Potongan 8

28 4 2
                                    

Orang bilang jaman sekarang itu sudah tidak aneh lagi perempuan menyatakan perasaannya pada lelaki. Lebih baik maju duluan dari pada keburu diambil yang lain dan kita gigit jari. Begitulah yang sering Aneta dengar.

Kalau boleh jujur, Aneta sudah hampir melakukannya. Setiap dia dan Henriko melakukan video call, kata-kata suka itu sudah menggantung di ujung lidahnya. Ya, hanya menggantung. Katakan Aneta pengecut tapi dia sungguh takut bila perasaannya tak berbalas. Atau lebih parah lagi, digantungkan.

Ketakutannya ini bukan hanya datang dari omongan Kio, melainkan juga dari kilasan masa lalu di mana Aneta dan Henriko pernah terlibat argumen.

---

Hari minggu pagi di perpustakaan Sastra Inggris tepat setelah Aneta dan teman-temannya membereskan perpustakaan itu malam sebelumnya. Kali ini, semua penghuni perpustakaan sudah bangun walaupun mereka hanya tidur kurang dari empat jam.

Vian dan Tian, kembar beda bapak ibu, sedang pergi mencari makan titipan teman-temannya. Aya sedang anteng membaca komik DC di laptopnya. Aulia menuntaskan hajatnya di wc sebelah. Aneta melanjutkan bacaannya tentang Tuan Jim sambil tiduran. Sedangkan Henriko duduk di hadapan kedua gadis itu sambil memainkan ponselnya.

"Ih boneka American Girl lagi diskon 10%! Mau mamaaaah," Aya yang sedang anteng tiba-tiba saja merengek membuat Aneta yang ada di sampingnya melirik ke layar laptop perempuan itu.

"Buseeet. Diskon aja harganya masih $100. Mahal amat boneka gituan aja. Mending juga buat beli gawai duitnya Ya," Aneta yang memang bukan penggemar boneka itu menatap ngeri pada harga yang tertera untuk satu boneka American Girl. Dia tidak pernah bisa mengerti pemikiran temannya ini yang suka mengkoleksi boneka untuk anak umur 8-13 tahun padahal dia sendiri umurnya sudah 19 tahun.

"Aku udah ngincer Samantha Parkington dari jaman dulu, Net. Udah nabung juga. Tapi tetep aja belum nyampe tabungannya. Pengeeeen. Beliin dong Net."

"Ih ogah. Inget umur Ya. Udah ga pantes kamu masih ngoleksi boneka begituan," Aneta kembali pada bacaannya meskipun otaknya masih tak habis pikir kenapa boneka yang seperti boneka bayi harga 25 ribu jaman dia SD itu bisa dibandrol jutaan rupiah. Mending juga duitnya buat beli emas. Investasi dini.

"Kalau kamu mau ngoleksi boneka gituan, mending cari pacar atau suami sekelas Bruce Wayne. Sejahtera dah tuh hidup kita kalau punya suami sekaya dia," jelas Aneta.

"Jangan dengerin Aneta, Ya. Sesat dia mah. Nyari laki tuh harus kayak aing. Pintar dan bersahaja," celetuk Henriko yang sejak tadi tak bersuara. Kontan saja Aya dan Aneta mengalihkan pandangan mereka pada lelaki itu.

Aneta merasa dirinya disindir mata duitan secara tidak langsung oleh Henriko. Yah maklum perempuan dan intuisi mereka.

"Lah emang pinter sama kesederhanaan bisa bikin kenyang? Mau dikasih makan apa anak sama istri kalau duit aja ga ada? Aku mah realistis aja ya Rik. Duit itu penting jaman sekarang. Bisa apa kamu tanpa uang?" sosor Aneta dengan mata berapi-api.

"Nah ini nih makanya aku ga mau pacaran atau nikah sama orang Sunda. Matre semua ceweknya," Henriko membalas ucapan Aneta dengan santai.

Aneta semakin kebakaran jenggot mendengar penuturan lelaki yang dia taksir itu. Dia tidak pernah menampik bahwa dia adalah perempuan materialis selama ini karena dia tahu seberapa berharganya uang untuk keberlangsungan hidup di era yang serba mahal ini. Memang salah ya jika dia ingin hidup dia dan keluarganya kelak tidak kekurangan apapun?

"Catet ya Rik. Gue matre. Ya itu emang bener. Gue akuin itu. Perempuan Sunda kamu generalisasikan sebagai perempuan matre. Salah besar. Ga semua perempuan Sunda kayak gue. Kamu ga berhak bilang gitu. Emang kamu pernah macarin semua perempuan Sunda di dunia ini?"

Sungguh. Kalau Henriko hanya mengatakan Aneta matre, dia mungkin tidak akan semarah ini. Sedikit tersinggung mungkin iya karena konotasi matre yang Henriko ucapkan itu condong ke arah uang. Tapi, lelaki ini mencap satu populasi perempuan suku Sunda sebagai orang yang materialis. Bukannya lelaki ini sudah pernah masuk kelasnya Pak Rai yang selalu menegaskan bahwa menggeneralisasikan suatu hal itu berbahaya?

"Bukan gitu maksudku An. Salah ngomong aku. Maksudnya, perempuan Sunda yang aku temuin kebanyakan matre," dengan terbata-bata dan raut cemasnya Henriko mencoba menjelaskan maksud omongannya pada Aneta.

"Ya kamu ngomongnya yang jelas dong makanya. Coba kalau kamu ngomong ke temen kamu yang lain. Kamu pasti ga akan nyadar bahwa omongan kamu itu salah dan menimbulkan persepsi negatif."

"Iya maaf An. Ga sengaja. Sumpah," Henriko membentuk huruf V dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Namun, Aneta yang sudah keburu kesal tidak menanggapi permintaan maaf Henriko. Dengan wajah cemberut, perempuan itu kembali melanjutkan bacaannya. Dalam hati, dia berbisik, ilfil dah gue sama lelaki macam gitu.

---

Masih lekat di hatinya rasa kesal yang menggerogoti nurani. Tapi, lagi-lagi, Aneta menjadi buta pada cinta saat bertemu Henriko lagi setelah sekian lama mereka tak bertemu. Otaknya takluk pada perasaan abstrak itu sehingga melupakan kejadian yang membuat dia bersumpah bahwa lelaki yang berpikiran serendah itu tidak pantas diberi hati.

Mungkin Tuhan sayang pada Aneta karena lagi-lagi dia diberi petunjuk melalui Kio mengenai sifat lelaki idamannya itu. Harusnya Aneta bisa bertindak tegas setelah diberi petunjuk.

Tapi, apa daya. Dia manusia. Dia meragu. Dia teringat pepatah yang berkata tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini jadi kita harus bisa memaafkan. Ada juga yang bilang bahwa seseorang tidak berhak dinilai dari masa lalunya jika pada masa sekarang orang itu sudah taubat.

Namun, pantaskah dia memberi kesempatan kedua pada lelaki yang lagi-lagi menilai seorang perempuan dari sukunya? Aneta ingat betul obrolannya dengan Henriko beberapa waktu lalu saat mereka jalan di Ciwalk sehabis perempuan itu pulang kerja.

Saat itu malam hari jam delapan. Henriko bilang dia akan pergi lagi ke Jakarta esok hari setelah peliputannya selesai. Jadi, dia meminta untuk bertemu dengan Aneta walaupun Aneta sebelumnya sudah menolak.

Aneta masih ingat mereka berjalan tak tentu arah mengelilingi Ciwalk sampai akhirnya memutuskan untuk makan karena perut Aneta belum diisi dari siang. Rumah Tong Tji jadi pilihan Henriko saat Aneta bilang bahwa dia ingin makan makanan yang tidak terlalu berat.

Mereka mengobrol ngalor-ngidul sembari menunggu makanan datang. Entah itu suatu ajakan terselubung atau sinyal dari Tuhan, Henriko berbicara tentang keinginannya untuk mencari pasangan.

Sayang seribu sayang, Henriko menceritakan pengalaman berpacaran interrasial dia selama hidupnya disertai dengan banyolan, "perempuan Medan mah gini yah," "perempuan Padang mah gitu yah," dan masih banyak lagi.

Kesal? Jangan ditanya lagi. Namun, Aneta sadar bahwa Henriko ini bukan anak Humaniora jadi dia masih harus dibimbing. Dengan sabar Aneta menjelaskan kembali bahwa apa yang Henriko bicarakan itu namanya rasis. Untungnya, Henriko mengerti. Mungkin. Aneta tidak bisa membaca hati manusia jadi dia hanya husnudzan saja.

Sejak kejadian itu terulang lagi, Aneta semakin meragu pada perasaannya sendiri dan lelaki yang selama ini selalu dia gambarkan dengan cat yang berkualitas pada kanvas yang dia sebut cinta.

Sebutlah Aneta terlalu muluk dan idealis. Namun, Aneta tidak mampu menampik semua ajaran yang telah dia terima semasa kuliah. Apa gunanya kalau pada akhirnya dia melanggar prinsip hidupnya sendiri?

Dipejamkannya mata Aneta. Mencoba mencari jawaban di balik kelopak. Dia harus segera memutuskan sikap sebelum dia terlanjur jatuh. Sebelum dia membuat orang lain terperangkap dalam lubang yang dalam.

Tuhan mungkin mendengar doa Aneta. Yang Maha Tahu itu pun membisikan jawaban yang Aneta cari selama ini...

***

Akhirnya.... Di tengah rasa mual yang tak terhingga dan tumpukkan pekerjaan yang menggunung, I finished this part!!!! This is especially for you dear readers :")

Jangan lupa tinggalkan jejak yaaa. Vomment kalian adalah obat kepuyenganku saat jadwal lembur membludak.

See you on the next chapter! xMB

PupusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang