Part 8

554 42 5
                                    

*EVAN’S POV*

Setelah mendengar cerita Aldi kemarin tentang Sena, aku memutuskan untuk menemui Sena hari ini. Semoga saja dia masih berada di rumahnya. Aku harus menemuinya, dan berusaha menyadarkannya bahwa ia telah menyakiti Aldi.

Aku menekan tombol bel di pagarnya, beberapa saat kemudian Sena menampakkan dirinya. Syukurlah dia masih ada di rumahnya.

“Oh, kamu yang kemarin itu ya? Temannya Aldi?” tanya Sena.

“Kamu bisa mengingatku dengan baik ya... Aku ingin bicara padamu, ” kataku.

“Masuklah, kita bicara di teras saja. Aku akan mengambilkan minum.”

“Tidak usah repot-repot, aku hanya perlu bicara sebentar saja.”

Sena mengangguk, lalu mempersilakanku masuk dan duduk di kursi teras rumahnya.

“Jadi apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Sena.

“Ini soal Aldi...,” jawabku.

“Aldi..., memangnya kenapa dia?”

“Ayolah, kamu temannya saat SMP kan? Kalian sudah bersama cukup lama. Apa kamu tahu perasaan Aldi terhadapmu?”

Sena memalingkan wajahnya dariku, lalu tersenyum.

“Iya, aku tahu itu,” jawab Sena.

“Lalu kenapa kamu tidak membalas perasaannya? Kenapa kamu malah bersikap seolah-olah kamu tidak tahu, lalu kamu pergi begitu saja seolah-olah kamu ini sengaja menghindar darinya?” tanyaku.

“Hei, hei, aku tidak lari oke? Aku memang sangat ingin bersekolah di sekolah elit luar kota. Di sana fasilitasnya lebih bagus.”

“Bukan itu yang ingin kudengar darimu! Kenapa kamu tidak membalas perasaan Aldi? Dia berkorban, dia bahkan rela menderita untukmu. Tapi apa yang kamu lakukan untuknya?”

“Apa kamu bodoh? Tentu saja itu karena aku tidak pernah mencintainya. Kamu tahu sendiri kan? Aku ini bukanlah orang yang ‘seperti itu’.”

“Apa maksudmu ‘seperti itu’?”

“Ayolah kamu pasti tahu lah maksudnya...”

Aku pun mengerti, aku yakin Sena ingin berkata bahwa dia adalah manusia normal. Sedangkan Aldi, dia tidak normal. Entah mengapa, aku jadi kesal sendiri dibuatnya. Aku menarik kerah bajunya.

“Jadi kamu ingin bilang bahwa Aldi itu tidak normal hah? Apa kamu tahu bahwa Aldi sangat menderita karena ulahmu ini?” tanyaku.

“Iya, dan sampai kapanpun aku tidak bisa membalas perasaannya itu. sebenarnya apa maumu? Memaksakan perasaanku pada Aldi? Jangan bercanda! Mau Aldi menderita, trauma atau apapun, itu bukan urusanku!”
         
Ucapannya membuatku sangat geram dan membuat tanganku gatal untuk memukul wajah tampannya itu. Aku mengepalkan tanganku dan memukul wajah Sena sekuat tenaga hingga ia jatuh terjerembab. Orang sepertinya memang pantas diberi pelajaran.

“Kamu ini... benar-benar kejam..., ” kataku.

Sena tertawa. Membuat emosiku semakin memuncak. Aku mengangkat kerah bajunya lagi.

“Ingin memukulku lagi? Pukul saja! Aku akan menerimanya dengan senang hati. Tapi yang membuatku heran adalah, kamu rela berbuat sejauh ini hanya demi Aldi. Jangan-jangan kamu menyukainya ya?” tanya Sena.

“Apa yang kamu bicarakan?” tanyaku.

“Kalau kamu ingin Aldi, ambil saja. Setelah itu jangan libatkan aku lagi, aku ini bukan orang yang baik untuknya.”

Aku melepaskan kerah bajunya.

“Ya, kamu adalah laki-laki yang kejam. Aku juga heran kenapa Aldi bisa jatuh cinta dengan orang seperti dirimu. Ia sangat mencintaimu, bahkan sampai saat ini ia masih belum bisa melupakanmu. Itu karena ia begitu tulus mencintaimu. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu membuatnya menjadi seorang penyendiri, ia semakin takut berhubungan dengan manusia lain. Ia menganggap manusia itu adalah makhluk yang hanya bisa menyakiti satu sama lain. Memang bukan hanya kamu saja faktor penyebab Aldi menjadi seperti itu. Tapi, kamu adalah penyebab terbesarnya,” ujarku.

Sena mencoba untuk berdiri, ia menghapus darah yang mengalir di bibirnya.

“Semua itu bukan salahku, aku tidak pernah bermaksud membuat Aldi menjadi seperti itu,” kata Sena.

“Kamu memang benar, tapi sengaja maupun tidak, pada kenyataannya kamu sudah membuat Aldi menderita,” kataku.

“Itu bukan urusanku, aku dan dia sudah lama tidak berkomunikasi. Kita sudah tidak bisa lagi seperti dulu. Dia punya kehidupan baru, dan aku juga sudah punya kehidupan baru. Tidak ada yang bisa kulakukan untuknya. Suruh saja dia untuk melupakanku, karena kita tidak akan pernah bisa bertemu lagi. Sebentar lagi aku dan keluargaku akan pindah ke luar kota, tempat di mana aku bersekolah. Jadi aku tidak akan ke sini lagi.”

Aku memukul wajah Sena lagi, kali ini lebih keras.

“Dasar bodoh, justru karena ia tidak bisa melupakanmu, aku datang kemari. Hanya kamu yang bisa melakukan sesuatu untuknya, agar dia bisa membuka lembaran baru di kehidupannya dengan bahagia,” kataku.

Aku melempar lipatan kertas yang kuambil di saku celanaku pada Sena.

“Apa ini?” tanya Sena.

“Nomor hp Aldi. Temui dia dan bicaralah padanya! Atau kamu sudah tidak menganggap Aldi sebagai bagian dari hidupmu di masa lalu?” jawabku.

Aku meninggalkan rumah Sena dengan perasaan dongkol. Ternyata Sena adalah orang yang kejam, ia membuang Aldi begitu saja setelah semua yang Aldi lakukan untuknya. Ia berpura-pura tidak tahu soal perasaan Aldi lalu ia menghilang begitu saja. Membuat Aldi begitu terluka, hingga ia menutup diri dari lingkungannya. Aku tidak tahu apakah Sena akan menemui Aldi, aku bahkan tidak yakin kalau Sena masih peduli dengan Aldi.

To Be Continued

SociophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang