: Chapter 5 – Mama :
"Aku bukan menghindari atau berusaha tidak peduli. Hanya saja, aku butuh ketenangan untuk menjalani semuanya. Termasuk sedikit menghindari Mama yang terus mengejarku karena masalahnya."
***
Arini baru saja sampai di kost ketika ponselnya berdering menandakan jika ada telepon masuk. Cewek itu menaruh tasnya terlebih dahulu, sebelum meraih ponsel yang ada di atas meja untuk melihat siapa yang menghubunginya.
Mama. Tulisan itu tertera jelas di layar ponselnya, membuat Arini mendesah pelan. Terdiam beberapa saat, cewek itu pun mengangkat sambungan telepon itu.
"Assalamualaikum, Ma," ucapnya.
"Waalaikumsalam, Kak. Kamu baru pulang? Mama telepon dari tadi nggak dijawab," ucap Mama dari sebrang sana.
"Iya, baru aja sampai. Ada apa, Ma?" tanya Arini tanpa basa-basi. Perasaannya sudah tidak enak saat ini.
Mama terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya berkata, "Kamu lagi ada uang, nggak? Kalau ada kirimin untuk Mama dan adik-adik kamu di sini, ya. Papa kerjaanya lagi sepi soalnya, Mama juga laundriannya lagi nggak terlalu ramai."
Kan.
Arini terdiam beberapa saat, desahan kecil keluar dari bibirnya. Cewek itu menatap ke sekeliling kamarnya yang didominasi berwarna putih, pikirannya melayang entah ke mana ketika Mamanya menanyakan soal uang.
"Kak?" panggil Mamanya lagi saat tidak mendengar jawaban dari Arini.
"A-ah... iya, Ma. Nanti pagi aku kirimin, ya."
"Makasih, Kak. Ya udah kamu istirahat sana, pasti capek. Mama tutup ya teleponnya, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Arini menatap ponselnya yang sudah mati, menghela napasnya pelan.
Tubuhnya yang tadi terasa lelah kini hilang begitu saja. Justru pikirannya yang sekarang terasa begitu lelah. Selama ini Arini memang tidak pernah masalah jika Mamanya meminta ia mengirimkan uang untuk keperluan di rumah. Tapi saat ini... Arini mendesah lagi, menarik rambutnya ke belakang untuk meredakan rasa pusing yang tiba-tiba mendera.
Sekarang akhir bulan dan ia belum gajian. Uangnya di ATM pun paling tersisa berapa ratus ribu. Belum lagi tanggungannya di sini masih banyak. Tapi lagi-lagi Arini berusaha untuk tidak mengeluh, dirinya tidak boleh seperti ini.
Sebelum Arini keluar dari rumah—karena masalah keluarga juga ada satu alasan yang membuatnya pergi ke Malang—dia sudah berjanji untuk membantu Mamanya walau hanya bisa memberi sedikit. Jadi, ini adalah tanggung jawabnya.
"Yang, kamu baru pulang?"
Arini menoleh, mendapati Oky yang terbangun dari tidurnya. Cewek tomboi itu menguap, mendudukan dirinya di sana dan menatap pada Arini yang masih terduduk di pinggiran kasur.
"Iya, aku baru pulang," jawab Arini, tersenyum kecil.
Oky mengerutkan kening ketika melihat wajah Arini. "Kamu kenapa? Mukanya kayak orang stress gitu?" tanyanya.
Arini menggeleng pelan. "Aku nggak papa, kok. Kamu tidur lagi sana, habis ini aku cuci muka terus tidur."
Oky yang mendengar jawaban itu mendengus. "Jangan bilang kalau kamu nggak papa. Aku udah satu tahun tinggal bareng sama kamu, jadi udah tahu semua kebiasaan kamu—termasuk ekspresi muka kamu yang selalu nunjukin perasaan kamu."
Arini tidak bisa memungkiri jika Oky memang mengetahui jelas tentang dirinya. Cewek itu akhirnya mengangguk pasrah, mengiyakan perkataan Oky tadi.
"So, kamu kenapa? Cerita aja sama aku," ucap Oky sembari menggeser tubuhnya. Cewek bertubuh gempal itu meraih bungkus rokok yang tergeletak di lantai, mengeluarkan satu batang gulungan tembakau itu dan menyulutnya dengan pematik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, I!
RomanceSemua kehidupan memang memiliki beragam macam masalah di dalamnya. Tanpa masalah itu, manusia tidak akan bisa belajar untuk memperbaiki diri mereka hingga menjadi yang lebih baik. Sama halnya seperti apa yang dialami oleh Arini Kumala, kelamnya masa...