: Chapter 3 – Pesan Masuk :
"Jangan mendekat kalau kamu nggak mau sakit. Aku tidak akan tertarik dengan dirimu. Jadi, jangan berharap apapun padaku."
***
Arini merenggangkan tubuhnya saat dirinya baru saja menyelesaikan pekerjaanya—membersihkan meja, mencuci asbak, dan mengelap meja biliard setelah para pelanggan mereka pulang.
Cewek itu menjatuhkan dirinya di atas sofa yang terletak tepat di sebelah kasir. Jaket yang digunakan olehnya tersampir di bahunya, dengan tas yang berada dalam pangkuannya. Arini mengeluarkan bungkus rokoknya dari dalam tas, mengambil satu batang gulungan tembakau dan menyulutnya dengan pemantik.
Dia menghembuskan asap rokoknya dengan perlahan, berusaha untuk membuat tubuhnya yang terasa tegang agar menjadi lebih rileks. Tatapan matanya lurus, memandang pada teman-teman kerjanya yang sedang bercanda sembari menunggu kasir yang sedang mentotal penghasilan hari ini.
"Pulang sendiri, Mbak?" tanya kasir bernama Tika yang cukup dekat dengannya. Cewek denggan rambut panjang sepinggang itu menoleh sekilas, menatap Arini yang kini menatap ke arahnya.
"Iya, pulang sendiri," jawabnya. Arini memang bukan gadis yang banyak bicara, hanya memilih untuk menjawab secukupnya untuk mengurangi interaksi pada teman-teman kerjanya.
Kenapa demikian? Menurut pandangan Arini selama dirinya bekerja enam bulan di tempat ini, banyak dari teman-teman kerjanya yang bermuka dua. Sudah berulang kali Arini mendapati mereka bersikap baik di depannya, namun di belakang Arini mereka justru membicarakan dirinya.
Menyebalkan? Sangat. Arini tahu dia tidak lagi tinggal di Jakarta dengan orang-orang yang tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain. Di Malang, dia menemukan orang-orang baru yang menurut Arini lebih banyak... drama.
Makanya dia memilih untuk tidak terlalu banyak berinteraksi dengan siapapun yang ada di sini. Arini akan berbicara jika diperlukan, dan akan diam jika memang tidak ada hal yang ingin dibicarakan.
Itu lebih baik.
"Lho? Mbak Oky nggak jemput?" tanya Tika lagi, masih sibuk dengan buku, kertas dan lembaran uang yang berada di hadapan cewek itu.
Arini menggeleng. "Nggak, dia udah tidur paling. Besok ada kuliah soalnya dia, makanya nggak aku ijinin jemput," jelasnya.
Tika menganggukan kepalanya untuk sebuah jawaban. Cewek itu pun kembali memberikan fokus penuh pada pekerjaannya, membiarkan Arini terdiam dengan pikirannya.
Beberapa menit terdiam dengan tatapan kosong, Arini merasakan ponselnya bergetar dalam saku jaketnya. Cewek itu pun segera meraih ponselnya, melihat benda pipih itu dengan kening mengerut ketika mendapatkan pesan dari nomor tak dikenal melalui Whatsapp-nya.
Masih dengan kerutan halus yang ada di keningnya, Arini pun membuka pesan itu.
+62 812 1711 xxx:
Km uda plg?
Save nmrku ya, Jimbrun.
Arini membelalakan matanya. Ini cowok dapet nomor gue dari mana coba? Perasaan, Arini tidak pernah mencantumkan nomornya di sosial medianya. Bahkan, Arini sendiri pun tidak pernah memberikan kontaknya pada cowok itu. Mereka baru kenal, dan nggak mungkin juga Arini memberikan kontaknya pada sembarang orang.
Lalu, bagaimana bisa cowok itu tahu nomor ponselnya?
Arini Kumala:
Km punya nmrku dri siapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, I!
RomanceSemua kehidupan memang memiliki beragam macam masalah di dalamnya. Tanpa masalah itu, manusia tidak akan bisa belajar untuk memperbaiki diri mereka hingga menjadi yang lebih baik. Sama halnya seperti apa yang dialami oleh Arini Kumala, kelamnya masa...