Bab 3 Saat Namamu Disebut...

1.2K 28 5
                                    

Sinar mentari mulai menunduk. Teriknya tak lagi setajam sejam yang lalu. Sepoi-sepoi angin bercampur debu knalpot menelusuk paru-paru. Udara Jogja tak sebaik dulu. Bau bensin lebih menyengat. Kepadatan yang meningkat, semakin lama tak terhindarrkan. Mungkin tak separah jakarta, tapi satu tahun berikutnya akan mengungguli ibukota. Aisyah menyelusuri gang kecil untuk menghindari kemacetan. Letak pesantren yang berdekatan dengan alun-alun kidul jogja, akhir pekan seperti ini akan dipadati dengan wisatawan. Bus-bus pariwisata terparkir menghalangi jalan. Bahkan terkadang jejeran bus wisata, pernah sampai kehalaman pesantren.

slogan Jogja kota istimewa dengan segudang keindahan dan sejarah dengan tradisi yang melekat. Blangkon, batik Lurik merupakan bagian didalamnya. Sepanjang jalan, Aisyah selalu menngklakson tukang bejak membawa wisatawan. Jalan yang sudah sempit, tukang bejak yang menumpuk, semakin sempit. Dengan penuh kesabaran, Sekarang, ia memasuki area pesantren. Kedatanganya disambut dengan papan yang melingkar di pintu gerbang bertuliskan 'Tegakkan Tauhid'.

Kalau tadi ia harus tahan dengan polusi, menginjak di pesantren udara akan berubah. Disini lebih bersih. Pohon palem menambah teduh. Cat dinding pesantren berwarna hijau, semakin terasa sejuk. Setelah memakirkan motornya, ia menghela nafas panjang. Ia menatap lantai tiga tempat kamarnya berada. Andai saja dulu, saat ia masuk pesantren, masih tersisa kamar untuk lantai bawah, ia akan sangat bersyukur. Sayangnya, semua kamar bawah telah terisi penuh.

Pesantren Mutaa'llimin, selalu menjadi sasaran bagi mahasiswa yang ingin kuliah di Jogja sekalian mondok. Di Jogja, pesantren Mutaa'llimin sajalah yang menyediakan pesantren khusus untuk mahasiswa. Suasana tempo dulu, akan dirasakan ketika memasuki pesantren ini. Arsitekturnya berbau campuran Belanda-Jawa, membuktikan pesantren mutaalimin berdiri sebelum masa kemerdekaan. Pesantren ini terdiri dari dua blok. Blok utara untuk kaum adam dan blok selatan untuk para akhwat.

"Ini dia santri gaul kita, baru pulang," Ucap Zaira menyambut Aisyah yang memasuki kamar.

"Nggak tau ah, lagi nggak mood untuk bercanda," Jawab Aisyah. Ia langsung merebahkan badanya dikasur.

"Kenapa tuh muka, ditekuk gitu?" Seru Arum

"Hari ini capek banget. Padahal nggak terlalu banyak kegiatan di kampus,"

"Yaudah, kamu mandi saja dulu, bentar lagi ngaji, loh"

Aisyah mengucek-ngucek matanya. Mengambil segelas air putih di meja. Ia pandangi Zaira dan Arum yang fokus pada Al-Qur'an dan terjemahanya. Teman sekamarnya memang rajin. Mereka juga kuliah layaknya Aisyah. Bedanya Arum dan Zairah satu Universitas. Mereka datang lebih dulu dipesantern ini. Dibandingkan Aisyah, ilmu agama yang mereka kuasai lebih banyak. Seperti menelaah kitab kuning, bahkan mereka sudah hatam Al-Qur'an beberapa kali.

"Kenapa bengong, mau mikir buat kabur lagi?" Celethuk Zaira

"Hehehe... Tenang aja, aku nggak bakalah nyusahin kalian lagi,"

Senyum Aisyah berlalu mendekap Zaira.

"Itu harus!. Kamu belum lihatkan, seramnya Ustadzah Nurul saat beliau marah. Zaira saja sampai mlempem,"

"Ya iyalah, masa aku harus bilang, Aisyah kabur dari ngaji, katanya mau nonton badminton," seru Zaira

"Lagian gara-gara kamu juga Ais, kita harus berbohong pada Ustadzah. Nanti kalau kena kualat, kamu yang nanggung, loh?" tambah Arum

"Kok aku yang nanggung. yang bohong kan kalian, lagian aku kan nggak nyuruh kalian berbohong," Ucap Aisyah menyunggingkan senyum sinis.

"Eh, kalau bukan karena kita, kamu pasti sudah dihukum, bersih-bersih WC mungkin? atau lebih parahnya kamu dikeluarin"

Habibi QolbiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang