"Jadi begitulah ceritanya," Aldian mengakhiri dongengnya.
"Just it?" Silvia heran.
"Ya, sejak saat itu aku ngerasa baik aku maupun Ariana jika tak sengaja bertemu selalu memancarkan aura tidak mengenakkan,"
"Sepele sih. Tapi ya, beda kepala beda pemikiran."
"Kemudian secara tak sadar perasaan itu perlahan tumbuh. Kalau kamu tanya alasannya apa? Jujur sampai saat ini aku tidak menemukan alasannya. Bukankah datangnya perasaan tanpa perlu alasan?"
"Al, sejak kapan jadi melankolis kaya gini. Aneh dengernya,"
"Sejak Ariana gak peka,"
"Alay! Mana Aldian yang dingin? Mana?"
"Aku kaya gini cuma ke Ariana. Kalau ke yang lainnya aku kembali lagi, dingin."
"Ckck, cinta cinta. Sampai kapan kamu akan terus seperti ini? Apa gak sebaiknya kamu segera ungkapkan, sebelum dia menjadi milik orang lain?" Silvia memberi saran.
Sejenak tampak sedang berpikir, "Kenapa? Takut ditolak?" sahut Silvia.
"Bukan itu. Aku takut dia masih mengharapkan laki-laki brengsek itu," Aldian mulai mengepalkan kedua tangan kokohnya itu.
"Brengsek? Apa bedanya sama situ? Masih mending Alvin. Ia memilih menjauh sebelum perasaan Ariana semakin jauh terhadapnya. Sedangkan anda? Maju tidak mundur pun tidak."
Aldian bungkam, dalam hati ia mengiyakan ucapan Silvia.
"Ikuti kata hati. Karena hati takkan pernah salah tuk memilih," menepuk pelan pundak Aldian lalu melenggang pergi membiarkan laki-laki itu sendiri.
--Aku bahagia melihatmu bahagia, Aldian Davino Aditama. Sorry, tanpa sengaja perasaan ini tumbuh, semoga kamu bahagia dengan wanita pilihanmu. Ku doakan kalian cepat-cepat bersama, karena sejatinya kalian sama-sama mencintai satu sama lain. I hope you happy with her-- Silvia
Tanpa sepengetahuan Aldian, kristal bening itu turun membasahi pipi Silvia.
--Aku mencintaimu Ariana Anne Pradipta. Ku harap kau segera menyadari perasaanku ini-- Aldian
Baik Aldian maupun Silvia langsung bergegas meninggalkan sekolah mereka, SMAN Pancasila yang terletak dijantung kota Surabaya.
Tanpa sepengetahuan mereka ada sepasang mata yang indah telah merekam semuanya dengan apik di dalam memori ingatannya. Tanpa si empu sadari, air matanya turun perlahan membasahi kedua pipi mugilnya itu sembari berkata, "Kenapa aku ga bisa sedeket itu sama kamu Al?"
🌨🌨🌨
Seorang perempuan berumur 16 tahun tengah berdiri melamun di depan balkon kamarnya. Sepoi-sepoi angin sedari tadi membuat rambut lurusnya menjadi berantakan. Bukannya terusik, ia malah menikmati suasana sore ini.
Selain menyukai hujan, ia juga menyukai pemandangan saat sunset maupun saat sunrise.
--Apakah salah jika aku memiliki perasaan ini? Ku akui, kini semuanya menjadi boomerang bagiku. Dulu, aku sama sekali tidak menyukai keberadaannya, dulu aku juga tidak ingin dipertemukan lagi dengannya, dulu aku juga tidak ingin berbicara, dekat, bahkan tidak ingin mengenalnya lagi. Namun, itu dulu. Ya, dulu. Jauh sebelum perasaan ini menghampiri. Sekarang?? Aku sangat menyukai keberadaanya, yang tak ayal buatku merindu, aku juga sangat menyukai saat-saat dimana aku tak sengaja bertemu dengannya, bahkan ketika sehari saja tak menatap sorot matanya yang tajam itu diriku sudah dihinggapi rasa rindu. Tak bisakah kita menjadi sekedat nadi Al, bukan sejauh matahari dan bumi. Jujur, aku merasa iri kepada Silvia yang dengan gampangnya dekat denganmu. Ada rasa sesak ketika aku melihatmu berbicara berdua dengan Silvia siang tadi. Aku mencintaimu Aldian Davino Aditama-- Ariana
"Tuhan, tak bisakah aku berjalan di sampingnya? Bukan berjalan di belakangnya? Sebagai sosok bayangan semu??" keluh Ariana dengan sorot matanya yang menatap sayu ke arah matahari terbenam.
