: Chapter 8 – Indra El Sanjaya :
"Dari awal bertemu, aku memang sudah memiliki rasa penasaran padamu. Tapi tak pernah menyangka, jika sikapmu akan luwes seperti ini."
***
Sudah dua hari Oky berada di Bengkulu, dan kegiatan Arini benar-benar lebih membosankan dari yang dia kira. Arini beberapa kali merasa bingung ingin melakukan apa, bahkan ketika dirinya menyalurkan hobinya—menulis novel—ia beberapa kali terjebak dalam cerita yang terlihat begitu garing.
Hari ini, Arini lagi-lagi menerima shift malam. Sebenarnya, minggu ini ia mendapatkan satu shift pagi, tapi ia menukarnya dengan salah satu temannya agar bisa shift malam. Rasanya, percuma jika Arini ada di shift pagi sebelum ia libur. Oky tidak ada, dan pasti kegiatannya di kost akan semakin membosankan.
"Riri," sapa El saat keduanya berpapasan di depan undakan yang menghubungkan antara bagian depan kafe dan paviliun.
Arini tersenyum tipis. "Mas El," sapanya balik sebelum akhirnya berjalan menuju kasir untuk menuliskan pesanan pelanggan. Cewek itu menoleh untuk beberapa saat, mendapati El masih berdiri di sana dan memperhatikannya.
Arini mencoba untuk mengabaikan itu dan menyibukan diri dengan cara menuliskan beberapa menu pada slip order berwarna biru itu. Setelah selesai, Arini memberikannya pada Siska yang kini sedang tersenyum penuh arti padanya.
"Itu lho, disapa sama El," kata Siska sembari melirik El yang kini duduk di sebrang kasir.
Pria itu mendongak, menatap awas pada Siska yang masih tersenyum penuh arti. Matanya yang sipit terlihat tajam, membuat Arini sedikit bergidik pelan melihat itu.
"Apa, sih, Mbak? Nggak usah mulai deh," ucap Arini sembari beralih dari kasir menuju paviliun, tempatnya berjaga sekarang.
"Ya, nggak papa kali! Siapa tahu aja kamu bisa kepincut sama cowok lagi!" teriakan Siska masih terdengar jelas oleh Arini, membuat cewek itu menggeleng pelan.
Kelakuannya itu, lho.
Arini baru saja ingin berjalan menuju section satu—di mana meja 16, 17, dan 19 berada—ketika suara berat yang ia kenali memanggil namanya. Arini menoleh, mendapati Bang Rizal berdiri di meja 21 dengan senyuman lebarnya. Menghela napas, Arini pun berjalan mendekat pada pria itu.
"Kenapa, Om?" tanyanya saat sudah berdiri di hadapan Bang Rizal.
Bang Rizal terdiam, mengerjap beberapa kali sebelum berkata, "Masih aja maksa manggil Om."
Arini meringis. "Kemarin kan udah aku jelaskan, Om lebih tua dari aku. Maka dari itu aku harus sopan," ucap Arini, terlihat hati-hati karena takut kata-katanya akan menyinggung ego pria itu.
Bang Rizal mengangguk paham. "Kalau gitu, panggil saya bep aja, ya?" katanya.
Masih aja, ya Allah.
Arini menggaruk tengkuknya, terlihat bingung untuk menjawab apa. Sumpah, dari sekian banyak customer yang mendekati dirinya, tidak ada yang se-frontal ini. Maksudnya, gini, memang banyak yang mengajaknya berkenalan, tapi tidak pernah ada yang meminta untuk dipanggil macam-macam seperti apa yang Bang Rizal minta!
"Engg... terserah Om aja deh," ucap Arini pada akhirnya.
Bang Rizal tersenyum lebar. "Nah, gitu dong," katanya menjeda. "Kamu jaga di sini aja, Bep, temanin saya," lanjutnya.
Astagfirullah, kuatkan hamba untuk menghadapi ini, Tuhan.
"Aku jaga di sana, Om," Arini menunjuk tiga meja yang berada di pojok ruangan. "Jadi, nggak bisa jaga di sini, nanti malah kena—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, I!
RomanceSemua kehidupan memang memiliki beragam macam masalah di dalamnya. Tanpa masalah itu, manusia tidak akan bisa belajar untuk memperbaiki diri mereka hingga menjadi yang lebih baik. Sama halnya seperti apa yang dialami oleh Arini Kumala, kelamnya masa...