Part 13 - END

856 56 8
                                    

Berhari-hari aku terus mendatangi rumahnya, tapi keadaan rumahnya tidak berubah sama sekali. Masih saja kosong, dan tidak ada Evan di sana. Aku merasakan rasa penyesalan dan kehilangan yang begitu besar. Hatiku terus merasa gelisah dan khawatir sekaligus kesal, dan kakiku selalu menuntunku menuju rumah kosong itu untuk bertemu dengannya meski aku tahu hasilnya nihil. Aku terus berharap aku bisa melihat Evan di sana, meski hanya sebentar saja.

Evan, aku ingin bertemu denganmu. Aku sangat merindukanmu, aku benar-benar rindu. Aku ingin melihat senyumanmu lagi, aku ingin kamu mencampuri urusanku lagi. Aku ingin memelukmu erat dan tak akan melepaskannya lagi. Aku ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang dirimu. Dan aku.... ingin meminta maaf atas semua yang telah kulakukan padamu. Aku ingin bisa mengerti dirimu seperti kamu mengerti diriku.

Sudah lebih dari seminggu, aku tidak melihat Evan. Aku terus saja bolak-balik ke rumah itu, tapi ia tak kunjung kembali. Hari ini sebenarnya aku ingin menyerah tapi hatiku terus mendorongku untuk kembali ke rumah itu. Akhirnya aku pun sampai ke rumah Evan lagi, dan keadaannya masih tidak berubah. Apa yang telah kulakukan? Berkali-kali kakiku membawaku ke tempat ini, meski aku tahu aku tidak akan bisa bertemu dengan Evan lagi, aku masih kembali ke sini dan berharap suatu saat ia akan kembai. Tapi dia tidak pernah kembali.

Aku merasa begitu kehilangan, aku ingin sekali melihat Evan lagi. Perasaan aneh ini terus saja bergejolak di dalam hatiku. Ternyata aku baru bisa merasakan rasa kehilangan yang teramat besar ketika Evan sudah pergi dari kehidupanku. Semua sudah terlambat, terlambat untuk disesali. Aku meneteskan air mataku, aku sudah terbiasa sendiri dulu, tapi kini aku tidak ingin sendirian lagi.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang mendekat padaku.

"Aldi?" ucapnya.

Suara itu, suara yang sudah tidak asing di telingaku. Ketika aku mendongakkan kepalaku, aku melihat sosok yang selama ini selalu kunanti. Evan....., dia sudah kembali. Aku langsung berdiri dan menarik kerah bajunya.

"Ke mana saja kamu selama ini hah? Kenapa kamu tiba-tiba pindah sekolah dan menghilang begitu saja tanpa mengatakan apapun padaku?" tanyaku.

"Kukira kamu tidak mau melihatku lagi. Jadi aku akan pergi dengan mamaku ke London," jawab Evan.

Aku memukul wajah Evan, hingga ia jatuh tersungkur ke tanah. Lalu aku kembali menarik kerah bajunya.

"Dasar bodoh! Kamu pikir dengan kamu menghilang bisa menyelesaikan masalah kita? Kamu membuatku gelisah, khawatir. Aku tidak bisa tidur memikirkanmu, berkali-kali aku ke sini hanya untuk menemuimu tapi kamu tidak pernah datang. Aku merindukanmu, Evan... Kamu pikir itu menyenangkan? Jangan bercanda!" tanyaku.

"Aldi... kamu...," sebelum Evan menyelesaikan kalimatnya, aku kembali memarahinya.

"Kamu pikir kamu bisa pergi begitu saja setelah kamu membuatku jatuh cinta padamu? Di mana tanggung jawabmu?"

Evan menggenggam erat tanganku. Ia juga menghapus air mata yang mengalir di wajahku.

"Maafkan aku Aldi, aku sudah membuatmu khawatir sampai seperti ini," ucap Evan.

"Kamu tidak tahu betapa aku sangat kehilanganmu," kataku sembari menyandarkan kepalaku di bahu Evan.

Evan mendekap dan memelukku erat.

"Maaf, aku membuatmu bersedih," kata Evan.

"Berhentilah meminta maaf, seharusnya aku yang meminta maaf. Aku sudah menyakitimu, padahal selama ini kamu selalu peduli padaku. Aku benar-benar minta maaf," ucapku.

