Suasana cukup ramai. Dentingan sendok terdengar dari setiap meja. Banyak obrolan-obrolan yang membicarakan kejadian hari ini. Entah negatif, entah positif. Pandangan setiap orang berbeda-beda.
Si sebuah sudut, ada sepasang insan yang sedang menikmati makan siang mereka. Mengabaikan obrolan orang-orang di sekitar mereka. Tapi tidak mengabaikan orang-orang yang menyapa mereka. Fikri dan Anisa.
Fikri terdiam menatap Anisa di depannya. Ada beribu pertanyaan di kepalanya. Anisa tidak peduli, ia sibuk dengan melahap makanannya. Anisa sudah sangat lapar.
Anisa tau Fikri menatapnya dengan penuh pertanyaan, Anisa mengabaikan itu, ia memilih mengenyangkan perutnya dulu. Karena dia belum juga makan sedari tadi pagi.
Anisa yang ingin menyendoki makanannya terhenti, ia merasa risih karena Fikri. Ia akhirnya menatap Fikri, "Lo kenapa sih?" Tanya Anisa sedikit kesal.
Fikri hanya mengisyaratkan kepada Anisa supaya segera menghabiskan makanannya.
Anisa mendengus, "Tunggu!"
Setelah beberapa saat, Anisa memakan suapan terakhirnya, kemudian meneguk air, dan berasa semuanya telah selesai. Ia menatap Fikri dengan raut seperti, "Ada apa?Kenapa?"
Fikri tersenyum, "Jadi lo bisa jelasin?" Tanya Fikri santai seraya menghela nafas dan melipat tangannya di atas meja. Seolah-olah dia siap mendengar dan menjadi pendengar yang baik.
Anisa mendecik, "Lo sudah tau. Bagian mana yang harus dijelasin lagi?"
Fikri memutar bola matanya, berpikir, "Oke, belakang Ruang Lab. Lo ngerokok?"
'Tak.' Satu jitakan dengan mulus mendarat di kepala Fikri.
"Lo bisa pelan gak sih!" Kata Anisa.
Fikri mengusap-ngusap kepalanya, "Ya mana gue tau." Fikri kesakitan, " jadi benar?" Tanya Fikri menatap Anisa di depannya.
Ada sedikit kekecewaan di hati Fikri, bahkan sebelum Anisa menjawab.
Anisa terdiam sejenak, "Lo tau 'kan, semua orang bisa saja frustrasi." Fikri hanya mengangguk, "ada banyak orang yang mempunyai masa lalu yang kelam."
'Deg.' Jantung Fikri tiba-tiba saja melaju dengan cepat.
"Jadi benar?" Tanya Fikri lagi dengan suara memelan. Seperti sangat tertahan.
Anisa menatap Fikri, ada kekecewaan di matanya. Seketika sudut bibir Anisa mengembang, "Ya enggaklah! Masa Ketua I.M merokok."
Anisa tertawa puas. Sebenarnya karena ia berhasil menjitaki kepala Fikri untuk pertama kalinya.
Fikri langsung tersenyum,"Terus, kenapa ada rokok di tangan lo?" Tanya Fikri santai dengan wajah tanpa dosa.
'Tak.' Satu jitakan lagi mulus mendarat di kepala Fikri.
"Sudah gue bilang pelan. lo tau 'kan semuanya lagi gencar-gencarnya ngomongin gue. Lo mau sahabat sejati lo ini kena masalah?"
Fikri hanya mengusap-ngusap kepalanya kembali, "Jadi apa? Lo gak mau jelasin sih sama gue. Tapi saat dijelasin setengah-setengah."
Anisa menghela nafas, "Gini, teman gue yang tiga itu baru mergok seseorang yang mau ngerokok di belakang gudang, sembunyi-sembunyi. Untung mereka cepat, dan mengambil rokok tersebut. Dan pada akhirnya dia gak jadi merokok."
"Dan apa hubungannya sama lo?" Kata Fikri langsung, "dan jangan jitakin gue," ucap Fikri ketika Anisa siap dengan kepalan tangannya.
Anisa mencibir, "Mereka ngumpul di belakang Ruang Lab. Sedangkan rokok itu belum dikasih ke BK. Semua orang hampir tau, Dino adalah seorang Berandal. Tapi sekarang telah menjadi Berandal Insyaf, termasuk yang dua itu. Dino itu lagi frustrasi, karena dia belum bisa juga membuat orang tuanya bangga. Padahal dengan ikut KSM, belajar yang rajin, dan bisa menjuarainya, adalah cara membuat orangtua Dino bangga. Tapi ya gitu. Dia gagal. Dia kecewa pada dirinya sendiri. Entah dia sadar atau tidak, dia menghidupkan rokok yang mereka ambil dari seseorang yang di belakang gudang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lantunan Ar-Rahman-ku [selesai]
General Fiction"Ini hidupku! Tak banyak orang yang tau. Termasuk orang-orang di dekatku. Karena dunia diri kami sendiri ini berbeda. Kebetulan, kami dipertemukan takdir, dan seperti ditugaskan untuk bersama." _AnisaShafana