Semua di awali dari pertemuan mereka pada tahun 2015 pada salah satu mata kuliah jurusan yang diambil Aneta. Saat itu adalah semester lima di bulan Oktober ketika tugas, deadline, dan berbagai macam kegiatan lainnya menghantui seluruh mahasiswa Sastra Inggris Unpad. Semua teman-teman kuliahnya sibuk membaca ulang materi-materi yang akan dibahas hari ini bersama dengan dosen pengampu, begitu pula dirinya. Maklum, jika mereka tidak bisa menjawab pertanyaan yang dilemparkan oleh dosen itu, bisa dipastikan mereka semua akan kena semprot. Bahkan yang tidak kebagian tunjuk.
Suasana kelas langsung berubah menjadi hening ketika sang dosen pengampu datang dan menduduki singgasananya. Semua mahasiswa mengamati gerak-gerik laki-laki berumur pertengahan 40an itu dengan seksama. Sebenarnya dosen laki-laki itu tidak galak hanya saja aura ke-dosen-annya menguar sangat jelas sehingga semua mahasiswa menaruh hormat padanya.
"Is there any question about our last reading material regarding Jameson?" dosen yang bernama Bapak Rai mengedarkan pandangannya ke seluruh wajah mahasiswa-mahasiwanya. Sementara itu, mahasiswa-mahasiswa yang sejak tadi memperhatikan Pak Rai otomatis berubah raut wajahnya menjadi satu kesatuan: panik. Mereka termasuk Aneta segera membuka dan membaca kembali materi minggu lalu dan pembahasannya.
Gawat kalau sampai kuis dadakan. Gue ga baca lagi materi kemaren. Mama doakan anakmu ini semoga selamat dari terkaman kuis dadakan. Aneta komat-kamit di dalam hatinya saat tangan dan matanya dengan terburu-buru membolak-balik halaman buku yang ada di depan dia.
Suara daun pintu yang bergesekan dengan lantai memecah konsentrasi Aneta pada bukunya. Ah, paling juga si Puji ke kamar mandi. Dia kan super beser. Apalagi kalau ada kemungkinan kuis mendadak kayak gini. Udah konsen baca aja Ta! Namun, perempuan itu tidak bisa menahan rasa penasarannya. Dengan kepala yang ditundukkan, Aneta menoleh pelan-pelan ke arah pintu masuk untuk melihat siapa yang keluar dari kelas.
Ternyata, eh, ternyata, bukan Puji tersangka yang membuka pintu keramat itu melainkan dua sosok asing yang sebelumnya tidak pernah Aneta temui di mana pun. Dua laki-laki dengan tinggi sekitar 175 cm itu memasuki ruangan dengan santai seakan keterlambatan lima belas menit yang mereka lakukan bukan merupakan hal yang besar. Laki-laki yang paling kurus mendekati Pak Rai dan menyalaminya lalu mereka pun terlibat obrolan basa-basi yang Aneta tidak dapat dengar seberapa kerasnya pun dia menguping. Siapa mereka?
Seakan menjawab benak Aneta yang berspekulasi dari sejak kedatangan dua sosok misterius itu, Pak Rai berdiri dari kursinya dan memperkenalkan mereka.
Pak Rai menunjuk laki-laki yang lebih kurus sambil berkata, "Ini ada dua tamu dari kampus tetangga yang katanya pengen ikut belajar mata kuliah ini. Yang ini namanya Henriko dari jurusan Kimia yang satu lagi namanya Kio dari jurusan Fisika. Silakan duduk di kursi yang masih kosong."
Kedua laki-laki itu duduk di samping kanan Pak Rai, satu-satunya tempat yang kosong di meja yang berbentuk huruf U ini. Perkuliahan pun dimulai dengan Pak Rai yang menjelaskan mengenai teks dan cara kerja teks yang langsung disambut oleh para mahasiswa dengan desahan pelan pertanda kelegaan terbebas dari interogasi Pak Rai.
Di lain sisi, Aneta tidak dapat mengalihkan pandangannya dari laki-laki yang katanya bernama Henriko itu. Perempuan itu mengamati dengan teliti setiap gerak-gerik laki-laki bertubuh tinggi, kurus, dan hitam manis itu seperti seekor singa yang sedang mengawasi mangsanya.
Ebuset kok gue mengumpamakan diri gue gitu banget sih. Ngeri amat. Udah ah fokus puteri fokus!! Aneta menggelengkan kepalanya berusaha untuk mengenyahkan segala pikiran yang menyangkut sosok asing itu. Dengan sigap, perempuan itu membuka materi perkuliahan siang ini lalu memperhatikan Pak Rai yang sedang menjelaskan mengenai teori karangan Barthes yang sempat Pak Rai ucapkan sebelumnya. Posisi itu Aneta pertahankan sampai tiga jam ke depan tanpa gangguan.