"Aku sudah memaafkanmu, Aldi. Aku tidak bermaksud menghindarimu, hanya saja aku tidak mau merepotkan keluarga Farel lagi. Lagipula sekarang keluargaku sudah mau menerimaku."

"Tapi kenapa kamu kembali lagi ke sini?"

"Aku masih belum berangkat ke London, aku masih tinggal di hotel dengan mamaku sambil menyiapkan semua yang kubutuhkan untuk kembali ke London. Aku harus membiasakan diriku untuk jauh dari orang-orang yang dekat denganku selama aku di Indonesia, kalau aku terlalu lama di sini, akan berat bagiku untuk kembali ke London. Aku ke sini hanya untuk mengambil barang berhargaku yang ketinggalan."

Evan mengajakku masuk ke rumahnya untuk membantunya mencari barang yang ia tinggalkan di sini. Ternyata barang itu hanyalah sebuah foto seorang laki-laki yang sudah usang. Mungkinkah ini foto ayahnya?

"Ayahmu?" tanyaku.

"Iya, aku belum pernah bertemu dengannya. Aku hanya tahu wajahnya lewat foto ini," jawab Evan.

"Apa kamu pernah merindukan ayahmu?"

"Selalu."

"Aku mengerti, aku juga kadang merindukan ayahku karena dia hanya pulang ke rumah dua kali dalam setahun."

"Aku iri padamu, kamu masih bisa bertemu dengan ayahmu, Aldi."

Evan menyimpan foto itu ke dalam sakunya. Lalu, ia pun bersiap untuk kembali ke hotel.

"Kapan kamu berangkat ke London?" tanyaku.

"Besok pagi," jawab Evan.

"Aku akan mengantarmu ke bandara."

"Tidak bisa, kamu kan harus sekolah."

"Tapi aku bisa bolos satu hari...."

"Ssshh..., jangan bolos hanya demi aku. Sekolah itu kan juga penting. Aku baik-baik saja kok, kalau kamu mengantarku nanti aku jadi semakin berat untuk meninggalkanmu."

Saat Evan hendak melangkah untuk pergi, aku memeluk punggung Evan.

"Apa kamu memang harus pergi?" tanyaku.

Evan membalikkan badannya, kulihat ia meneteskan air mata untuk yang pertama kalinya.

"Aku tidak ingin pergi, Aldi. Aku ingin tetap di sini, aku suka Indonesia. Tapi aku tetap harus pergi," jawab Evan.

"Apa kita masih bisa bersama?" tanyaku.

Evan mengecup bibirku lembut. Kami berciuman cukup lama.

"Suatu hari nanti aku akan kembali, dan saat itulah kita bisa kembali bersama. Tunggulah aku sampai saatnya tiba," jawab Evan.

Setelah mengatakan hal itu, Evan pergi meninggalkanku dan kembali ke hotel. Keesokan harinya, Evan berangkat ke London. Aku tidak mengantarnya ke bandara karena itu hanya akan membuat kami semakin berat untuk melepaskan satu sama lain.

Evan mengirimiku pesan sesampainya di London. Setiap hari kami selalu bertukar pesan. Menunggu pesan dari Evan selalu bisa membuat jantungku berdebar-debar. Terkadang ibuku bilang aku sudah gila karena aku sering senyum-senyum sendiri sambil menatap layar hp-ku. Ya, cinta memang sudah membuatku gila. Evan yang sudah mengajarkanku hal itu. Meskipun saat ini jarak telah memisahkan aku dan Evan. Aku yakin, suatu saat nanti Evan akan kembali. Dan kita bisa kembali menghabiskan waktu bersama seperti dulu.

THE END

************************************

Author mengucapkan terima kasih untuk yang sudah membaca cerita ini
Author senang sekali kalo ada yang mau baca cerita penulis amatiran seperti author ini
Dukungan dari para pembaca-lah yang menjadi semangat author untuk terus berkarya!
Kalau punya kritik, saran atau pesan2 untuk author silakan tulis di komen ya 😉
Mau vote silakan, nggak juga gak apa2 cuma dibaca aja author udah seneng kok 😊

SociophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang