Potongan 6

46 4 0
                                    

Tidak akan lagi Aneta menyimpan harapan palsu akan cinta dan menumbuhkan biji mimpi yang tak tersiram air. Sakitnya seperti ada yang dengan sengaja mencubit dadamu dengan keras dan lama. Sudah cukup dia berangan-angan bahwa semua kedekatan mereka yang terjalin lewat layanan perpesanan adalah tanda bahwa lelaki itu menyukainya. Pada kenyataannya, lelaki penebar harapan palsu itu sudah punya seseorang yang dia panggil dengan mesra.

Aneta juga bersalah dalam hal ini karena dia dengan beraninya berpikir bahwa akan ada seutas harapan yang terjulur dan air yang turun saat dia sendiri tidak terlalu yakin apakah kedekatan mereka yang selama ini terjalin adalah kisah romansa. Ingatkan Aneta untuk tidak lagi terbawa perasaan hanya karena laki-laki itu memilih untuk mengobrol dengannya. Mulai sekarang, dia akan membumihanguskan seluruh ladang rasanya. Dimulai dengan mengabaikan lelaki itu. Sulit memang apalagi sekarang posisi mereka sedang bergotong royong membereskan perpustakaan dengan teman-teman Aneta dan Pak Rai. Tapi, Aneta harus melakukannya sebagai langkah awal untuk mematikan perasaannya.

"An, kalau rangka besi ini ditaro di mana?" Henriko bertanya pada Aneta yang sedang fokus merangkai rangka besi lainnya dengan baut untuk membentuk bagian depan rak. Sebenarnya Henriko sudah tahu jawabannya karena tadi Pak Rai sudah mengintruksikan dengan sangat jelas tapi laki-laki itu bertanya lagi untuk memulai obrolan dengan Aneta yang mengabaikan kedatangan pria itu sejak sore tadi. "Aneta, sstt! Di mana?"

"Tadi kan Pak Rai udah bilang senderin aja di dinding belakang kamu! Denger ga sih?" masih dengan tatapan yang berfokus pada besi-besi di hadapannya Aneta menjawab pertanyaan Henriko. Kasar memang tapi mau bagaimana lagi. Hati Aneta masih rapuh dan panas. Sekali senggol, mulutnya bisa membunuh orang-orang yang mengganggunya.

"Galak amat neng. Kan aku cuman nanya."

"Biarin. Suruh siapa nanya ke aku," Aneta kembali tidak menghiraukan lelaki yang berada di sampingya kurang dari lima langkah saja. Perempuan itu takut jika dia kembali memperhatikan Henriko terlalu lama, dia akan terjatuh dalam lubang perasaan yang entah seberapa dalamnya.

Mereka kembali mengerjakan pekerjaan mereka tanpa ada obrolan yang mengisi udara malam hari itu. Rak buku itu harus selesai malam ini juga agar semua buku-buku yang tergeletak tak berkamar bisa dirapikan ke tempat baru yang lebih nyaman. Bahkan saat mereka makan bersama pun, Aneta tidak sudi untuk duduk dekat dengan Henriko. Aneta tahu sikapnya ini bisa menimbulkan sakit hati pada lelaki itu tapi Aneta ingin egois sesekali. Biarlah dia dicap sebagai wanita judes dan galak asalkan hatinya terselamatkan.

"Net, jangan terlalu galak gitu ke si Riko. Kasian dia udah datang dari Bandung buat bantuin kita tapi sama kamu malah dijudesin gitu," Tian menasehati Aneta yang sedang makan di sebelahnya. Aneta yang mendengar nasehat dari sahabatnya itu hanya bisa memanyunkan bibirnya saja. Tidak tau apa kalau gue lagi usaha buat jaim di depan dia?

Namun, takdir sepertinya tidak terlalu berpihak pada Aneta saat Pak Rai tiba-tiba saja nyeletuk pada Henriko tepat setelah mereka semua kembali berkutat dengan pekerjaan mereka, "Rik, jadi kamu ke nangor cuman buat bantuin bikin rak buku aja? Baik banget." Pak Rai tersenyum penuh makna sementara matanya tidak henti melirik Aneta yang posisinya berada di sisi kiri Pak Rai. "Atau jangan-jangan kamu punya maksud lain lagi datang ke sini. Ya ga Net?"

