Kota itu diam, mati. Tidak ada lagi getaran di sendi-sendinya, kehidupan di buluh nadinya.Terbengkalai, tak terurus, kosong. Sampah-sampah berserakan, daun-daun kering terhampar, rumah dan gedung bagai puing-puing sejarah. Pohon-pohon dan sungai kering. Tak terlihat pergerakan manusia satu pun. Yang terdengar hanya sapuan angin meniup debu, sisanya hanya kesunyian. Ketika malam yang ada hanya kegelapan, desahan angin malam menanti kehidupan, tapi tak kunjung datang. Kota itu dikutuk.
Sebelumnya kota kecil itu ramai. Pasar riuh rendah dipenuhi kicauan pedagang dan ibu-ibu pembeli bahan penganan yang tawar menawar. Mobil dan motor berkeliaran memenuhi udara dengan polusi. Warung-warung kopi dipenuhi asap rok*k dan suara bapak-bapak berdebat politik seakan mereka tahu apa yang paling benar. Suara anak-anak bermain di gang-gang sempit, harum aroma masakan menghidupi kota itu. Kucing berteriak mengejar kucing, anjing menggonggong mengejar kucing. Ramai, kota itu kecil tapi begitu hidup.
Sampai setibanya saat itu, saat seorang suami menangisi istrinya, seorang ayah meratapi putrinya, seorang lelaki menaruh dendam pada kota itu. Istri dan putrinya dibunuh keji di siang bolong di alun-alun kota. Tempat paling ramai di kota itu, tempat pedagang kaki lima menjajakan dagangannya, mulai dari tukang bakso hingga tukang koran, tempat bapak mencari nafkah, tempat muda-mudi menghabiskan sore dengan bersendagurau, sepasang kekasih bermesra-mesraan. Tetapi siang itu tidak ada yang memerhatikan ketika ibu dan anak ditikam keji pencuri yang menginginkan uang dan perhiasan yang mereka bawa. Tidak ada yang peduli dengan teriakan minta tolong mereka. Setiap orang sibuk dengan urusannya masing-masing, penjual dengan barang dagangannya, lelaki dengan rok*k di mulutnya, pemuda dengan teman-temannya, seorang kekasih dengan pasangannya. Ketika semua sudah lewat, sang suami dan ayah hanya bisa berteriak nelangsa, meratapi kepergian istri dan anaknya.
Seorang diri menggotong mayat mereka dan menguburkannya di hutan di luar kota itu. Ia kembali ke jantung kota itu dan berteriak, “Kota ini akan mati, tidak ada manusia baru yang akan datang, yang lama akan menghilang. Orangtua akan meninggalkan anaknya, anak akan meninggalkan ayah dan ibunya. Suami akan meninggalkan istrinya, istri akan meninggalkan suaminya. Rumah-rumah dan jalanan akan kosong. Tak ada kehidupan lagi di kota ini. Ini kutukku pada kalian semua. Kutukku akan tinggal selama-lamanya.” Setelah berkata demikian, ia menembakkan beceng yang dibawanya tepat di kepala, menyusul anak dan istrinya.
Awalnya tidak ada yang percaya dengan kutukan itu. Tapi lama kelamaan apa yang dikatakan pria itu terwujud juga. Setiap harinya ada saja orang yang menghilang. Ayah yang tidak pulang, istri yang kabur entah ke mana, anak-anak pergi tak kembali. Yang di dalam tak bisa mencari keluar, ada kekuatan yang menahan mereka untuk mencari. Beberapa orang meninggal tiba-tiba, tanpa sebab yang pasti. Tidak lagi ada pendatang di kota itu. Tidak ada lagi ibu yang mengandung. Kota itu dipenuhi ratap tangis. Setiap hari kota itu semakin sepi. Tidak ada lagi orang yang berdagang di pasar dan alun-alun kota, warung-warung kopi tak lagi buka, tak lagi ada suara mobil dan motor yang berseliweran, tak ada lagi suara anak-anak bermain. Sekuat apapun keluarga menjaga sanak saudaranya pasti ada yang hilang tak kembali, sebaik apapun kesehatan di jaga akhirnya kematian menimpa mereka juga.
Tertinggal lah Mardi, satu-satunya yang tersisa di kota itu. Semuanya sudah tak ada lagi. Dari semua keluarganya, dari semua tetangganya, hanya dia lah yang masih bertahan di kota itu. Pasrah menunggu ajal. Ketidakpedulian membunuh kota ini, pikirnya. Andai waktu itu ada yang berusaha menolong istri dan putri pria itu, andai mereka tidak celahal ini tak mungkin terjadi, kota ini akan tetap hidup, keluargaku tak mungkin pergi. Apa hendak di kata semua sudah terjadi, sekarang aku hanya perlu menunggu kutukan itu menjemputku, membawaku ke tempat kutukan itu berasal.