---
Kumandang adzan maghrib dari luar memenuhi ruang kelas tempat Aneta sedang menimba ilmu. Ya, sudah tiga jam setengah Aneta dan teman-temannya mendengarkan ilmu-ilmu yang disampaikan oleh si dosen tercinta. Bukan, bukan karena jadwal mata kuliah itu memang membutuhkan waktu sekian jam. Nyatanya, mata kuliah tersebut seharusnya berakhir pukul empat sore tadi tapi sang dosen terlalu asyik bercerita dan menjelaskan mengenai materi perkuliahan.
"Yaudah sana keluar. Kalau kalian masih diem di sini nanti saya lanjut lagi nih ngomongnya," Pa Rai mengusir semua mahasiswanya secara halus. Ngeri juga sih kalau tinggal lama-lama di sini dan dengerin omongan dia. Pantatku sudah tak kuat lagi...
Sebagian teman-teman Aneta sudah keluar ruangan terlebih dahulu sedangkan Aneta dan tiga sahabatnya yang lain masih membereskan laptop dan buku-buku mereka.
"Gila ya si Pak Rai. Gak cape apa ngomong tiga setengah jam nonstop. Kuping sama otak aku aja udah kepanasan," ungkap Vian, salah satu sahabat Aneta yang paling cantik kembang desa Tasik.
"Iya bener Vi. Pantatku sampai kepanasan gini," Aneta meringis sembari mengusap-usap pantatnya dengan tangan kanan dia.
"Jorok kamu Net!" Tian, perempuan dengan mata sipit dan kulit sawo matang, berseru sembari memukul pundak Aneta dengan pelan.
"Lah si Aneta kan emang jorok dari dulu. Nyablak lagi tuh mulut," timpal Aya, sahabat Aneta lainnya yang memiliki kulit cokelat yang manis, hidung mancung, dan mata almond seperti kucing.
Aneta tertawa terbahak-bahak sambil berjalan keluar kelas dan terus bercanda dengan sahabat-sahabatnya. Langkah dan candaan keempat perempuan tadi terhenti saat melihat Pak Rai dan dua laki-laki mahasiswa kampus tetangga itu sedang mengobrol mengenai materi yang tadi beliau sampaikan. Dengan ragu, keempat perempuan itu pamit ke Pak Rai dan dua laki-laki lainnya karena mereka harus melewati orang-orang itu dulu jika ingin menuruni tangga menuju ke lantai dasar dan keluar.
"Duluan ya Pak Rai," keempat perempuan itu berbicara serentak dan menganggukan kepala mereka pada Pak Rai dan dua lelaki itu sebagai salam perpisahan mereka. Lalu, mereka segera melangkah ke arah tangga karena takut akan dilibatkan dalam obrolan para lelaki itu sehingga waktu pulang mereka harus semakin molor lagi.
Ketika Aneta akan menuruni anak tangga yang pertama, perempuan berkulit cokelat itu melirik ke arah tiga laki-laki tadi. Ah, lebih tepatnya ke laki-laki tinggi dan kurus itu. Hidung bangirnya. Senyum manisnya. Dan jakun dia yang bergerak saat dia tertawa maupun berbicara. Tidak ada yang spesial dari semua yang Aneta lihat karena banyak laki-laki yang memiliki ciri fisik seperti lelaki yang bernama Henriko itu. Namun, tanpa Aneta bisa mengerti, ada gelenyar aneh yang bersarang di perutnya ketika Aneta melihat Henriko.
Mungkin karena ini pertama kalinya ada mahasiswa jurusan dan kampus lain yang ikut mata kuliah ini. Ya, mungkin itu...
***
Haloooo semuaaa... Adakah yang menunggu kelanjutan cerita (engga) seru ini? Ga ada yah :")
Sebenernya aku mau upload kemarin malem tapi ekeu ketiduran. Huhuhu... Mungkin karena kecapean di tempat kerja juga. Semoga minggu depan ga molor lagi ya jadi aku bisa double update setiap weekend :")
Terima kasih buat kalian yang berkenan baca. Jangan lupa kasih vote dan komentar. Sesungguhnya satu vote dari kalian para pembaca adalah sebuah kebahagiaan yang hqq bagi penulis amatir seperti saya. (Eh tapi kayaknya yang baca ni karya cuman aku aja ya. Sedih amat)
See you on the next part! xMB
KAMU SEDANG MEMBACA
Pupus
ChickLitAneta tahu bahwa semua ini hanya sebuah permainan yang dia ciptakan untuk menguji seberapa lapang hati dia. Tapi, haruskah dia tetap bertahan saat permainan ini semakin membawanya jatuh terperosok ke dalam lubang yang entah di mana akhirnya? Warning...