Mampus! Itu kok Pak Rai bisa tau ya gue suka sama si Henriko. Kerjaannya si Tian atau Aya nih ini mah. Awas aja nanti gue bocorin rahasia mereka ke Pak Rai! Pengkhianat kalian Tian dan Aya! Kalimat-kalimat tersebut hanya terlintas di benak Aneta karena nyalinya ciut jika harus mengamuk di depan Pak Rai dan Henriko. Dengan pipi yang memerah dan rasa malu yang sudah di ubun-ubun, Aneta melemparkan tatapan mautnya kepada dua sahabatnya itu. Tian dan Aya yang melihat tatapan maut Aneta hanya terkikik melihat Aneta dipermalukan secara tidak langsung oleh Pak Rai sambil pura-pura memasang baut di engsel besi yang menghubungkan tiang rak dan penyangga bawah rak.

"Maksud lain apa Pak? Saya tadi dikasih tau Aneta aja kalau di sini lagi bikin rak buku gitu jadi ya udah saya ke sini niatnya pengen bantuin," Aneta tidak bisa membaca raut wajah Henriko saat Henriko menjawab pertanyaan Pak Rai. Tapi, dia bisa merasakan kalau biji yang telah dia tanah memang membusuk. Sudah tidak layak tanah lagi.

"Ooooh jadi karena si Aneta bilang lagi butuh bantuan ya. Oke oke," Pak Rai mengangguk-anggukan kepalanya seakan pernyataan Henriko memiliki maksud terselubung yang hanya dia saja yang mengerti. "Tuh Net dia ke sini cuman pengen ngebantuin kamu aja. Jangan berharap lebih ya!" Pak Rai menambahkan rasa malu yang telah Aneta rasakan menjadi rasa ingin di telan oleh Bumi. Please Pak, stop it. I've had enough.

Tangan dan perhatian Aneta sengaja perempuan itu alihkan sepenuhnya pada perakitan rak buku yang sedang dia kerjakan. Pura-pura tuli adalah satu-satunya cara yang Aneta bisa pikirkan agar dirinya tidak larut dalam rasa malu yang menenggelamkan seluruh harga dirinya. Namun, dia dapat merasakan dan melihat melalui ujung matanya bahwa Henriko diam-diam mencuri pandang ke arah Aneta.

Ah, buat apa juga Aneta peduli. Kedoknya sudah terbongkar. Biarkanlah. Lagi pula Aneta sudah bertekad bahwa dia akan mengubur dalam-dalam benih cinta yang telah dia tanam sejak beberapa bulan lalu.

---

Suasana kamar bercat hijau itu telah gelap gulita dan senyap. Suara-suara bising kendaraan yang lewat di depan rumah digantikan oleh suara deras air hujan yang menyentuh genting. Seharusnya malam dan hujan bisa membuat perasaannya lebih tenang. Seharusnya bau hujan bisa membuatnya terbawa ke alam mimpi. Seharusnya hujan bisa menajadi nina bobo yang paling ampuh di malam hari. Sayangnya, cerebrum dan mensesefalonnya berkehendak lain. Memori mengenai kejadian satu tahun lalu menyerbu dengan membabi buta seperti iklan ekstrak kulit manggis. Matanya nyalang menatap langit-langit kamar yang hitam.

Tidak ada titik khusus di langit-langit itu yang menyandera perhatian Aneta. Matanya terbuka namun dia melihat hal lain. Hal yang cerebrumnya perintahkan untuk dilihat seperti cuplikan adegan terakhir film Ryan Gosling dan Emma Stone.

Jadi, aku harus apa? Aku ingin apa?

Dengan satu tarikan napas yang panjang, Anetamenutup matanya dan kembali mencoba untuk bertegur sapa dengan gerbang alambawah sadar. Berharap semoga di sana ada jawaban yang menanti untuk dipetik. Berharap semoga jawaban itu adalah jawaban terbaik untuk kewarasan hatinya.

***

Halooooooo!!! Ada yang nungguin kelanjutan cerita ini? wkwkwkwk... Maaf ya sedikit ngaret. Moodku akhir-akhir ini terjun bebas kayak lagi bungee jumping. Maaf juga part ini sedikit. Daripada panjang tapi feelnya ga dapet jadi yaaaaaa. hahahaha

Bagi yang baca The Age of Enlightenment, sabar yaaaa. Aku masih ngumpulin ide. Secepatnya akan aku update. Thank you xMB

PupusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang