Akhir-akhir ini Jihoon sibuk membuka cabang baru dan membuka beberapa usaha baru. Siyeonpun sedang sibuk di awal-awal masa kuliahnya.
Mereka hanya bertemu sebentar, saat pagi hari sebelum beraktifitas dan malam hari sebelum tidur. Kadang mereka bertemu untuk makan siang jika kebetulan jadwal kuliah mereka sama. Tidak jarang saat Jihoon pulang Siyeon sudah tertidur.
Apalagi akhir-akhir ini Siyeon terlihat cepat lelah dan pucat. Dia mengalami pusing yang cukup hebat dan kelelahan yang tidak berpenyebab.
Siyeon menjadi lebih sensitif, khususnya pada emosi yang ia rasakan. Dia tidak berniat memakan daging merah akhir-akhir ini. Dia hanya memakan salad untuk pagi hari dan makan makanan yang tidak terlalu berat di siang hari. Tanpa makan malam.
Puncaknya adalah pagi ini, wajah Siyeon sudah pucat dari pertama bangun tidur. Jihoon cukup yakin kalau Siyeon sedang jatuh sakit, karena cuaca cukup ekstrem.
"Kamu beneran baik-baik aja, sayang?"
Siyeon tersenyum dan mengangguk, lalu melanjutkan makannya secara perlahan. Benar-benar perlahan.
Saat akan membereskan meja, Siyeon berdiri dan beberapa detik kemudian kesadarannya hilang saat ia hendak mengambil piring.
Jihoon berdiri tidak begitu jauh dari Siyeon, langsung menghampirinya dan membawanya ke kamar.
Wajah Siyeon benar-benar terlihat seperti orang yang lelah, bibirnya pucat dan berkeringat.
Beberapa saat kemudian, dokter keluarga mereka datang. Jihoon terpaksa menunggu diluar, menunggu dengan was was.
Dirinya belum siap jika ada hal yang terjadi kepada istri yang sangat ia sayangi.
"Jihoon."
Jihoon berbalik, menatap dokter yang kini memandangnya sambil mengucap sesuatu yang tidak mau ia dengar sekarang.
Meskipun bukan suatu kesalahan, Jihoon merasa sangat terbebani dengan ucapan si dokter.
Hanya dua kata, namun emosi dalam diri Jihoon meluap bercampur aduk satu sama lain.
"Siyeon hamil."
Se-sederhana itu kata yang terucap, namun Jihoon merasa dirinya ada dibawah tekanan.
Baru satu atau dua bulan yang lalu, Siyeon bilang dia tidak siap untuk hamil. Karena dia masih sangat muda. Dia baru 18, dia sedamg berada di masanya untuk hangout bersama teman-temannya.
Tapi kejadian ini terjadi begitu saja, dan merupakan kesalahannya. Jihoon melupakan pengaman.
"Sayang."
Saat Jihoon masuk, Siyeon sudah duduk bersender di kepala tempat tidur mereka.
"Maaf."
Jihoon mengucap maaf berulang-ulang sambil memeluk Siyeon yang keadaannya masih lemas. Tangannya beberapa kali mengusap kepala Siyeon, berharap gadis ini mampu memaafkannya.
"Kak, bukan gini caranya."
Jihoon menatap Siyeon dengan matanya yang berair. Jihoon menangis, seperti anak kecil. Dan Siyeon hanya bisa tersenyum.
"Seorang calon ayah itu gak semestinya nangis kayak anak kecil pas tau istrinya hamil. Harusnya kakak senyum, kakak sebentar lagi jadi ayah."
Siyeon menarik sesuatu dari bawah bantalnya.
Sebuah testpack, dengan dua garis yang terdapat disana.
"Aku sebenarnya udah tau dua hari yang lalu, tapi aku bingung cara bilangnya gimana. Kakak sibuk, dan pulang dengan keadaan capek. Makan terus tidur. Aku mau bilang weekend ini, pas kakak lagi agak longgar. Tapi kakak malah udah tau sekarang."
Beban Jihoon perlahan mulai terangkat, kegundahan terbesarnya adalah saat ia merasa bahwa Siyeon akan marah besar padanya. Dan ia akan membuat Siyeon stress.
"Aku udah siap, kak. Gak ada salahnya juga kan aku jadi ibu muda? Aku masih bisa main sama temen-temen aku. Gak peduli juga nanti perut aku tambah besar terus aku gendut. Itukan normal. Lagian aku gak hamil anak haram, jadi aku gak punya alasan buat malu."
Jihoon takjub, gadis yang kini mengandung calon anaknya itu tiba-tiba saja terasa lebih dewasa dari sebelumnya. Gadis yang biasanya manja, kadang labil, dan kadang bertindak semaunya kini berganti menjadi seorang calon ibu yang dituntut untuk menjadi dewasa.
"Meskipun nanti temen-temen aku gak mau main sama aku soalnya perut aku gede. Ya meskipun Somi, Eunbin, sama Hina gak mungkin kaya gitu sih. Aku gak apa-apa ko, masih ada kakak. Masih ada mama sama papa, masih ada ayah sama bunda. Masih ada temen-temen kakak juga yang sering dateng ngeramein rumah."
Jihoon lebih menangis seperti anak-anak. Antara terharu karena dia sebentar lagi menjadi seorang ayah di umurnya yang baru menginjak 19 tahun, dan terharu mendengar ucapan Siyeon yang berkata seakan-akan dia tidak peduli apa yang orang lain fikirkan tentang dia.
"Your baby is here."
Siyeon meletakkan tangan Jihoon di atas perutnya, dan Jihoon menangis lebih keras dari sebelumnya.
jihoon.kris
jihoon.kris Happiness on earth. @falyasiyeon
Additional Chapter 3.0 end.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unplanned-park jihoon. [COMPLETED]
FanfictionTakdir mempersatukan mereka di sebuah rahasia terbesar. Sore itu, untuk pertama kalinya mereka bertemu dan untuk pertama kalinya juga mereka bersama. 20171007 #50 on short story