Setelah aku berpisah dengan Sena hari itu, aku langsung memotong rambutku yang sudah cukup panjang. Rambut pendek membuat lebih segar dan juga sebagai tanda awal dari kehidupanku yang baru.
Keesokan harinya di sekolah banyak anak perempuan yang mendatangiku begitu aku duduk di kursiku. Apa aku melakukan hal yang salah? Atau jangan-jangan mereka dendam karena aku dekat dengan Evan? Rasa takut seketika menghampiriku.
“Kamu ganti gaya rambut ya? Kamu kelihatan imut,” kata salah seorang perempuan.
“Iya, ternyata kamu imut banget, Aldi,” timpal yang lain.
Aku memegangi rambutku, lalu tersenyum pada mereka.
“Terima kasih,” ucapku.
Terdengar suara teriakan anak-anak perempuan setelah aku tersenyum pada mereka. Syukurlah, kukira mereka datang untuk membunuhku. Anak-anak perempuan banyak yang memujiku, dan mereka juga berbicara denganku, menanyaiku banyak hal. Melelahkan meladeni mereka semua, tapi ternyata cukup menyenangkan. Seperti ini ya rasanya menjadi anak yang populer? Anak laki-laki juga berbicara denganku dan banyak yang berkata bahwa mereka iri denganku yang tiba-tiba saja menjadi populer.
Hari ini, Evan tidak datang ke sekolah. Syukurlah, aku masih belum menyiapkan hatiku untuk menghadapinya. Sekarang aku mulai bisa berteman baik dengan teman-teman sekelasku, tetapi tanpa adanya Evan.... Rasanya hampa sekali, seperti ada yang kurang. Kemarin aku sudah keterlaluan dengannya, aku ingin minta maaf.
Keesokan harinya, Evan masih belum berangkat sekolah. Aku semakin cemas, jangan-jangan dia sakit. Aku ingin sekali menjenguknya tapi, aku tidak tahu di mana rumahnya. Saat kemarin aku hendak ke rumahnya, aku bertemu Sena dan lari tanpa sempat mampir ke rumah Evan. Aku menyesal, saat itu pikiranku sedang kacau dan aku langsung lari tanpa berpikir panjang.
Berhari-hari kemudian, Evan masih belum menampakkan wajahnya. Aku semakin khawatir, kenapa ia sakit lama sekali? Atau mungkin dia sedang pergi? Atau jangan-jangan terjadi sesuatu dengan Evan? Pikiran-pikiran negatif mulai muncul. Anak-anak perempuan penggemar Evan terus berdatangan menanyai kabar Evan tapi aku tidak bisa menjawabnya karena aku pun tidak tahu bagaimana kabarnya. Sampai suatu hari, seorang anak laki-laki yang tidak kukenal mendatangiku.
“Aldi, ada yang nyariin tuh!” kata Reza, teman sekelasku.
“Siapa?” tanyaku.
“Nggak tahu, kayaknya anak dari kelas F deh.”
Aku pun mencoba menemui anak itu. Sepertinya ia tidak asing, aku kadang melihat ia berbicara dengan Evan. Mungkinkah ia ke sini menanyakan kabar Evan juga?
“Kamu nyari aku?” tanyaku padanya.
“Iya, kamu Aldi kan?” tanyanya.
“Iya, maaf kamu siapa ya?”
“Kamu nggak tahu siapa aku? Aku kira aku cukup terkenal di sini.”
“Maaf aku kurang memperhatikan orang di sekitarku jadi nggak banyak orang yang aku tahu.”
“Nggak, nggak masalah kok! Aku Farel, saudara Evan. Aku wakil ketua OSIS di sini, aku kira aku cukup terkenal di kalangan murid, ternyata masih ada yang tidak tahu siapa aku. Hahaha..., berarti sesuai dengan apa yang Evan bilang.”
“Evan bicara apa tentang aku?”
“Nggak banyak kok, dia cuma bilang kalau di kelas dia punya teman penyendiri yang takut untuk bergaul dengan orang lain.”
Aku tidak menyangka Evan memiliki saudara di sekolah ini. sepertinya aku memang masih belum tahu apa-apa tentang Evan. Selama ini aku tidak pernah mempedulikannya, tapi ia selalu mempedulikanku. Aku mulai merasa bahwa aku ini bukanlah teman yang baik. Aku selalu saja berbuat buruk padanya. Aku harus bertemu dengan Evan dan meminta maaf padanya.
“Farel, apa kamu tahu gimana kabar Evan sekarang?” tanyaku.
“Itu yang ingin aku bicarakan sama kamu. Ayo kita duduk, nggak enak juga ngobrol di depan pintu begini,” jawab Farel.
Kami pun duduk di tempat duduk di depan kelasku. Wajah Farel berubah menjadi serius.
“Aldi...., aku tahu ini mungkin berat buat kamu tapi...... Evan sudah tidak bersekolah di sini lagi,” ujar Farel.
Aku terkejut mendengar perkataan Farel.
“A-apa? Dia pindah lagi? Ke mana?” tanyaku.
“Ke London,” jawab Farel.
“London? Kenapa dia tidak pernah mengatakan apa-apa?”
“Beberapa hari yang lalu, mendadak ibunya datang dari London ke Indonesia untuk menemui Evan. Sepertinya dia membujuk Evan untuk pulang ke London. Selama ini Evan kabur ke Indonesia karena di London dia selalu berdebat dengan kakeknya dan diperlakukan tidak adil. Bisa dibilang dia tidak diterima di keluarga besarnya di Inggris.”
“Kenapa kakeknya tega berbuat seperti itu?”
“Apa Evan tidak pernah menceritakannya padamu? Dia adalah anak hasil hubungan gelap ibunya dengan pelayan rumah keluarganya. Pelayan rumah itu adalah pamanku. Saat hubungan gelap paman dengan ibu Evan ketahuan, pamanku langsung dipecat dan dipulangkan ke Indonesia. Beberapa tahun kemudian, paman meninggal karena sakit. Evan yang mengetahui ia masih memiliki keluarga di Indonesia, berusaha menghubungi kami untuk membantunya kabur ke Indonesia supaya ia bisa menghindar dari kakeknya yang kejam itu, dan memulai kehidupan yang baru. Dia juga sudah lancar berbahasa Indonesia karena belajar, dia melakukan semua itu agar bisa kabur dari kakeknya, keluarganya di Inggris. Awalnya sempat ada pertentangan di keluarga kami soal membantu Evan kabur, banyak yang tidak ingin berurusan dengan keluarga Evan di London, karena keluarga Evan di London itu adalah keluarga pengusaha tingkat atas yang disegani banyak orang. Melalui berbagai pertimbangan akhirnya kami bisa menerima Evan tinggal di sini, ia tinggal di rumah almarhum ayah kandungnya dulu. Dia dipindahkan ke sekolah yang sama denganku.”
Mendengar cerita dari Farel, dadaku terasa sesak. Kehidupan yang Evan rasakan ternyata berat juga. Bahkan mungkin lebih berat dari yang kurasakan. Tapi ia selalu tersenyum, ia tak pernah menunjukkan kesedihannya di depan orang lain. Ia selalu peduli padaku, dan mengulurkan tangannya padaku saat aku terjatuh. Ia membantuku mengatasi ketakutanku. Ia selalu ingin tahu dan selalu saja ikut campur dengan urusanku. Tapi semua itu ia lakukan karena ia peduli denganku. Dan aku di sini, hanya bisa diam menerima semua kebaikannya tanpa melakukan apapun untuknya. Dan kini aku malah menyakitinya, melakukan hal yang buruk padanya. Padahal selama ini ia selalu membantuku. Aku tidak bisa diam saja, aku harus bertemu dengan Evan.
“Farel, kasih aku alamat rumah Evan!” pintaku.
“Eh? Rumah Evan di London? Aku mana tahu, aku kan belum pernah ke sana,” ujar Farel.
“Bukan, rumah Evan di sini, di Indonesia.”
“Hah? Kenapa? Percuma, Evan sudah tidak tinggal di situ lagi. Dia sudah pergi meninggalkan rumah itu kemarin.”
“Aku yakin dia pasti akan kembali.”
“Hmm..., keras kepala sekali.”
Farel meminjam handphoneku dan mengetikkan alamat rumah Evan di fitur catatan.
“Nih, detil sedetil-detilnya supaya kamu nggak nyasar,” ujar Farel sambil mengembalikan hpku.
“Makasih, nggak usah khawatir, aku bukan anak SD lagi,” kataku.
Setelah mendapat alamat rumah Evan, aku langsung menuju ke sana sepulang sekolah. Ternyata benar, rumah itu kosong dan Evan sudah pergi. Mungkinkah dia sudah pergi ke London? Aku memukul pagar rumah Evan dengan tanganku. Kenapa? Kenapa dia pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun? Apa dia sengaja menghindariku? Aku terus menunggunya hingga sore datang, namun tidak ada tanda-tanda kemunculannya.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Sociophobia
RomanceWARNING : This is BL!!! Genre : Romance, Drama, Psychological Aldi seorang penyendiri yang tidak mau lagi berhubungan dengan manusia lain karena masa lalunya yang pahit dengan Sena. Namun, sejak kedatangan murid baru, Evan yang selalu membantunya. P...