Part 7

593 48 4
                                    

Sejak hari itu, setiap minggunya Evan selalu mengajakku pergi ke luar untuk mengatasi ketakutanku. Aku benar-benar tidak mengerti anak itu. ia selalu membantuku, tanpa kutahu apa tujuan sebenarnya. Memangnya apa yang bisa ia dapatkan dari membantu orang yang tidak berguna sepertiku?

Hari itu, aku pergi ke mall bersama Evan. Hanya berkeliling dan melihat-lihat seisi mall, lalu saat lapar kami mencari tempat makan yang relatif murah untuk pelajar. Aku lelah sekali, berjalan di keramaian menguras tenagaku. Sepertinya aku memang masih belum bisa membiasakan diriku di keramaian.

“Aldi, setelah ini ayo mampir ke rumahku! Mumpung belum sore,” ajak Evan.

“Kenapa aku harus ke rumahmu?” tanyaku.

“Ayolah aku sendirian di rumah saat ini, jadi temani akuuuu.... ya?”

Aku menghela nafas, sepertinya aku tidak bisa menolaknya.

“Iya, iya,” jawabku.

Setelah menyelesaikan makan siang, kami berjalan menuju rumah Evan. Tunggu dulu, daerah perumahan ini tidak asing bagiku. Apa aku pernah ke sini sebelumnya? Atau mungkin hanya perasaanku saja?

Ada seorang laki-laki yang berjalan di depan kami. Ia kelihatan sedang terburu-buru. Lalu ia menjatuhkan sesuatu. Aku memungutnya dari tanah dan membersihkannya.

“Buku catatan?” ujarku.

“Kita harus mengembalikannya!” kata Evan.

Evan mengambil buku catatan itu dari tanganku dan mengejar orang itu. Aku mengikuti Evan di belakang.

“Permisi, kamu menjatuhkan buku ini,” kata Evan kepada orang itu.

Orang itu berbalik dan mengucapkan terima kasih pada Evan. Betapa terkejutnya aku saat melihat wajah orang itu.

“Se... Sena...?” kataku tak percaya.

Sena juga kelihatan terkejut saat melihatku. Ia menghampiriku dan menyapaku seperti yang biasa ia lakukan dulu.

“Aldi..., aku tidak percaya bisa bertemu denganmu di sini. Apa kabar? Kamu ternyata belum berubah sama sekali ya?” ujarnya berbasa-basi.

Aku hanya terdiam.

“Kamu siapanya Aldi?” tanya Evan.

“Oh aku teman Aldi dulu waktu SMP, namaku Sena. Kamu pasti temannya Aldi,” jawab Sena.

“Sena..., sepertinya nama itu tidak asing. Lalu, ada apa kamu di sini?”

“Aku tinggal di sekitar sini, Blok B3. Aku memang sedang sekolah di luar kota, tapi aku mengambil liburan untuk mengurus beberapa administrasi dan menemui orang tuaku.”

“Blok B3? Aku juga tinggal di Blok B3, aku belum lama pindah di sini.”

“Oh jadi kamu yang sekarang tinggal di rumah kosong di depan rumahku itu?”

“Ya, sekarang tidak kosong lagi.”

“Ahahaha, sepertinya aku dapat tetangga baru yang menarik.”

Sena kembali menatapku.

“Aldi, dari tadi kamu hanya diam saja... Ada apa? Kamu jadi semakin pendiam ya sekarang?” tanya Sena.

Aku mengambil dua langkah mundur dari Sena, lalu berlari menghindarinya seperti orang ketakutan.

“Aldi!” sahut Evan.

Aku terus berlari, menjauh dan semakin jauh. Tanpa mempedulikan Evan yang memanggil namaku. Kenapa? Kenapa aku harus bertemu dengannya lagi? Perasaan yang sudah lama ingin kuhapus, kembali menggebu dalam hatiku. Aku tidak ingin menerima kenyataan bahwa aku masih mencintainya. Sesampainya di rumah, aku langsung mengunci diriku di dalam kamar. Aku tidak mempedulikan ibuku yang terus menanyai keadaanku. Aku hanya menjawab bahwa aku baik-baik saja.

SociophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang