Dengan langkah yang gontai, perempuan bercelana jeans hitam dengan blouse berwarna senada memasuki kamar kosannya setelah bekerja hampir dua belas jam hari itu. Bulan April memang selalu menjadi bulan tersibuk di tempatnya bekerja. Sialnya bagi orang-orang yang pekerjaannya mengharuskan mereka untuk terjun ke lapangan, peak season bukan saja mengenai jam pulang kantor yang molor tapi juga survei ke sana ke mari demi kelancaran pekerjaan. Seperti perempuan itu yang kini terkapar di kasurnya. Sudah seminggu ini dia pulang di atas jam tujuh malam dan pergi dari satu ke tempat ke tempat lain bagaikan tupai. Hah! Jadi orang dewasa memang berat...
Perempuan itu memejamkan matanya. Dia tahu seharusnya dia tidak boleh tidur dulu karena wajahnya masih penuh dengan riasan dan debu-debu polusi. Tapi, ah, badannya terlalu lelah untuk sekedar duduk saja.
Saat matanya berusaha untuk memanggil rasa kantuk yang selalu singgah tiap kali dia bekerja, alam bawah sadarnya menampilkan potongan ingatan yang sudah dua bulan ini dia berusaha lupakan.
---
Dua bulan yang lalu...
Dia tidak bisa tidur. Jantungnya berdentum keras mengingat percakapan terakhir dia dengan seseorang di sana. Dia sadar bahwa apa yang dia lakukan sekarang hanya menunda konflik yang pasti akan menyerang dan memporak-porandakan hidupnya. Dengan hati yang masih gelisah, perempuan itu memutuskan untuk membuka matanya kembali. Dilihatnya ponsel pintar yang tergelak di lantai tepat di samping tempat tidur.
Dia ragu. Namun, dia berusaha menguatkan hatinya dan akhirnya kembali menghidupkan ponsel yang sepuluh menit lalu sempat dia matikan. Seperti dugaannya, ada tiga pesan dari lelaki itu. Aneta menghela napas yang dalam sebelum memberanikan diri membuka pesan tersebut.
Henriko Ali:
Iya kita emang temenan.
Maksud kamu dengan pesan yang tidak jelas itu apa, An?
Boleh diperjelas biar aku tau?Aneta memejamkan matanya. Dia berdoa di dalam hati agar diberikan kekuatan untuk menyelesaikan hal yang mengganjal di antara mereka. Setelah berpikir cukup dalam, Aneta akhirnya menggerakan jari-jarinya di atas layar sentuh ponselnya. Mengetikkan balasan pada lelaki yang sudah membuatnya jatuh bangun selama bertahun-tahun.
Me:
Jujur ya Rik. I liked you. A lot. Entah sejak kapan.
Dan kamu, aku ga tau harus ngeartiin sikap kamu ke aku itu apa. Call me stupid I don't care tapi aku bener-bener buta arah kalau orang yang aku suka ga pernah secara gamblang bilang suka juga.
Orang lain mungkin bilang sikap aja udah cukup untuk memperlihatkan bahwa seseorang suka atau engga tapi menurut aku itu engga cukup, Rik. We still need to say the words. I still need the words karena aku bukan cenayang yang bisa nebak jalan pikiran orang.
Henriko Ali:
Aku juga suka kok sama kamu, An.
Sorry kalau aku ga pernah bilang. Aku kira kita cukup jalanin aja tanpa perlu ada acara tembak-tembakan gitu.Me:
Bukan itu maksudku, Rik.
Ga ada acara tembak-tembakan juga ga masalah buat aku. Seengganya, sedikit aja kamu bilang kamu tertarik sama aku. That's enough. Tapi ini mah engga sama sekali. Mungkin menurut kamu cara berpikir aku cukup aneh. But, that's me.
Dan, sorry Rik. My confession is in past tense.
Cukup lama bagi lelaki itu untuk membalas pesan terakhir yang Aneta kirimkan. Mungkin dia terlanjur sakit hati jadi dia tidak berniat untuk membalasnya. Harusnya dia tidak perlu bertindak sekejam itu. Lagi pula bukan salah Henriko sepenuhnya kesalahpahaman ini ada. Dia turut andil karena sejak awal tidak berani memberi lelaki itu peringatan bahwa Aneta memandang Henriko sebagai lelaki.
Ping!
Hati Aneta kembali bergemuruh saat mendengar notifikasi pesan masuk ponselnya. Tarik napas... Buang... Let's end this now.
Henriko Ali:
Oh gitu...
Maaf kalau selama ini ternyata kamu ngerasa begitu. Aku kira sikapku ini udah nunjukin ke kamu kalau aku suka ke kamu.
Jadi sekarang kamu maunya gimana?Aneta berpikir keras. Apa yang dia mau? Henriko telah menyambut perasaannya juga. Jadi, apa yang dia tunggu? Mereka bisa melanjutkan hubungan ini ke arah yang lebih jelas.
Namun, hati Aneta tidak merasakan getaran yang mendamba saat membaca pesan hati Henriko. Hatinya sudah terlanjur hambar.
Me:
Aku...
Aku apa, Aneta? Berbagai hal yang ingin dia katakan kepada Henriko berhamburan di kepalanya. Tentang perasaannya. Tentang rasa kesalnya. Tentang keinginannya. Tentang dia.
Me:
Semuanya udah di masa lalu, Rik. Perasaan aku. Keinginan aku.
Kita emang ga cocok untuk berstatus lebih dari teman. Jadi, mending kita balik ke kehidupan kita masing-masing. Masih banyak mimpi-mimpi yang belum sempat kita kejar. Mungkin nanti, setelah semuanya tergapai, kita bisa menyambung apa yang kita telah lepaskan. Tapi, jika tidak diberi kesempatan, mungkin memang seharusnya begitu...
---
Lelaki itu tidak pernah lagi membalas pesannya semenjak hari itu. Semenjak pengakuan Aneta yang terlampau menyakitkan itu. Aneta tahu jika posisi mereka dibalik, dia pun tidak akan sudi untuk mengubungi dirinya kembali. Masih banyak perempuan di luar sana yang tidak serumit dia.
Aneta membuka matanya. Kehidupan cintanya tidak pernah berjalan mulus semenjak dia mengenal apa itu cinta. Dia sebenarnya sangat ingin seperti teman-temannya yang memiliki peruntungan lebih dalam hal percintaan. Tapi sepertinya Tuhan berkehendak lain.
Setidaknya, dia masih punya mimpi yang belum sempat dia kejar. Ada keluarganya yang mendukung setiap langkah yang dia buat. Yah, walaupun tetap saja ibunya sering memberi wejangan mengenai pasangan. Ada pula sahabat-sahabatnya yang selalu meyakinkan Aneta bahwa dia tidak sendiri di dunia ini. Bahwa tanpa adanya pasangan, masih ada mereka yang akan memberikan dukungan untuk setiap mimpi yang ingin dia gapai dan makian untuk setiap langkah yang salah.
Dia masih sanggup berdiri dengan kedua kakinya. Dia masih sanggup melihat ke depan.
Aneta tersenyum. Ya... Jangan terlalu dipikirkan. Dia masih muda. Selagi dunia masih memberikan dia kesempatan, dia harus terus bangkit.
Aneta pun bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan sisa-sisa riasan dan polusi yang menempel di wajah dan tubuhnya.
TAMAT
Jangan timpuk aku ya guys. Cerita ini memang dirancang sebagai cerita pendek. Hehehe...
Dan maaaaaafff sekali butuh waktu yang lama buat aku untuk menyelesaikan satu bagian terakhir dari cerita ini. I'm really sorry..
At last, I hope you enjoy my story :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pupus
ChickLitAneta tahu bahwa semua ini hanya sebuah permainan yang dia ciptakan untuk menguji seberapa lapang hati dia. Tapi, haruskah dia tetap bertahan saat permainan ini semakin membawanya jatuh terperosok ke dalam lubang yang entah di mana akhirnya? Warning...