Hey, I! - Chapter 6

108 7 4
                                    

: Chapter 6 – Kenapa? :

"Aku sering merasakan luka, tapi tidak sesakit saat orang yang begitu aku sayang dan hargai justru menggores egoku. Rasanya terlalu perih melebihi apapun."

***

Arini memandang sloki yang berada di hadapannya. Hingar-bingar yang dihasilkan dari seorang pria yang berdiri di atas podium dengan alat-alat yang digunakan untuk mengatur tempo musik dan efek tidak mempengaruhi Arini sama sekali.

Saat ini, dirinya sedang berada di salah satu pub yang berada di tengah kota Malang. Sudah hampir dua jam Arini berada di sini bersama dengan teman-temannya dan kekasihnya, Oky. Namun, itu semua tidak cukup untuk menghibur dirinya.

Kata-kata Mamanya beberapa hari lalu masih terngiang di benak Arini, membuat hari-harinya menjadi rusak. Keberadaannya di sini memang untuk bersenang-senang, sayangnya itu sama sekali tidak memperngaruhi mood-nya yang sudah rusak.

"Masih mikirin soal Mama?" tanya Oky sedikit berteriak. Cewek itu memandang Arini yang masih terdiam menatap sloki yang sudah kosong itu.

Arini tidak langsung menjawab, cewek itu justru menyodorkan sloki miliknya pada Hani yang kini sedang bersenda gurau dengan kekasih sesama jenisnya. "Haaannn... one more, please." Ia sedikit merengek, menatap Hani dengan tatapan memelas.

Hani melirik pada Oky yang duduk di samping Arini. "Riri udah mabok, Ky. Masih boleh emang?" tanyanya, seperti meminta ijin.

Oky mendesah pelan sebelum akhirnya mengangguk. "Kasih aja, nggak papa."

Hani pun mulai menuangkan minuman berwarna cokelat itu ke sloki milik Arini. Cewek itu langsung menenggaknya dengan sekali tenggakkan dan meringis kecil ketika merasakan panas pada tenggorokannya.

"Mama kenapa bisa sejahat itu..." gumam Arini lirih.

Mata Arini sudah memerah, bahkan pandangannya tidak lagi jernih. Minuman dengan kadar alkohol yang cukup tinggi memang membuat Arini merasa pusing, tapi tidak bisa membuatnya melupakan masalahnya.

"Sabar, Yang. Mungkin Mama lagi banyak masalah, makanya jadi ngomong kayak gitu," ucap Oky sembari mengelus punggung Arini, berusaha memberikan kekuatan pada cewek itu.

Arini menggeleng cepat. "Kalau emang ada masalah, kenapa harus aku yang kena? Selama ini aku nggak pernah protes dengan apa yang Mama mau, aku selalu berusaha ngasih yang terbaik untuk Mama. Tapi kenapa Mama justru ngebalas dengan kata-kata kayak gitu?" lirih Arini.

Air mata yang sedari tadi dibendung akhirnya keluar, menetes dengan deras membasahi pipi Arini. Cewek itu tidak peduli jika dirinya menangis di depan umum, toh tempat ini gelap. Jadi tidak akan ada yang bisa melihat dirinya menangis kecuali Oky dan teman-temannya.

Hani yang melihat keadaan Arini menatap cewek itu iba. "Udah, Ri... nggak usah dipikirin. Sekarang 'kan kita lagi menghibur diri, jadi jangan mikirin masalah kamu dulu."

Cece—pasangan Hani—mengangguk setuju. "Iya, nggak usah dipikirin. Mungkin Mama kamu lagi pusing aja, makanya kayak gitu."

Keduanya memang tahu tentang masalah yang Arini alami. Saat dirinya menangis di kamar setelah Mamanya memutuskan sambungan secara sepihak, Oky, Hani dan Cece memang ada di sana. Jadilah Arini menceritakannya, karena ia sendiri memang membutuhkan teman untuk bercerita.

Arini pun mendesah, mencoba menghilangkan rasa sesak di dadanya. Cewek itu mengedarkan pandangannya, ia membeliak ketika mendapati Jimbrun yang duduk tak jauh dari tempatnya.

Arini menunduk, menyembunyikan wajahnya dari balik helaian rambutnya. Dalam hati ia berharap kalau Jimbrun tak menyadari keberadaannya di sini.

Akan tetapi, sepertinya Dewi Fortuna tidak sedang berpihak padanya. Yang saat ini Arini lihat justru sebaliknya, Jimbrun menyadari keberadaannya dan cowok itu sedang melangkah mendekat. Jantung Arini bertalu cepat, melirik was-was pada Oky yang masih belum menyadari jika ada cowok yang akan mendekat padanya.

Hey, I!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang