan dan tidak menghindar lagi.
"Maaf, waktu itu gue gak bisa jenguk lo di UKM."
"Maaf, waktu itu gue gak bisa ngikutin lo ke rumah sakit."
"Gue ada tugas dadakan, mergok Adik Kelas."
"Gue nemenin Zahra pingsan, di ruang UKM."
"Jawaban lo lebih nyesek."
"Jawaban lo lebih sakit."
"Dia cuma pingsan."
"Lo gak pernah bilang."
Anisa terdiam dengan wajah datarnya, perasaannya jadi tertahan.
Fikri yang melihat itu gemas. Ia langsung mengacak-acak hijab Anisa.
"Iya. Gue ngerti kok. Lo 'kan-"
"Gue boleh gabung 'kan?" Seseorang datang langsung memotong ucapan Fikri.
Anisa mengabaikan seseorang itu. Ia sibuk merapikan kembali hijabnya.
Fikri langsung tersenyum cerah, menyambut seseorang itu, "Eh Zahra. Sendirian lagi. Ayo gabung," kata Fikri mempersilakan Zahra duduk di sebelahnya.
Anisa ingin mengabaikan perasaannya. Ia menatap layar ponselnya sekilas, "Gue pergi yah! Kayaknya ada yang mendesak," kata Anisa tiba-tiba.
Anisa masih belum siap. Tak apa untuk kali ini menghindar lagi.
Fikri menatap Anisa. Dia tau itu hanya alasan.
"Ayolah Anisa. Gue gak bakalan kacangin lo."
"Janji!"
"Janji Anisa Shafana, Mantan Ketua I.M."
Anisa manatap Fikri, jawabannya gak meyakinkan. Anisa tau itu.
"Nanti anterin gue pulang?"
"Iya! Gue anterin sampai di rumah, gue juga pengen ke Panti."
Zahra di sebelah Fikri bingung, "Panti?"
Fikri segera tersadar apa yang dia ucapkan, "Gak ada."
Anisa kembali menatap layar ponselnya sekilas, "Gak deh Fikri. Gue nunggu di gerbang yah. Lo lanjut aja, mungkin ada yang mau lo bicarakan dengan Zahra. Seperti, Osim lah, Voli lah, atau juga Rohis lah. Oke, terserah! Berandal Insyaf gue sudah nunggu di Gerbang."
"Anisa, tolong! Oke! Gue antar lo pulang sekarang!"
"Zahra?" kata Anisa santai.
"Ya sudah. Kalian duluan saja. Teman gue bentar juga ke sini."
"Maaf ya Zahra. Sebenarnya ada banyak yang mau gue omongin sama lo. Intinya banyak yang ingin gue tanyakan. Termasuk masa depan kita berdua," kata Fikri dengan percaya diri tingkat tinggi.
Zahra tersipu malu tiba-tiba.
'Deg.' Semenjak kapan Fikri suka mengombal? Anisa merasa lebih gak enak dengan perasaannya. Apalagi tadi sempat tertahan.
"Terserah!" Anisa langsung pergi.
"Eh, Anisa!"
Fikri berlari mengejar Anisa. Dia sadar dia salah omong. Hingga di balik ruang, ia telah melihat Anisa berdiri dengan seseorang yang sedang mengusap kepalanya. Anisa seperti menyeka wajahnya.
'Deg.'
"Perih," kata Fikri pelan.
Anisa melihat Fikri yang berjarak beberapa meter darinya, dan sedang menunduk, "Jadi gak antar gue pulang? Atau gue mau pulang sama Feza?" Tanya Anisa sedikit teriak.
Fikri mendonggak, "Iya. Gue ambil motor dulu di parkiran."
"Oke. Gue nunggu di gerbang sama Feza."
"Jangan!"
"Loh, kenapa?" Tanya Anisa bingung.
"Terserah lo!" Fikri langsung pergi.
Anisa menaikkan bahunya dan berjalan ke gerbang bersama Feza.
"Kalau lo masih ingin berjuang. Berjuanglah. Jangan nangis lagi. Gue selalu ada di belakang lo. Jika lo berbalik dan gue tiba-tiba tidak ada. Angkat kepalamu, Tuhan masih ada."
"Iya, Rafisqy Feza, Mantan Ketua Rohis yang paling keren yang pernah ada."
Feza mengusap kepala Anisa, "Gue juga punya perjuangan sendiri."
"Iya, Qori Al-Waqi'ah. Semangat yah!! Kejar impian lo menjadi seorang Hafidz!"
Feza tersenyum hangat dan lembut menatap Anisa.
Mentari masih bersinar cerah. Kerumunan awan dari penjuru masih belum bisa menutup wujud mentari. Angin perlahan-lahan bertiup, membelai daun-daun yang diam.
Deretan gedung ini mulai sepi. Para siswa dan siswi mulai berangsur-angsur pulang. Hanya beberapa siswa yang terlihat masih berlalu lalang. Dominannya Para Panitia yang sedang menyelasaikan tugas mereka. Seperti merapikan alat-alat, membersihkan sampah-sampah, dan menyiapkan laporan berakhirnya acara.
*
Hari, terimakasih telah mendengarkan. Terimakasih masih menemani dan menjawab takdir. Semuanya baik. Dan juga untuk ke depan.
Lelah? Memang dalam kehidupan lelah adalah bagiannya.
Kuat! Karena ada banyak orang yang berada di sekitar, seperti mengusap kepalaku ketika sudah terluka. Penuh dengan penjelasan karena ada banyak prasangka. Tidak apa. Aku sudah bersyukur hidupku ini.
"Fikri, jangan berprasangka buruk lagi yah sama gue."
Fikri tersenyum. Kemudian melajukan motornya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lantunan Ar-Rahman-ku [selesai]
General Fiction"Ini hidupku! Tak banyak orang yang tau. Termasuk orang-orang di dekatku. Karena dunia diri kami sendiri ini berbeda. Kebetulan, kami dipertemukan takdir, dan seperti ditugaskan untuk bersama." _AnisaShafana