"Udah 3 tahun dek. Kamu masih aja stuck. Apa kamu ga capek?" sahut seseorang tiba-tiba.
Ariana menoleh ke samping, "Udah pulang bang?" tanya Ariana pada abangnya, Delby
"Udah. Abang aja capek liatnya. Apa kamu ga capek? Menunggu seseorang yang belum tentu sedang menunggu kamu juga di sana?" Delby bertanya. Bukan apa? Ia hanya kasihan melihat kondisi adiknya ini. Delby tau sendiri, sudah banyak laki-laki yang menyatakan perasaanya kepada adiknya, namun tak satu pun dari mereka yang diterima. Ketika ia bertanya mengapa? Ariana selalu menjawabnya, "Aku masih sayang Aldian bang. Hati ini masih punya dia. Nanti kalo aku udah capek, aku janji bakal berhenti. Sekarang, aku masih belum capek bang. Jadi, biarin aku buat berjuang dulu bang,"
"Aku belum capek bang. Aku yakin suatu hari nanti Aldian akan berbalik ke arahku, menggantikan punggung tegap itu dengan dada bidangnya,"
"Masih banyak laki-laki di luaran sana. Milyaran bahkan dek. Life must go on!!" saran Delby.
"Ga segampang itu bang! Melupakan seseorang yang telah lama bersemayam di dalam hati ga semudah membalikkan telapak tangan," Ariana menimpali.
"Apapun keputusan kamu, abang selalu dukung kamu. Janji satu hal, kalau udah capek berhenti. Ga ada yang nyuruh kamu buat pura-pura kuat. Oke? My little sister?" sembari menjulurkan jari kelingkingnya di udara.
Ariana yang melihat itu tersenyum. Menautkan jari kelingking ketika berjanji adalah kebiasaan Ariana dan Delby sejak kecil.
Tanpa ragu Ariana menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking milik Delby, "I promise my brother," ujarnya mantap sembari tersenyum.
--Semoga kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan dek! Karena kebahagiaanmu adalah kebahagiaan abang juga-- Delby
"Besok abang anter ya?" tawar Delby.
"Abang ga ke kampus?"
"Ngampus lah. Mau makan apa nanti istri dan anak abang?" tanya Delby dengan senyum pedenya.
"Makan apa makan apa sekarang? Sekarang makan apa makan apa sekarang?"
"Ckck, makan ati. Huahaha,"
"Adek, abang! Daritadi mama panggil ga ada yang nyahut. Berasa kaya koran mama. Dibaca doang tapi ga dibales," kata tante Anifa dengan ekspresi yang dibuat-buat.
"Mamah curhat dong?" sahut Delby. Dengan gerakan serempak mereka berdua memeluk bidadari tak bersayap milik mereka.
"Selamat sore menjelang malam sayang," ucap tante Anifa kemudian mencium puncak kepala Ariana dan Delby bergantian.
"Makan yuk! Mama udah masakin banyak, khusus buat kalian."
"Ayo ma," ajak Delby sembari menarik lembut tangan tante Anifa dan Ariana.
Ketika sampai di meja makan, sudah ada om Pradipta yang sudah menunggu mereka sedari tadi.
"Delby, papa kan suruh kamu ajak adek turun buat makan malem. Kenapa malah nyangkut?"
"Hehe, ngisis (cari angin) dulu pa tadi di atas,"
"Udah-udah ga usah dibahas. Sekarang waktunya makan," ujar tante Anifa menengahi.
Kemudian keluarga om Pradipta mulai menyantap makan malam mereka dengan sesekali diselingi lelucon yang dibuat oleh Delby dan om Pradipta.
Di dalam lubuk hati Ariana yang paling dalam, ia sangat bersyukur memiliki keluarga seperti, keluarga yang hangat dan harmonis. Dambaan setiap orang bukan? Author juga :v
🌨🌨🌨
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain In The Pain
Novela JuvenilPerempuan pengagum hujan dan senja. Ia amat menyukai saat-saat turun hujan, namun kini hujan tak lagi menjadi sesuatu hal yang menyenangkan baginya, tetapi telah bermetamorfosa menjadi sesuatu yang teramat menyesakkan dadanya. "Hujan yang mempertem...