Part 6

682 49 2
                                    

Hari minggu ini, aku benar-benar tidak ada mood melakukan apapun. Aku hanya mengurung diri di kamarku sembari bermain game. Aku memainkan game visual novel yang kubeli tadi malam. Protagonis (karakter utama) di game ini punya sifat yang hampir sama denganku, pendiam dan susah bahkan takut untuk bergaul dengan manusia lain. Tapi dia ketika ia bertemu dengan teman-teman barunya dan juga pujaan hatinya, perlahan-lahan sifat si protagonis berubah. Ia menjadi lebih terbuka dan ia mulai bisa bergaul dengan manusia lain. Akankah hal yang sama terjadi padaku? Ah, ini kan hanya game. Mana mungkin hal yang sama bisa terjadi padaku. Aku menjauhi manusia lain dan manusia lain juga menjauhiku. Aku tak akan bisa menjadi seperti protagonis di game ini.

Aku berbaring di tempat tidurku setelah menamatkan gameku. Sungguh melelahkan, bermain visual novel memang melelahkan. Tapi aku bisa merasakan kehidupan menyenangkan dari bermain game. Meski kehidupan itu tidaklah nyata. Setidaknya aku bisa menghilangkan rasa kesepianku ini meski hanya sementara.

Tiba-tiba handphoneku berbunyi, mungkin ada pesan masuk. Dari operator kah? Biasanya aku hanya mendapat pesan dari operator dan pesan nyasar dari nomor yang tidak kuketahui. Di layar hpku tertera 1 pesan dari Evan. Aku membukanya.

Evan
Maaf soal kemarin, aku terlalu ingin tahu soal masa lalumu. Tapi itu karena aku khawatir denganmu, Aldi. Aku hanya ingin mengetahui lebih banyak tentang dirimu. Tapi, aku mengerti jika kamu tidak bisa menceritakannya. Aku hanya berharap kamu bisa tetap bersamaku, terserah kamu menganggapku apa. Teman, teman sebangku, kenalan atau apapun yang kamu mau. Asal kita bisa tetap bersama.

Evan, kenapa kamu begitu peduli padaku setelah semua yang kulakukan padamu? Selama ini aku sudah mencoba untuk menghindarimu tapi kamu terus saja mengejarku, mendekatiku. Aku benar-benar tidak mengerti dirimu, Evan. Aku tidak tahu apa maumu, dan apa yang akan kamu peroleh dari semua sikapmu padaku.

Keesokan harinya, aku berangkat sekolah seperti biasa. Evan sedang duduk termenung di kursinya. Aku berjalan menuju kursiku, lalu duduk di kursiku tanpa mengucap sepatah katapun. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan padanya. Sampai akhirnya, Evan mulai membuka mulutnya.

“Maaf soal kemarin,” ucap Evan.

“Kamu sudah mengatakannya di sms kemarin,” kataku.

“Tapi kamu nggak balas smsku, kukira kamu nggak mau maafin aku.”

“Bukan begitu, aku cuma... nggak tau mau balas apa. Tapi kamu nggak perlu minta maaf, kemarin aku kebawa emosi. Maafin aku juga ya...”

“Jadi..., apa kita masih bisa bersama?”

Aku mengangguk.

“Iya, tetaplah bersamaku dan jadilah temanku,” kataku.

“Aldi......, terima kasih,” ucap Evan, ia tersenyum padaku.

Mungkin seharusnya akulah yang berterima kasih padamu Evan. Selama ini kamu selalu baik padaku, kamu selalu ada di saat aku membutuhkanmu. Kurasa dari dirimulah, aku bisa belajar arti teman sejati yang sebenarnya. Mungkin sudah saatnya aku melupakan masa laluku dan membuka lembaran baru.

“Aldi, pulang sekolah nanti, kamu ada waktu?” tanya Evan.

“Ada, memangnya kenapa?” tanyaku.

“Ada tempat yang ingin aku kunjungi, kamu mau kan temenin aku?”

“Nggak.”

“Heeeh....? Ayolah..., sekali-kali pergi main kan tidak ada salahnya. Aku traktir deh, itung-itung sebagai permintaan maafku. Kamu suka es krim kan? Aku tahu toko es krim yang enak.”

Aku menghela nafas, sepertinya kali ini aku tidak bisa menolaknya.

“Ya udah, aku ikut...,” jawabku.

SociophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang