Question

165 93 97
                                    

Tidak kurang satu jam, tiba-tiba Rafa memberhentikan mobil. Viola tergugu. Rafa menatap air muka kebingungan di wajah Viola. Senyum kecil terulas di bibir Rafa yang tidak disadari oleh Viola.

Rafa meraih tangan Viola. Menuntunnya ke ujung tebing. Kali ini Viola tidak berontak, ikut mengekori langkah Rafa. Lalu Rafa memberi isyarat untuk duduk di atas rerumputan.

"Untuk apa kita ke sini? Apa alasanmu membawaku ke tempat ini?" Viola benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi.

"Nikmati saja pemandangannya."

Langit sore terlukis indah-kemerahan dengan rona jingga. Sang surya mulai terbenam, hanya untuk bergantian dengan rembulan. Dua insan manusia sedang menikmati pemandangan indah, lukisan dari sang Pencipta.

Hampir satu jam keduanya diam. Tak satu pun berniat memulai pembicaraan-masih menikmati detik-detik akhir hilangnya sang surya untuk sesaat. Hingga akhirnya langit jingga ciri khas senja mulai memudar, digantikan oleh warna gelap. Malam sudah menyapa.

Apa yang bisa Viola lakukan? Hanya bergeming seraya menatap kumpulan kapas yang tergelar menghiasi langit. Tak lupa juga ribuan benda kecil kerlap kerlip yang memanjakan retina. Rafa yang berada di sampingnya mengikuti delikan retina Viola. Mata Viola berbinar kala bintang-bintang itu mengingatkannya kembali akan sepasang mata yang ia kenal meski awan hitam menutupinya, juga ketika udara malam yang dingin mampu menghilangkan rasa-rasa hangat favoritnya. Perlahan memori-memori indah berputar di kepalanya layaknya film lama. Memori-memori terkadang bisa dijadikan sandaran pelepas lara-pikirnya

"Sudah dua tahun lebih bukan? Kau masih saja mengingatnya dan terbebani dengan rasa bersalahmu," Rafa berbicara memecah keheningan. Sejujurnya, ia juga tidak ingin mengganggu Viola. Tapi, egonya terlalu besar untuk sedikit berbincang dengan Viola.

"Dua tahun telah ku lewati. Aku terkejut. Waktu berlalu sangat cepat. Aku tak percaya dua tahun lamanya aku terus dihujani rasa bersalah," jawabnya dengan suara serak. Kemudian retinanya berpindah menatap Rafa.

Rafa diam, ia menyesal, sudah bertindak egois dengan memenuhi rasa penasarannya tentang perasaan Viola saat ini.

Manik coklat Viola menyelam dalam manik hitam milik Rafa. Entah kenapa hatinya tak bisa melepaskan sedikit saja retina Rafa. Wajah Rafa mengingatkan kembali wajah Rafi-tunangannya. Kedua manik mata hitam pekatnya, hidung mancung, rahang tegasnya. Semua sangatlah mirip, tidak ada sedikit cacat. Iris gadis berambut kecoklatan itu meneteskan bulir-bulir kristal dari pelupuk matanya tatkala memori itu terputar kembali dalam benaknya. Satu kelemahan yang dimiliki Viola, ia tidak akan kuat kala mulai masuk ke dalam mata milik Rafa.

Ya, kenalkan Rafa Alexi Gavriel. Lelaki yang sejak tadi menemani dan mengoceh tak ada hentinya. Rafa, satu-satunya lelaki yang dengan setianya melindungi dan menjaga Viola. Walaupun, sifatnya sangat dingin, cuek bebek, namun di balik itu semua sekalinya bicara, tak ada seorang pun yang bisa membuatnya berhenti, kecuali memang itu sudah benar-benar berakhir.

Sejujurnya, saat ini Viola tak mampu berada disamping atau berdekatan dengan Rafa. Satu alasannya, Rafa merupakan kembaran dari tunangannya.

"Apa impianmu?"

"............."




-Tbc

Lohaa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Lohaa... Hmmm kira kira apa yaa jawaban dari Viola??

Next or no??

Jangan lupa tinggalkan jejaknya ^^

Universe [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang